Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Taipan Amerika Serikat Elon Musk menyatakan bahwa Presiden Volodymyr Zelensky harus menggelar pemilu untuk membuktikan bahwa dia benar-benar mewakili kehendak rakyat Ukraina, atau akan dianggap sebagai seorang diktator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Zelensky harus mengadakan pemilu untuk membuktikan bahwa dia benar-benar mewakili kehendak rakyat. Jika tidak, dia seorang diktator," tulis Musk di platform X pada Kamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musk, yang juga pembantu Presiden AS Donald Trump untuk melakukan efisiensi pemerintahan, mengatakan di X bahwa tingkat persetujuan Zelensky yang baru-baru ini dilaporkan tidak "kredibel."
Sebuah laporan dari Institut Sosiologi Internasional Kyiv menunjukkan Zelensky memiliki tingkat persetujuan 57 persen.
"Harus benar-benar jelas bahwa jajak pendapat yang dikendalikan Zelensky tentang persetujuannya sendiri tidak kredibel," katanya seperti dilansir Anadolu.
Pemilik X itu menyarankan jika Zelensky dicintai oleh rakyat Ukraina, dia akan mengadakan pemilihan. Dia mengklaim presiden Ukraina "dibenci" oleh rakyatnya dan itulah sebabnya dia menolak untuk mengadakan pemilu.
Musk mengatakan Zelensky akan kalah dalam pemilihan dalam "tanah longsor" meskipun "telah merebut kendali atas SEMUA media Ukraina."
"Saya menantang Zelensky untuk mengadakan pemilihan dan membantah ini," kata Musk.
Masa jabatan Zelensky sebagai presiden secara resmi berakhir pada 20 Mei 2024. Namun, pemilu presiden di Ukraina dibatalkan karena status darurat militer dan mobilisasi umum yang masih berlangsung.
Presiden AS Donald Trump pada Rabu mengkritik Zelensky karena menolak menggelar pemilu.
Karena penolakan itu, Trump menyebut pemimpin Ukraina itu sebagai seorang "diktator," serta menudingnya ingin terus menikmati aliran dana dengan mudah tanpa usaha di tengah konflik berkepanjangan dengan Rusia.
Trump juga mengatakan Zelensky telah meyakinkan AS untuk menghabiskan US350 miliar untuk mendanai perang yang "tidak bisa dimenangkan."