TEMBAKAN artileri masih terus menyambar-nyambar sesudah gencatan
senjata diumumkan dalam persetujuan rujuk PLO, Jumat lalu.
Diprakarsai menlu Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal dan menlu
Syria Abdel-Halim Khaddam, persetujuan yang dimatangkan di
Damaskus itu tampak kurang bergema di medan pertempuran Tripoli.
Ahmed Jibril, pemimpin Komando Umum Front Rakyat untuk
Pembebasan Palestina, malah melontarkan ultimatum supaya Yasser
Arafat meninggalkan Tripoli, Sabtu pagi. Kalau tidak, "Dia akan
dihabisi," gertaknya dalam nada tinggi.
Gertak itu tampaknya gertak sambal. Terbukti, pemimpin PLO itu,
sampai Senin lalu masih bertahan di Tripoli. Tapi Arafat, dari
apartemen persembunyiannya di bilangan utara kota, tetap
memperhitungkan pihak pembangkang akan menggempur kembali
posisinya. Sementara itu, penduduk sipil di seantero Tripoli
kelihatan sudah bersiapsiap menghadapi masa pengepungan yang
panjang, seperti terjadi di Beirut Barat tahun silam. Mereka
khawatir, bencana serupa akan terulang.
Perjanjian empat pasal dari Damaskus juga mengandung ketentuan
yang sifatnya samar-samar. Misalnya, tidak disebutkan terperinci
bagaimana pelaksanaan Pasal 2 yang berbunyi "penarikan mundur
semua pejuang Palestina dari Tripoli dan sekitarnya dalam tempo
dua minggu." Pemimpin pihak pembangkang, Kolonel Abu Musa,
menafsirkan bahwa dua kamp pengungsi Badawi dan Nahr el-Bared
tidak termasuk wilayah Tripoli dan sekitarnya. Karena itu,
pasukannya boleh menetap di sana.
Tapi Yasser Arafat berpendapat sebaliknya. Kedua kamp harus
dikosongkan. Seperti dilaporkan koresponden TEMPO Nasir Tamara
dari Beirut, Arafat juga menawarkan jalan tengah. Usulnya,
kelompok pembangkan boleh bertahan asal persenjataan berat
milik mereka, seperti tank artileri dan peluncur roket,
diserahkan. "Kalau semua diserahkan, tidak ada lagi masalah,"
ucap Ahmed Abdel Rahman, juru bicara Arafat.
Pasal lain persetujuan Damaskus mencakup: penghentian
tembak-menembak secara komplet, pembentukan sebuah komite
pengawas yang dipimpin bekas PM Libanon Rashid Karami, serta
perlunya dialog politik antara Arafat dan pembangkang agar
perbedaan antara mereka terjembatani.
Abu Musa tampaknya tidak menanggapl secara positif pasal-pasal
itu. Dia, misalnya, menolak pasukan gabungan Arab sebagai
perantara untuk rujuk PLO. Sikap Abu Musa ini bisa dimaklumi.
Karena Arafat dalam keadaan yang terjepit seperti sekarang,
masih tetap mendapat dukungan luas di kalangan dunia Arab.
Sedang Musa cuma ditunjang Syria dan Libya. Poll pendapat umum
yang diselenggarakan surat kabar Al Fajr atas 6.000 penduduk
Palestina di Tepi Barat, bulan lalu, menunjukkan bahwa 93% warga
menyatakan dukungannya untuk Yasser Arafat. Belakangan, Miriam,
ibu Abu Musa ikut menyesalkan tindakan anaknya yang dianggapnya
"boneka Hafez Assad".
Di pihak lain, kejatuhan Arafat yang ramai diperbicangkan dunia
internasional agaknya tetap merupakan hal yang terlalu pagi
untuk diterima sebagai kenyataan. Tokoh PLO itu tetap tanguh
dan liat menghadapi gebrakan Musa, Jibril, atau Hafez Assad,
yang belakangan ini dikabarkan sakit keras. Surat kabar Israel
Harretz melaporkan bahwa roda pemerintahan di Damaskus kini
ditangani lima orang, sebagai hasil keputusan bersama antara
Baath, partai rezim yang berkuasa, kelompok tentara, dan dinas
rahasia Syria. Walau kondisi kesehatan Assad tidak amat
mengkhawatirkan, di saat ia terbaring sakit, Israel dan PLO
justru mencatat kemajuan penting.
Melalui persiapan cukup panjang, kedua pihak yang bermusuhan
itu, Kamis pekan silam, berhasil melakukan tukarmenukar tawanan
perang. Dari kamp Ansar, Israel membebaskan 4.500 pejuang
Palestina. Sedang dari Tripoli PLO cuma membebaskan enam tentara
Israel. Mengapa penukaran itu dilaksanakan pada saat-saat rawan?
Tidak lain karena pemerintah Israel amat mengkhawatirkan
keselamatan tentaranya itu yang tersekap di Tripoli bersama-sama
Arafat. Mungkin baru pertama kali dalam sejarah, enam tawanan
ditukar 4.500 orang. Tentang ini bekas PM Menachem Begin
berkomentar, "Harga yang kami bayar terlalu tinggi, tapi pilihan
lain memang tidak ada."
Kisah pembebasan tawanan, mulai dari perundingan di Jenewa (yang
melibatkan Palang Merah Internasional Prancis dan Austria)
sampai pengiriman ke tempat masing-masing, juga cukup seru. Tak
ubahnya sebuah operasi militer, pembebasan itu melibatkan
ratusan tentara Israel, beberapa helikopter 100 bis, dan dua
kapal perang. Dari Tripoli, enam prajurit Israel itu mesti
melewati mata rantai berupa dua kapal perang, milik Prancis dan
Israel, lalu ke Haifa, kemudian baru diterbangkan ke Tel Aviv.
Sementara itu, dari kamp Ansar, tawanan PLO diberangkatkan ke
Tel Aviv, kemudian dipencarkan: sekitar 1.000 orang diangkut ke
Aljir dengan tiga jumbo jet milik perusahaan Prancis, Air
France, dan sisanya disebar ke empat kota di Libanon Selatan.
Penuh semangat, tawanan PLO mengacungkan dua jari membentuk
tanda V (kemenangan) seraya bersorak, "Kami akan kembali dan
berjuang lagi!"
Tekad itu bukan tidak dikhawatirkan Israel. Namun, sorotan dunia
masih tertuju ke Arafat, yang membanggakan pembebasan tawanan
PLO sebagai kemenangan gemilang. Sekarang, di bawah tekanan
keras Syria, apakah Arafat kelak terpaksa ankat kaki dari
Tripoli ? Kemungkinan besar tidak. Dari Beirut Barat ia telah
memetik sebuah pelajaran mahal: meningalkan anak buah berarti
tamatnya riwayat kepemimpinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini