Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sekitar Raqqah, Suriah, pesawat-pesawat Amerika Serikat berdesing-desing, menghujani kawasan kekuasaan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS itu dengan bom. Serangan serupa berlangsung di kawasan yang dikuasai Khorasan, kelompok teroris lain yang oleh Presiden Amerika Barack Obama disebut sebagai operator Al-Qaidah di Suriah.
Berbagai jenis pesawat terlibat dalam serangan itu, seperti pesawat tak berawak F-15E, F-16, F/A-18, pesawat pengebom B-1, bahkan pesawat baru, F-22 Raptor. "Campuran pesawat Amerika dan pesawat di kawasan operasi Komando Pusat Amerika yang melangsungkan operasi," kata pejabat Angkatan Udara Amerika dalam sebuah pernyataan.
Pasukan Amerika juga melancarkan serangan misil dari USS Arleigh Burke dan USS Philippine Sea, yang beroperasi di perairan internasional di Laut Merah dan Teluk Arab. "Kami masih menaksir hasil serangan. Tapi kami melihat indikasi awal bahwa serangan berhasil menghancurkan target-target yang dituju," ujar sang pejabat.
Serangan pekan lalu itu merupakan puncak dari upaya Washington mendapatkan dukungan atas serangan terhadap ISIS atau yang belakangan mendeklarasikan diri sebagai Negara Islam, baik di Irak maupun Suriah. Maklum, untuk kasus Suriah, tak ada undangan alias permintaan bantuan dari pemerintah Bashar al-Assad. Berbeda dengan di Irak, yang memang ada permintaan pertolongan dari Bagdad, pemerintah Al-Assad berkeras harus ada koordinasi dengan Damaskus bila akan ada serangan ke kelompok yang juga dikenal sebagai Negara Islam di Levant (ISIL) wilayah Suriah itu.
Amerika mengabaikannya. "Kami tak berkoordinasi, tidak juga meminta izin untuk melakukan serangan militer," kata Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr., Kamis pekan lalu. Meski begitu, ia membenarkan adanya pemberitahuan kepada pemerintah Suriah soal serangan.
Selain itu, saat itu tidak ada "anggukan" dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di dalam negeri, Kongres juga belum memberikan lampu hijau.
Sendirian, Gedung Putih berusaha membujuk berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun negara lain, untuk bersatu dalam barisan menghabisi ISIS. Menurut Blake, ada lima strategi yang telah ditetapkan Gedung Putih, yakni tindakan militer dengan target menyingkirkan kelompok teroris; melatih dan mempersenjatai militer Irak, pasukan Kurdi di Irak, juga milisi oposisi Suriah yang moderat; menghentikan arus "relawan" ISIS dari berbagai negara; memotong sumber dana; serta menghadang ideologi ISIS.
Selama ini Amerika telah menjalankan beberapa hal, yang juga diikuti beberapa negara lain. Misalnya memotong sumber dana, juga melawan ideologi ISIS. Lobi ke negara lain tak henti dilakukan, termasuk ke negara-negara Arab dan Barat, untuk bertindak lebih jauh, menggelar serangan ke markas-markas Negara Islam.
Menurut Perdana Menteri Kanada Stephen Harper pada Rabu pekan lalu, pada hari-hari sebelum serangan, Amerika meminta kontribusi tambahan. "Kami akan... kami sedang mempertimbangkannya," ucapnya.
Karena melihat perkembangan menjadi begitu mengancam, Amerika kemudian memperluas serangan, tak lagi sebatas Irak, tapi juga di Suriah.
Dalam serangan pertama di kawasan Suriah pekan lalu itu, lima negara Arab bergabung dalam koalisi pimpinan Amerika, yakni Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Yordania. Prancis, yang pernah bergabung dalam serangan ke ISIS di Irak, tak bergabung. Sementara itu, Perdana Menteri Inggris David Cameron masih menunggu persetujuan dari parlemen.
Bukannya bisa lebih santai, hari-hari setelah serangan menjadi hari-hari yang lebih sibuk lagi bagi pemerintahan Barack Obama. Apalagi Obama juga menegaskan bahwa urusan dengan kelompok di bawah Abu Bakar al-Baghdadi itu mungkin tak akan pendek. "Ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, mungkin tahunan," ujar Blake.
Pada awalnya jajaran Gedung Putih sibuk menjelaskan soal serangan, juga berusaha merangkul lebih besar dukungan. Misalnya Amerika menjelaskan tindakannya kepada Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, lewat surat. Mereka mengacu pada Pasal 51 Piagam PBB perihal sebuah negara yang tak mampu mengatasi ancaman sendirian. "Rezim Suriah menunjukkan tak bisa dan tak akan mengatasi tempat perlindungan kelompok militan ini dengan efektif," kata Samantha Power, Duta Besar Amerika untuk PBB.
Robert Blake menambahkan penjelasan. Sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB, semua anggota PBB memiliki hak mempertahankan diri tanpa resolusi Dewan Keamanan PBB. "Dalam kasus ini, kami memiliki informasi bahwa Khorasan bersiap menyerang Amerika atau mungkin juga Eropa," ujar Blake.
Sehari setelah serangan, Presiden Obama bahkan menegaskan apa yang dilakukan Amerika adalah langkah yang seharusnya dilakukan untuk memerangi teroris. "Kami tidak akan menoleransi adanya tempat perlindungan bagi teroris yang mengancam rakyat kami," katanya.
Perhelatan besar PBB di New York pekan lalu juga menjadi ajang kampanye Gedung Putih. Pada Rabu, selayaknya seorang pemimpin pada masa perang, Obama berbicara keras di sidang Majelis Umum tentang penanganan ISIS. "Hari ini saya meminta dunia bergabung dalam upaya ini," ujarnya.
Menurut Obama, kekerasan merupakan satu-satunya bahasa yang dimengerti kelompok militan pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu. Dia juga menekankan rencananya melatih dan mempersenjatai pasukan yang memerangi mereka. Juga menggerogoti kantong mereka dan mencoba mencegah arus perekrutan warga asing ke tubuh ISIS.
Tak berhenti di Majelis Umum, Obama memasuki ruang sidang Dewan Keamanan. Dia memimpin sidang yang tak biasa, yang dihadiri para kepala negara anggota, dan kemudian menghasilkan resolusi. Resolusi itu meminta negara anggota PBB untuk membuat peraturan yang melarang warganya bergabung dengan kelompok teroris di negara lain. Juga melarang warganya mendanai kegiatan terorisme. "Kalaupun ada tantangan di dunia kita yang saling terhubung yang tidak dialami oleh satu negara sendirian, inilah," ucapnya. "Teroris menyeberangi perbatasan dan mengancam melepas kekerasan yang sampai tak terkatakan."
Banyak yang mendukung, ada pula yang adem, atau malah galak menentang. Yang mendukung, misalnya Perdana Menteri David Cameron, langsung menyatakan meminta parlemen di negerinya bersidang pada Jumat untuk pemungutan suara, apakah bergabung dengan koalisi yang dipimpin Amerika atau tidak. Tahun lalu ia kalah dalam pemungutan suara saat mencari dukungan untuk bersama Amerika melancarkan serangan ke Suriah setelah rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam menghadapi oposisi di negerinya. Yang galak menentang misalnya Iran dan Rusia.
Tapi kesibukan tak hanya terjadi di New York atau Washington. Di Jakarta, Robert Blake juga bergerak, menjelaskan kebijakan Amerika kepada media Indonesia. Dia menegaskan, serangan awal pekan itu tak dilakukan hanya oleh Amerika. "Kami tak bertindak sendirian," kata Blake. "Ada 40 negara yang menawarkan diri berpartisipasi dalam upaya mengurangi atau menghancurkan ISIL."
Yang pasti, Gedung Putih tak hanya harus bertempur di medan perang di Irak dan Suriah, tapi juga di berbagai lini lain.
Purwani D. Prabandari dan Atmi Pertiwi (CNN, Financial Times, The Guardian)
Mereka yang Bergabung
1. Arab Saudi. Kerajaan kaya minyak ini pernah beroperasi bersama pasukan Amerika Serikat, seperti dalam Operasi Badai Gurun (Operation Desert Storm) dan Perang Teluk, pada 1990-an. Menurut pejabat Amerika, pemerintah Arab Saudi setuju melatih milisi pemberontak moderat di negerinya.
2. Yordania. Kerajaan yang dipimpin Raja Abdullah II ini menampung pengungsi dari Suriah dan Irak. Menurut Mohammed al-Momani, juru bicara pemerintah Yordania, alasan keterlibatan negerinya dalam serangan adalah demi memerangi terorisme dan melindungi keamanan negerinya.
3. Uni Emirat Arab. Negeri ini menerima jet-jet tempur Australia. Mereka juga pernah menyumbang pesawat bagi pasukan koalisi yang turun di Libya pada 2011.
4. Bahrain. Sekutu kunci Amerika di kawasan Timur Tengah ini menjadi "rumah" bagi US Navy's Fifth Fleet (Armada Kelima Angkatan Laut Amerika), yang bertanggung jawab untuk wilayah Teluk Persia, Laut Merah, Laut Arab, dan sebagian Samudra Hindia.
5. Qatar. Negeri Teluk ini telah berkali-kali mengirim bantuan kemanusiaan ke Irak. Qatar memiliki ketegangan dengan Saudi dan Uni Emirat Arab karena kesediaannya menampung anggota-anggota Al-Ikhwan al-Muslimun yang ditakuti penguasa beberapa negara Arab.
Yang tak Terlibat
1. Turki. Negara anggota NATO ini menampung paling banyak pengungsi akibat konflik di Suriah dan Irak. Turki juga menjadi tempat transit para milisi asing pendukung ISIS dan kelompok militan bersenjata lainnya. Turki memiliki alasan kuat tak terlibat dalam serangan. Sebanyak 49 warganya, termasuk diplomat senior dan keluarga mereka, ditawan kelompok militan, meski kini mereka telah dibebaskan.
2. Mesir. Negeri ini menerima banyak bantuan militer dari Amerika, tapi masih enggan bergabung.
3. Iran. Republik Islam Iran memiliki pengaruh besar di Suriah dan Irak. Sebenarnya mereka berlawanan dengan kelompok militan ISIS yang Sunni dan mendukung pemerintah yang dikuasai kelompok Syiah di Irak. Tapi hubungan yang tak pernah mulus dengan Washington membuat Iran tak bergabung. Pada awal bulan lalu, pemimpin tertinggi Ayatullah Khamenei menolak bekerja sama dan menuduh Amerika memanfaatkan tindakan terhadap ISIS untuk menguasai kawasan.
Menuju Medan di Suriah
Agustus 2012
Presiden Amerika Serikat Barack Obama menjabarkan "garis merah" dalam konflik di Suriah dengan mengatakan penggunaan senjata kimia akan mengubah kalkulasi di Suriah.
Maret-Juni 2013
Pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia untuk menghadapi oposisi.
Agustus 2013
Obama menjabarkan rencana intervensi militer terbatas terhadap rezim Bashar al-Assad sembari meminta Kongres mempertimbangkannya.
September 2013
Kongres segan mendukung tindakan militer Amerika di Suriah. Tapi, kemudian, dalam proposal yang dibuat Rusia, Bashar al-Assad setuju menyerahkan senjata kimianya untuk dihancurkan. Obama menarik diri dari rencana tindakan militer.
Juni 2014
Obama mengirim lebih dari 300 penasihat militer ke Irak untuk membantu pasukan Irak dan melindungi fasilitas Amerika di sana. Lebih banyak lagi penasihat militer dikirimkan sebulan kemudian.
7 Agustus 2014
Obama memutuskan Amerika melakukan serangan udara terhadap ISIS di Irak untuk menjaga fasilitas Amerika dan melindungi komunitas minoritas, seperti Yazidi.
20 Agustus 2014
Beredar video eksekusi jurnalis asal Amerika, James Foley, oleh ISIS. Sesudah itu, menyusul jurnalis Amerika lainnya, Steven Sotloff, dan pekerja kemanusiaan asal Inggris, David Haines.
10 September 2014
Obama mengumumkan militer Amerika boleh menyerang ISIS di Irak ataupun Suriah. Obama juga mengumumkan rencana mempersenjatai dan melatih 5.000 pemberontak moderat Suriah.
18 September 2014
Kongres menyetujui rencana Obama mempersenjatai dan melatih pemberontak Suriah.
22 September 2014
Berkoordinasi dengan lima negara Arab, Amerika melancarkan serangan udara pertama ke Suriah.
Sumber: BBC, CNN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo