JOJI Tamani bersorak riang. Bersama ratusan penduduk asli Fiji lainnya, ia berpesta di pekarangan gedung parlemen di Suva. Bus-bus yang dipenuhi orang-orang Fiji asli yang berasal dari berbagai tempat pun berdatangan untuk merayakan sebuah kemenangan. Beberapa di antaranya ada yang membawa babi untuk disantap. Mereka mengelu-elukan George Speight sebagai pahlawan.
Sebuah peristiwa yang tiada pernah terduga sebelumnya. Kudeta yang dipimpin Speight, Jumat dua pekan silam, semula diramal para pengamat tak akan berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan pihak militer. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Warga Fiji malah jatuh simpati. Sepekan sudah, posisi Speight bukannya melempem. Ia malah semakin populer.
Speight memang pintar menarik simpati rakyat negeri itu. Fiji, yang terdiri dari 300 pulau kecil di Lautan Pasifik, memang memiliki persoalan yang sensitif, yakni rasial. Dari sekitar 800 ribu penduduknya, warga keturunan India, meski jumlahnya hanya 44 persen, lebih menguasai perekonomian negeri itu ketimbang penduduk asli, yang mayoritas. Keberhasilan warga keturunan India dalam bisnis membuat kaum pribumi iri hati.
Ketegangan rasial itu lambat laun memuncak saat Mahendra Chaudhry menjabat perdana menteri, tahun lalu. Pemerintahan Chaudhry memang banyak dibelit persoalan. Ia dituduh melakukan praktek korupsi dan juga mendekati pemilik tanah asli Fiji untuk memperpanjang sewa tanah kepada warga India.
Kudeta ini memang bukan yang pertama kali. Sebelumnya, pada 1987, Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka memimpin kudeta terhadap pemerintahan Timoci Bavadra, yang menang dalam pemilu 1987. Sebabnya sama, Bavadra, yang memasukkan warga keturunan India dalam kabinetnya, menyulut kemarahan penduduk pribumi.
Kudeta yang dilakukan Speight dengan dukungan kelompok sipil bersenjata AK 47 itu membuat kecemburuan penduduk asli terhadap warga keturunan India terobati. Perdana Menteri Chaudhry, yang keturunan India, selama ini dianggap berpihak pada kepentingan ekonomi orang India.
Apalagi, pria berkepala pelontos itu dan kelompoknya menyatakan bahwa dirinya merupakan wakil penduduk asli di negeri itu. ''Kami melakukan kudeta sipil mewakili masyarakat asli Fiji," kata George Speight.
Sesaat setelah pengumuman kudeta itu, toko-toko milik etnis India pun dirusak massa. Presiden Ratu Sir Kamisese Mara menyatakan Fiji dalam keadaan darurat. Dengan kudeta itu, praktis pemerintahan koalisi Fiji yang dipimpin Partai Buruh otomatis berakhir. Untuk mengganti Chaudhry, ia menunjuk Ratu Timoci Silatolu, seorang pendatang baru politik, sebagai perdana menteri baru.
Pihak militer bukannya tidak bertindak, karena nyawa Perdana Menteri Mahendra Chaudhry dan tujuh menteri anggota kabinet berada di tangan mereka. Menurut radio pemerintah Fiji, tembakan itu berasal dari salah seorang pengawal keamanan Speight yang melihat sejumlah tentara mendekat. Speight mengancam akan membunuh Chaudhry dan sandera lainnya jika pasukan keamanan berniat mengambil alih parlemen. Nyawa petinggi itu menjadi tameng bernyawa bagi George Speight.
Utusan Mara, Kolonel Sitiveni Rabuka, juga mengalami kegagalan dalam melakukan negosiasi. Speight tetap menolak membebaskan Chaudhry. Justru yang kemudian terjadi, Sitiveni Rabuka, yang juga Ketua Dewan Ketua Raya (GCC), semacam lembaga tradisional yang berkuasa di Fiji, memenuhi semua tuntutan George Speight, yang meminta dibentuknya sebuah pemerintahan di bawah pimpinan orang Fiji asli. Keputusan itu, menurut Rabuka, diambil setelah mereka mengadakan pertemuan selama tiga hari di barak militer di Suva.
Siapa George Speight? Kok, hebat betul dia? George adalah pengusaha kayu yang tak lain merupakan anak Sam Speight, bekas perdana menteri saat Sitiveni Rabuka berkuasa. Dilahirkan di Fiji, 45 tahun silam, sejak awal George lebih tertarik pada bisnis ketimbang politik.
Setelah menyelesaikan sekolah perdagangan di Australia, ia mendapat beasiswa dari Soqosoqo ni Vakavulewa ni Taukei (SVT), partai sang ayah. Dari beasiswa ini, ia melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat.
Meski demikian, ia tetap memegang izin tinggal di Australia dan menetap di Brisbane, sedangkan keluarganya tinggal Sydney.
Reputasi karirnya tak terlalu bersinar. Menurut Rabuka, Speight tak pandai bicara Fiji, dan bisnisnya ternyata banyak mengalami kegagalan. Terakhir, dia diberhentikan dari jabatan Direktur Fiji Pine Ltd. dan Fiji Hardwood. Ia juga dipecat dari posisi Direktur Pengelola Health Fiji Ltd.—sebuah perusahaan pialang asuransi—karena dituduh menyalahgunakan dana, dan ia merupakan pemain kunci yang menyebabkan sebuah perusahaan Amerika kalah tender panen mahoni di Fiji. Kegagalan itu pula yang mendorongnya melakukan kudeta. Tujuannya, ingin mengembalikan kekuasaan penduduk asli.
Speight memang tengah berada di atas angin. Namun, apakah kemenangan sudah berada di tangannya? Belum tentu, agaknya. Seperti kata Perdana Menteri Australia, John Howard, negara itu bisa berhadapan dengan hukum di arena internasional jika membiarkan pemberontak itu menggulingkan pemerintahan yang sah. Bila keadaaan tak juga berubah, pihaknya mengancam akan menangguhkan bantuan non-kemanusiaan Australia senilai 22,3 juta dolar Australia, membatalkan kerja sama pertahanan, dan mendorong negara lain agar memutuskan bantuan dan memberlakukan sanksi terhadap Fiji.
''Namun, kami tidak ingin menghukum pihak-pihak yang tidak bersalah. Mereka berhak memperoleh perlakuan sama," tutur Howard. Selandia Baru, tetangga Fiji, kemungkinan akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Fiji jika keadaan tidak kunjung membaik. Sedangkan Sekjen PBB Kofi Annan menyesalkan keputusan ketua adat Fiji, yang menuruti kemauan para pemberontak. Pekan ini, Annan mengirim utusan ke Fiji yang akan meminta agar presiden Fiji segera menyelesaikan masalah itu berdasarkan konstitusi Fiji 1997.
Menilik bersikukuhnya Speight, agaknya sanksi internasional terhadap negeri ini bisa saja terjadi. Namun, sebelum hal buruk itu terjadi, yang jelas warga keturunan India saat ini hidup dalam ketakutan. Saat kudeta yang dilakukan Rabuka pecah pada 1987, diperkirakan sekitar 50.000 warga keturunan India meninggalkan Fiji. ''Bila keadaan tak berubah, akan terjadi eksodus warga keturunan India secara besar-besaran," ujar Jaganath Sam, pemimpin pengusaha gula keturunan India. Artinya, duit mereka pun ikut terbang.
Jika itu yang terjadi, sang Juragan Kayu harus segera menjawabnya.
Irfan Budiman (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini