MEMAKAI kemeja longgar dan seluar komprang, (manajer) kamrad
Zhang Shitong sepintas nampak ajaib di antara pekerja, kalender,
dinding dan tumpukan peti yang semuanya menyandang Coca Cola.
Warna putih-merah cemerlang yang tersohor sejagat itu seakan
mengepung Zhang yang berdiri tenang dan cuma bersepatu sandal.
Ia menyambut Orville Schell, ahli Cina dari AS.
Seraya menjangkau sebotol Ke Kou Ke Lou (lafaz Cina untuk Coca
Cola), Zhang berkata, "Banyak orang bilang rasa akhir Coke
seperti obat. Tapi itu karena Cina miskin dan tidak punya mesin
pendingin seperti di AS." Asistennya membumbui, "Walau rasa
akhirnya seperti obat, ia disukai kaum muda. Karena lagi ngetop
dan karena mau modern."
Sejak dipasarkan 15 April tahun lalu, Cola Cola, seperti halnya
benda-benda mewah Pierre Cardin, dianggap milik orang asing yang
bercengkerama di balik-tembok tinggi. Namun dengan harga Rmb
(Renminbi) 35 sen, "Coke yang mahal itu juga mereka beli,"
tutur orang pekerja. Mereka ini siapa lagi kalau bukan muda-mudi
Cina.
Inilah lapisan paling peka, yang terbawa dan terlanda badai
asing yang dulu sering dicerca sebagai musuh atau iblis,
oleh Mao dan belakangan ini oleh konservatif. Terhadap musuh
dan iblis itu, bertahun-tahun Cina membentengi diri. Tapi
Shenzen, desa nelayan terletak persis di seberang Hongkong
justru sejak 3 tahun silam dipersiapkan menjadi Hongkong kecil.
Katakanlah sebagai wilayah ekonomi khusus. Di atas tanah yang
dulunya sawah telah dibangun pencakar langit dan resort tuns.
Ada juga pabrik yang merakit bis, pembotolan Pepsi-Cola, dan
lain-lain. Seluruhnya sudah menghabiskan US$ 1,4 nlilyar.
Penduduk Shenzen sekarang menikmati upah yang lebih tinggi dan
kebebasan yang lebih luas tinimbang penduduk di bagian mana pun
di Cina. Coha saksikan sebuah tempat hiburan yang diberi nama
Taman Seni. Di situ para remaja mengenakan jin Levi's, kemeja
kembang-kembang berkerumun di pojok permainan elektronik.
Kelompok lebih tua memilih cafe di dekat situ, menghirup
Marlboro, meneguk fruit-frappe sambil mendengarkan balada cinta
yang seronok dari sebuah cassette-recorder. Di luar, geng
pengendara motor berambut panjang dan berjaket hitam siap siap
untuk ngebut. Rider Fellow tertulis jelas di punggung mereka.
Dan jangan kaget. Penduduk Shenzen konon tidak asing lagi dengan
blue film dan disko.
Li Yun, pemimpin gerakan moralitas baru, berucap, "Biarpun orang
kami bercelana jin dan berambut gondrong, mereka toh bekerja
membina sosialisme Cina. Mereka tidak begitu mudah dipengaruhi
gaya hidup borjuis. Mereka sudah diembleng partai." Para
pejabat pemerintah, sembari khawatir, terpaksa mengikhlaskan
pembaratan Shenzen karena yakin orang Cina yang hidup seperti
orang asing juga akan bekerja keras seperti orang asing pula.
Tapi kekhawatiran ini akhirnya dikumandangkan juga oleh Ketua
PKC Hua Yaoban bulan lalu. Sang Ketua menuntut agar rakyat
meningkatkan kemampuan kerja, menurunkan jumlah kejahatan,
mengurangi kesenangan pribadi. Memang, belum lama ini pejabat di
Kanton mengakui adanya pelacuran dan penggunaan obat bius. Kedua
perbuatan iblis ini lantas ditumpas. Tapi masih banyak perbuatan
iblis yang lain penyelundupan, pemerasan, penyuapan, semua yang
entah mengapa digolongkan sebagai "gaya hidup boruls."
Sebenarnya, sejak pertengahan tahun 1979, iblis itu sudah mulai
menggamls. Di Shanghai, seorang anggota Liga Pmuda Komunis
mencuri kotak uang berisi US$ 637, karena ingin sekali hidup
enak, persis Gregory Peck dalam film The Million Pound Note.
Peck di situ digambarkan sebagai hartawan yang hidup mewah
melimpah bagaikan raja.
Dan pemuda komunis itu rnengambil jalan pintas. Salahkah dia?
Dalam rangka membendung iblis, orang Cina--yang melewatkan malam
Minggu dalam acara dansa dengan orang asing -- telah diminta
meninggalkan Klub Internasional di Beijing. Koran menyebut
mereka telah melakukan kejahatan yang berselubung hiburan dan
tak langsung dituduh menjual rahasia negara. Mereka, hampir
semua pemuda, telah ditahan dan diperiksa. Pembersihan macam ini
banyak terjadi tahun 1979, terkenal dengan sebutan "demam
mata-mata." Waktu itu juga dikumandangkan lagi nyanyian
Hati-hati Pada Orang Asing yang berasal dari masa revolusi
kebudayaan.
Pada rmasa bersamaan, gerakan penempelan poster meningkat hebat.
Juga ada demonstrasi kecil-kecilan oleh petani dan pekerja, yang
sebagian memuncak dalam bentrokan fisik dengan petugas keamanan.
Demokrasi Barat mulai dibatasi. Banyak poster di Shanghai dan
Beijing dicopot. Tapi masih ada poster mengamuk dalam kata-kata
"penindasan demokrasi." Dan penindasan terus dilancarkan,
kecuali Dinding Demokrasi yang termasyhur itu yang dibiarkan
bertahan di sepanjang Jalan Perdamaian Abadi di Beijing. Ada
satu poster yang menuding Cina tidak akan menjalankan
modernisasi ekonomi sebelum adanya penyesuaian dalam sistem
politik. "Kami inginkan modernisasi, tapi yang bagaimana?"
Begitu sebuah poster berbicara.
Menyaksikan Cina bergulat dalam masa transisi--yang entah kapan
berakhirnya -- orang memang asyik. Kini ada 20 juta penduduk
menunggu kerja. Bunuh diri sering terjadi di kalangan mereka.
Bagi mereka juga majalah dan surat kabar berbahasa asing
cukup tersedia. Mendengarkan siaran radio asing juga sudah hal
biasa. Yang pasti mereka tidak harus mengisi benak mereka dengan
ajaran-ajaran Mao.
Lebih penting lagi ialah pengiriman 10.000 lebih pemuda Cina
untuk belajar ke negara Barat dan Jepang. Namun sejak April
tahun ini ada peraturan bahwa anak-anak pembesar tidak boleh
lagi ke luar negeri. Mereka yang dapat membiayai sekolah sendiri
pun, harus bekerja 2 tahun dulu di Cina. Rupanya kembali
dikhawatirkan pengaruh ideologi kapitalis yang dekaden,
peracunan pikiran, pencemaran adat kebiasaan. Terutama mungkin
karena hidup di Cina masih terlalu berat, bahkan untuk sekedar
bertahan. Apalagi untuk mencari identitas.
Februari tahun silam sekelompok pemuda berang melancarkan aksi
protes di Shanghai: berbaring di atas rel kereta, menolak
dikirim ke pelosok untuk bekerja di pertanian. Sekelompok pemuda
berang lainnya dari barat daya Cina telah berbondong-bondong ke
Beijing, memprotes juga. Tapi adalah bintang tenis wanita yang
bulan lalu paling menggemparkan Cina. Dalam satu turnamen tenis
di Santa Clara, AS, nona Hu Na telah menghilang, kemudian ia
dikabarkan meminta suaka pada seorang pengacara. Hu yang berusia
19 tahun dikabarkan mengeluh karena harus melaksanakan "kritik
diri" antara lain karena tindak-tanduknya yang terlalu bebas dan
rambutnya yang dibiarkan tergerai lepas.
Jika Hu menuntut kebebasan, keluarga Piao di pelosok utara Cina
sudah cukup puas dengan pesawat televisi 12 inci hitam putih.
Bagi keluarga Piao, benda itu suatu lambang kemakmuran.
Harganya sebanding US$ 280, 5 kali pendapatan rata-rata
sebulan petani Cina. Benda itu masih dianggap mewah berbau
borjuis 2 tahun lalu. Tapi kini, pemimpin brigade Li Genjin, 61
tahun, berkata, "Kami tidak lagi takut untuk menjadi kaya." Dan
di kawasannya diperkenalkan sistem kerja baru yang mengandalkan
prestasi. Hasilnya lumayan. "Dibawah sistem lama orang harus
menungu bulan untuk menuai panen. Sekarang cukup 10 hari," ujar
Li bangga. Tentang sistem baru Yip Tung, direktur sebuah usaha
patungan tegas berkata "Kau harus cukup berani menerapkan ukuran
baru tanpa takut berbuat salah." Mengejutkan Yip Tung ini karena
biasanya karir seorang pejabat hancur bila ia berbuat salah.
Wong Kitming, seorang anggota Partai Komunis yang kini menjadi
direkturpelaksana proyek hotel Shi Ching San, tak kurang
mengejutkan. "Supaya perusahaan jalan, kau harus memisahkan
bisnis dari politik," katanya. Bukan omongkosong rupanya dia.
DI hotel itu (buka Januari 1981), manajemen merupakan hasil
perpaduan semangat kapitalis dengan kebajikan sosialis.
Sebegitu iauh formula itu terbukti unggul. Pada tahun pertama
operasinya, pusat turis Shi Cing Shan di Provinsi Guangdong itu
sanggup memungut untung besar-- US$ 500.000. Tahun ini
keuntungan sudah lipat dua. Karena banyak usaha patungan gagal,
sukses finansial ini jadi buah bibir di seluruh daratan Cina.
Tak salah bila kemudian dijadikan proyek percontohan.
Suksesnya terutama pada para pekerja. Mereka digalakkan untuk
bekerja keras dengan imbalan materi dan wejanan bahwa
sosialisme menganjurkan pelayanan bagi masyarakat. "Mereka
diajar memodernisasi negeri ini sekaligus mencegatl diri tidak
sampai terlibat korupsi," kata seorang pegawai tinggi hotel.
Upah di sana rata-rata berkisar US$ 21 - US$ 48 sebulan,
sedangkan pendapatan rata-rata pegawai pemerintah US$ 30
sebulan. Bedanya tidak terlalu jauh, namun untuk ukuran Cina,
barangkali sudah istimewa.
Dalam pandangan umum, tindak-tanduk pelayan di Shi Ching Shan
juga istimewa. Tempo kerja mereka yang tinggi dan disiplin yang
ketat, bukanlah hal yang selama ini dipandang berharga. Orang
bahkan tersinggung kalau melihat pelayan tetap berdiri sementara
melayani tamu di restoran. Bukankah kaurn pekerja adalah
segala-galanya, menurut Mao?
Ternyata tidak. Sejak 3 tahun berselang mulai tumbuh dan
berkembang kaum wiraswasta. Terkenal dengan nama daiye gingnian,
atau "pemuda menunggu kesempatan kerja", mereka disalurkan dalam
unit-unit kolektif dan oleh pemerintah diberi status sama dengan
perusahaan milik negara. Pada akhir 1978, Biro Statistik Negara
mencatat ada 20,48 juta wiraswasta dengan gaji seorang per tahun
US$ 325, di samping 74,51 juta pekerja dengan gaji per tahun US$
430. Di masa Revolusi Kebudayaan, usaha wiraswasta dipandang
sebagai gejala kapitalis, satu hal yang sekarang bukan saja
halal, tapi juga digalakkan.
Di Beijing saja ada 3.086 keluarga wiraswasta, termasuk ke
dalamnya 591 bengkel sepatu, 233 bengkel sepeda, 370 penjahit,
226 bengkel alat-alat dapur, 200 salon 461 usaha angkutan, dan
sejumlah bar & restoran. Dikabarkan mereka lihai mengelakkan
pajak dan seenaknya menaikkan harga, sesuatu yang lazim di mana
pun juga. Tapi senang atau tidak, sektor ini telah memainkan
peran kedua dalam ekonomi, sesudah perusahaan milik negara.
Adapun yang disebut terakhir, bukanlah sama sekali tanpa cacat.
Khusus bagi turis asing yang tiap tahun membanjir sebanyak
800.000 ke daratan Cina (masih 1/4 dari jumlah turis ke
Hongkong), sudah ada CTS (China Travel Service), contoh sebuah
perusahaan negara yang benar-benar lengkap dengan pelbagai
cacat. Turis yang umumnya kecewa memberi julukan China Trouble
Service, untuk perusahaan tersebut yang memegang monopoli dalam
pengelolaan turis. Pilihan lain tidak ada. Semua tarif diatur
langsung oleh CTS yang berkaitan dengan hotel, restoran, bahkan
pemandu wisata. Tiga hari perjalanan ke Kanton dari Hon kong
dikenakan biaya US$ 235 per orang, 12 hari ke Beijing, Shanghai,
Nanjing dan Hangzhou US$ 1.170 per orang. Kuat dugaan, tarif ini
sekarang naik. Bukan semata karena inflasi, tapi adanya tarif
tak terduga, yang jelas bikin pusing kepala.
Seorang anggota Parlemen Inggris, Robert Parry, mengeluh bahwa
"pengeluaran ekstra" itu terlalu besar. Semua turis lain:
Jerman, Belgia, Prancis, Yunani sama mengeluh "mahal, terlalu
mahal".
Bukan itu saja. Keterlambatan juga merupakan ciri. Tidak jarang
turis kehilangan waktu 1-2 hari hanya menunggl termangu-mangu
di bandar udara. Atau menunggu berjamjam di lobi hotel hanya
untuk mendengar pemberitahuan bahwa pemandu wisata yang dipesan
berhalangan. Juga mereka seringkali membelokkan turis ke
toko-toko persahabatan yang toh menjual barang yang sama. Kepada
CTS para turis melaporkan kekesalan mereka, namun tidak satu pun
surat yang dibalas. "Kita tidak mungkin mendidik mereka," kata
seorang turis. "Mereka harus belajar sendiri, sedikit demi
sedikit. " Jelas perlu waktu, sementara turis terpaksa urut dada
atau membelokkan acara ke tempat lain saja. Toh Cina masih
merupakan idaman bagi banyak-orang untuk didukung.
Tiga tahun lalu, ketika pengusahaasing berlomba-lomba ke Cina
mereka tidak punya pilihan lain kecuali Hotel Beijing yang
jaringan teleponnya awut-awutan. Untuk mengirimkan teleks ke
Amerika, misalnya, mereka terpaksa naik taksi ke gedung
telekomunikasi, mengetik sendiri dalam ruangan yang
penerangannya amat suram. Ruang ini acapkali penuh dengan
pengusaha Barat yang menunggu giliran sampai larut malam.
Bertelepon dengan sesama rekan pengusaha Cina juga tidak terlalu
mudah, karena ada nomor-nomor yang dikategorikan sebagai
"rahasia".
Jangan lupa untuk membawa sekotak kertas tissue ke mana pun anda
pergi. Barang ini masih langka di Cina. Instant coffee sebaiknya
dipersiapkan, sebab kopi di negeri Deng ini tidak karuan
rasanya. Kalau bisa bawa juga pembuka botol, karena ada hotel
yang menyediakan anggur putih Cina yang lumayan rasanya, namun
tidak tersedia alat untuk membuka tutupnya. Tentu saja rokok,
minuman seperti scotch dan brandy tersedia, namun aspirin dan
valium tidak. Perlu dicatat juga bahwa barang suvenir di Beijing
belum tentu lebih murah dibandingkan harga Hongkong atau New
York sekalipun. Sebaliknya, barang buatan Cina dalam variasi
yang lebih kaya justru lebih murah dan mudah dicari di Hongkong.
Sebuah koran di Beijing pernah menulis bahwa pariwisata adalah
sumber paling menguntungkan dalam upaya mengeruk devisa. Ini
benar juga selama orang Barat belum tersembuhkan dari temam
mencari dan mengejar-ngejar pesona Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini