LEHER saya, kata laki-laki itu, leher saya. Ia keluar dari sub?ay pagi-pagi benar itu ketika kereta masih kosong, di stasiun Time Square. Bajunya penuh darah. Seorang agen polisi kemudian mengirimnya ke rumah sakit. Laporan: laki-laki itu naik subway, bertemu dengan seorang laki-laki lain yang menabraknya, yang kemudian mengeluarkan pisau. Leher itu kena tebas, merihnya hampir putus. Pada pukul 06.45 beritanya telah disiarkan lewat sebuah pemancar TV. "Subway kami bukan yang paling bersih dan paling aman di dunia," kata seorang pemandu turis di sebuah bis wisata yang mengelilingi kota yang bertanamkan gedung-gedung jangkung itu. Saya teringat sajak Subagio Sastrowardoyo, bahwa di New York orang harus punya polisi sendiri-sendiri. Saya teringat sajak Rendra, tentang Rick dari udik, yang mencari pacarnya di antara relung-relung simpang siur ini, dan terpusing sampai sifilis. Saya teringat sajak Lorca: "El mascaroni Mirad el mascaroni" Topeng hitam datang ke New York dari Afrika, dan energi primitif menari dengan energi mesin, sebelum sebuah lagu malam untuk Brooklyn Bridge. Tak ada yang tertidur di atas bumi. Tak ada, tak ada. Tak ada yang tertidur. New York memang sebuah lanskap yang terdiri dari mata-mata yang melek nyalang, kantuk yang dicambuk - bersama lampu sepanjang Broadway antara bioskop porno, burlesque pria homoseksual, dan musikal untuk puisi T.S. Eliot. Ada sebuah lagu dari masa gerilya yang menyamakan Malioboro di Yogya dan Broadway di New York: tak ada yang lebih fantastis dari itu. Tapi toh tak seluruhnya salah. Di kedua tempat itu bukan gedung, bukan aspal, yang memberi hakikat. Melainkan orang-orang, variasinya, perbedaan-perbedaannya. Apakah arti New York tanpa perbedaan-perbedaan itu? Apakah arti sebuah kota? Pengalaman saya pertama dengan kota ini terjadi pada tahun 1973 (atau sebelum itu). Ia tampak seperti kuali logam yang belum pernah dibasuh. Saya berjalan terseok-seok beberapa blok, mengikuti Umar Kayam, penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Umar Kayam, geli melihat saya kecapekan melintasi gedung-gedung itu, sudah tahu makna New York. Saya, yang bahkan belum tahu mana yang sebenarnya disebut Manhattan, hanya merasa bergerak dalam sebuah ruang ricuh di bawah bayangan bangunan entah apa. Tak putus-putus. "New York memang pertama kali dilihat menjengkelkan," kata seorang diplomat Asia yang bertugas di sini. Sepuluh tahun kemudian, ketika saya melihat kembali New York, saya sudah lebih tahu ukuran, perbandingan, peta, arah. Saya tak lagi jengkel. New York tetap belum dibasuh. Mobil pembersih sampah bergerak tiap pagi, tapi kotoran tak terhapus dari jalan ke-30 sampai ke-100. Toh saya (setengah meniru Mick Jagger) berlari pukul 6.00, gaya Jakarta, mengelilingi Central Park dan menebak liku-likunya. Raksasa ini bisa juga ramah. Tapi perbedaan-perbedaan bisa juga berarti derajat keramahan. Ada keramahan untuk turis, dan pengunjung yang tampak lezat menikmati es krim di Lincoln Centre sambil menunggu pertunjukan Mozart. Ada yang lain untuk anak-anak hitam di "Needle Street", jalan obat bius di Harlem yang runtuh. Lebih dari setengah abad yang lampau lederico Garcia Lorca menyair tentang lapisan darah dan angka-angka, hujan emas yang deras, dan lenguh buruh tanpa kerja. Barangkali ia akan menulis yang sama di masa Reagan. Inilah zaman ketika bunga bank demikian tinggi. Mereka yang mampu menyimpan uang pun ramai-ramai datang ke Saks Fifth Avenue bahkan untuk beberapa jaket Georgio Armani, dan yang tak punya tabungan tentu saja... Tapi orang konon punya jalan untuk bisa memilih dan membekuk keterbatasannya. Juga di New York. "Di sini orang bisa memilih tingkat hidupnya - murah atau mahal," kata Alex Alatas, duta besar Indonesia untuk PBB, seraya membandingkan Jenewa, kota yang sebelumnya ia tinggali. Syahdan, malam musim panas itu, di teater terbuka Delacourte, di Central Park, aktor terkenal Kevin Kline memainkan Henry V karya Shakespeare dengan bagus dan gratis - merelakan diri digigiti kepinding atau kadang diganggu suara radio pengunjung taman yang keras-keras memainkan kaset untuk breakdance. Semua orang bertepuk. Semua orang bersahabat. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini