Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Godaan iblis gaya cina

Gambaran kehidupan di cina yang sedang mengalami masa transisi. kaum muda minum coke karena modern. hong kong kecil di persiapkan, dan wiraswasta dapat ruang hidup. (ln)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMAKAI kemeja longgar dan seluar komprang, (manajer) kamrad Zhang Shitong sepintas nampak ajaib di antara pekerja, kalender, dinding dan tumpukan peti yang semuanya menyandang Coca Cola. Warna putih-merah cemerlang yang tersohor sejagat itu seakan mengepung Zhang yang berdiri tenang dan cuma bersepatu sandal. Ia menyambut Orville Schell, ahli Cina dari AS. Seraya menjangkau sebotol Ke Kou Ke Lou (lafaz Cina untuk Coca Cola), Zhang berkata, "Banyak orang bilang rasa akhir Coke seperti obat. Tapi itu karena Cina miskin dan tidak punya mesin pendingin seperti di AS." Asistennya membumbui, "Walau rasa akhirnya seperti obat, ia disukai kaum muda. Karena lagi ngetop dan karena mau modern." Sejak dipasarkan 15 April tahun lalu, Cola Cola, seperti halnya benda-benda mewah Pierre Cardin, dianggap milik orang asing yang bercengkerama di balik-tembok tinggi. Namun dengan harga Rmb (Renminbi) 35 sen, "Coke yang mahal itu juga mereka beli," tutur orang pekerja. Mereka ini siapa lagi kalau bukan muda-mudi Cina. Inilah lapisan paling peka, yang terbawa dan terlanda badai asing yang dulu sering dicerca sebagai musuh atau iblis, oleh Mao dan belakangan ini oleh konservatif. Terhadap musuh dan iblis itu, bertahun-tahun Cina membentengi diri. Tapi Shenzen, desa nelayan terletak persis di seberang Hongkong justru sejak 3 tahun silam dipersiapkan menjadi Hongkong kecil. Katakanlah sebagai wilayah ekonomi khusus. Di atas tanah yang dulunya sawah telah dibangun pencakar langit dan resort tuns. Ada juga pabrik yang merakit bis, pembotolan Pepsi-Cola, dan lain-lain. Seluruhnya sudah menghabiskan US$ 1,4 nlilyar. Penduduk Shenzen sekarang menikmati upah yang lebih tinggi dan kebebasan yang lebih luas tinimbang penduduk di bagian mana pun di Cina. Coha saksikan sebuah tempat hiburan yang diberi nama Taman Seni. Di situ para remaja mengenakan jin Levi's, kemeja kembang-kembang berkerumun di pojok permainan elektronik. Kelompok lebih tua memilih cafe di dekat situ, menghirup Marlboro, meneguk fruit-frappe sambil mendengarkan balada cinta yang seronok dari sebuah cassette-recorder. Di luar, geng pengendara motor berambut panjang dan berjaket hitam siap siap untuk ngebut. Rider Fellow tertulis jelas di punggung mereka. Dan jangan kaget. Penduduk Shenzen konon tidak asing lagi dengan blue film dan disko. Li Yun, pemimpin gerakan moralitas baru, berucap, "Biarpun orang kami bercelana jin dan berambut gondrong, mereka toh bekerja membina sosialisme Cina. Mereka tidak begitu mudah dipengaruhi gaya hidup borjuis. Mereka sudah diembleng partai." Para pejabat pemerintah, sembari khawatir, terpaksa mengikhlaskan pembaratan Shenzen karena yakin orang Cina yang hidup seperti orang asing juga akan bekerja keras seperti orang asing pula. Tapi kekhawatiran ini akhirnya dikumandangkan juga oleh Ketua PKC Hua Yaoban bulan lalu. Sang Ketua menuntut agar rakyat meningkatkan kemampuan kerja, menurunkan jumlah kejahatan, mengurangi kesenangan pribadi. Memang, belum lama ini pejabat di Kanton mengakui adanya pelacuran dan penggunaan obat bius. Kedua perbuatan iblis ini lantas ditumpas. Tapi masih banyak perbuatan iblis yang lain penyelundupan, pemerasan, penyuapan, semua yang entah mengapa digolongkan sebagai "gaya hidup boruls." Sebenarnya, sejak pertengahan tahun 1979, iblis itu sudah mulai menggamls. Di Shanghai, seorang anggota Liga Pmuda Komunis mencuri kotak uang berisi US$ 637, karena ingin sekali hidup enak, persis Gregory Peck dalam film The Million Pound Note. Peck di situ digambarkan sebagai hartawan yang hidup mewah melimpah bagaikan raja. Dan pemuda komunis itu rnengambil jalan pintas. Salahkah dia? Dalam rangka membendung iblis, orang Cina--yang melewatkan malam Minggu dalam acara dansa dengan orang asing -- telah diminta meninggalkan Klub Internasional di Beijing. Koran menyebut mereka telah melakukan kejahatan yang berselubung hiburan dan tak langsung dituduh menjual rahasia negara. Mereka, hampir semua pemuda, telah ditahan dan diperiksa. Pembersihan macam ini banyak terjadi tahun 1979, terkenal dengan sebutan "demam mata-mata." Waktu itu juga dikumandangkan lagi nyanyian Hati-hati Pada Orang Asing yang berasal dari masa revolusi kebudayaan. Pada rmasa bersamaan, gerakan penempelan poster meningkat hebat. Juga ada demonstrasi kecil-kecilan oleh petani dan pekerja, yang sebagian memuncak dalam bentrokan fisik dengan petugas keamanan. Demokrasi Barat mulai dibatasi. Banyak poster di Shanghai dan Beijing dicopot. Tapi masih ada poster mengamuk dalam kata-kata "penindasan demokrasi." Dan penindasan terus dilancarkan, kecuali Dinding Demokrasi yang termasyhur itu yang dibiarkan bertahan di sepanjang Jalan Perdamaian Abadi di Beijing. Ada satu poster yang menuding Cina tidak akan menjalankan modernisasi ekonomi sebelum adanya penyesuaian dalam sistem politik. "Kami inginkan modernisasi, tapi yang bagaimana?" Begitu sebuah poster berbicara. Menyaksikan Cina bergulat dalam masa transisi--yang entah kapan berakhirnya -- orang memang asyik. Kini ada 20 juta penduduk menunggu kerja. Bunuh diri sering terjadi di kalangan mereka. Bagi mereka juga majalah dan surat kabar berbahasa asing cukup tersedia. Mendengarkan siaran radio asing juga sudah hal biasa. Yang pasti mereka tidak harus mengisi benak mereka dengan ajaran-ajaran Mao. Lebih penting lagi ialah pengiriman 10.000 lebih pemuda Cina untuk belajar ke negara Barat dan Jepang. Namun sejak April tahun ini ada peraturan bahwa anak-anak pembesar tidak boleh lagi ke luar negeri. Mereka yang dapat membiayai sekolah sendiri pun, harus bekerja 2 tahun dulu di Cina. Rupanya kembali dikhawatirkan pengaruh ideologi kapitalis yang dekaden, peracunan pikiran, pencemaran adat kebiasaan. Terutama mungkin karena hidup di Cina masih terlalu berat, bahkan untuk sekedar bertahan. Apalagi untuk mencari identitas. Februari tahun silam sekelompok pemuda berang melancarkan aksi protes di Shanghai: berbaring di atas rel kereta, menolak dikirim ke pelosok untuk bekerja di pertanian. Sekelompok pemuda berang lainnya dari barat daya Cina telah berbondong-bondong ke Beijing, memprotes juga. Tapi adalah bintang tenis wanita yang bulan lalu paling menggemparkan Cina. Dalam satu turnamen tenis di Santa Clara, AS, nona Hu Na telah menghilang, kemudian ia dikabarkan meminta suaka pada seorang pengacara. Hu yang berusia 19 tahun dikabarkan mengeluh karena harus melaksanakan "kritik diri" antara lain karena tindak-tanduknya yang terlalu bebas dan rambutnya yang dibiarkan tergerai lepas. Jika Hu menuntut kebebasan, keluarga Piao di pelosok utara Cina sudah cukup puas dengan pesawat televisi 12 inci hitam putih. Bagi keluarga Piao, benda itu suatu lambang kemakmuran. Harganya sebanding US$ 280, 5 kali pendapatan rata-rata sebulan petani Cina. Benda itu masih dianggap mewah berbau borjuis 2 tahun lalu. Tapi kini, pemimpin brigade Li Genjin, 61 tahun, berkata, "Kami tidak lagi takut untuk menjadi kaya." Dan di kawasannya diperkenalkan sistem kerja baru yang mengandalkan prestasi. Hasilnya lumayan. "Dibawah sistem lama orang harus menungu bulan untuk menuai panen. Sekarang cukup 10 hari," ujar Li bangga. Tentang sistem baru Yip Tung, direktur sebuah usaha patungan tegas berkata "Kau harus cukup berani menerapkan ukuran baru tanpa takut berbuat salah." Mengejutkan Yip Tung ini karena biasanya karir seorang pejabat hancur bila ia berbuat salah. Wong Kitming, seorang anggota Partai Komunis yang kini menjadi direkturpelaksana proyek hotel Shi Ching San, tak kurang mengejutkan. "Supaya perusahaan jalan, kau harus memisahkan bisnis dari politik," katanya. Bukan omongkosong rupanya dia. DI hotel itu (buka Januari 1981), manajemen merupakan hasil perpaduan semangat kapitalis dengan kebajikan sosialis. Sebegitu iauh formula itu terbukti unggul. Pada tahun pertama operasinya, pusat turis Shi Cing Shan di Provinsi Guangdong itu sanggup memungut untung besar-- US$ 500.000. Tahun ini keuntungan sudah lipat dua. Karena banyak usaha patungan gagal, sukses finansial ini jadi buah bibir di seluruh daratan Cina. Tak salah bila kemudian dijadikan proyek percontohan. Suksesnya terutama pada para pekerja. Mereka digalakkan untuk bekerja keras dengan imbalan materi dan wejanan bahwa sosialisme menganjurkan pelayanan bagi masyarakat. "Mereka diajar memodernisasi negeri ini sekaligus mencegatl diri tidak sampai terlibat korupsi," kata seorang pegawai tinggi hotel. Upah di sana rata-rata berkisar US$ 21 - US$ 48 sebulan, sedangkan pendapatan rata-rata pegawai pemerintah US$ 30 sebulan. Bedanya tidak terlalu jauh, namun untuk ukuran Cina, barangkali sudah istimewa. Dalam pandangan umum, tindak-tanduk pelayan di Shi Ching Shan juga istimewa. Tempo kerja mereka yang tinggi dan disiplin yang ketat, bukanlah hal yang selama ini dipandang berharga. Orang bahkan tersinggung kalau melihat pelayan tetap berdiri sementara melayani tamu di restoran. Bukankah kaurn pekerja adalah segala-galanya, menurut Mao? Ternyata tidak. Sejak 3 tahun berselang mulai tumbuh dan berkembang kaum wiraswasta. Terkenal dengan nama daiye gingnian, atau "pemuda menunggu kesempatan kerja", mereka disalurkan dalam unit-unit kolektif dan oleh pemerintah diberi status sama dengan perusahaan milik negara. Pada akhir 1978, Biro Statistik Negara mencatat ada 20,48 juta wiraswasta dengan gaji seorang per tahun US$ 325, di samping 74,51 juta pekerja dengan gaji per tahun US$ 430. Di masa Revolusi Kebudayaan, usaha wiraswasta dipandang sebagai gejala kapitalis, satu hal yang sekarang bukan saja halal, tapi juga digalakkan. Di Beijing saja ada 3.086 keluarga wiraswasta, termasuk ke dalamnya 591 bengkel sepatu, 233 bengkel sepeda, 370 penjahit, 226 bengkel alat-alat dapur, 200 salon 461 usaha angkutan, dan sejumlah bar & restoran. Dikabarkan mereka lihai mengelakkan pajak dan seenaknya menaikkan harga, sesuatu yang lazim di mana pun juga. Tapi senang atau tidak, sektor ini telah memainkan peran kedua dalam ekonomi, sesudah perusahaan milik negara. Adapun yang disebut terakhir, bukanlah sama sekali tanpa cacat. Khusus bagi turis asing yang tiap tahun membanjir sebanyak 800.000 ke daratan Cina (masih 1/4 dari jumlah turis ke Hongkong), sudah ada CTS (China Travel Service), contoh sebuah perusahaan negara yang benar-benar lengkap dengan pelbagai cacat. Turis yang umumnya kecewa memberi julukan China Trouble Service, untuk perusahaan tersebut yang memegang monopoli dalam pengelolaan turis. Pilihan lain tidak ada. Semua tarif diatur langsung oleh CTS yang berkaitan dengan hotel, restoran, bahkan pemandu wisata. Tiga hari perjalanan ke Kanton dari Hon kong dikenakan biaya US$ 235 per orang, 12 hari ke Beijing, Shanghai, Nanjing dan Hangzhou US$ 1.170 per orang. Kuat dugaan, tarif ini sekarang naik. Bukan semata karena inflasi, tapi adanya tarif tak terduga, yang jelas bikin pusing kepala. Seorang anggota Parlemen Inggris, Robert Parry, mengeluh bahwa "pengeluaran ekstra" itu terlalu besar. Semua turis lain: Jerman, Belgia, Prancis, Yunani sama mengeluh "mahal, terlalu mahal". Bukan itu saja. Keterlambatan juga merupakan ciri. Tidak jarang turis kehilangan waktu 1-2 hari hanya menunggl termangu-mangu di bandar udara. Atau menunggu berjamjam di lobi hotel hanya untuk mendengar pemberitahuan bahwa pemandu wisata yang dipesan berhalangan. Juga mereka seringkali membelokkan turis ke toko-toko persahabatan yang toh menjual barang yang sama. Kepada CTS para turis melaporkan kekesalan mereka, namun tidak satu pun surat yang dibalas. "Kita tidak mungkin mendidik mereka," kata seorang turis. "Mereka harus belajar sendiri, sedikit demi sedikit. " Jelas perlu waktu, sementara turis terpaksa urut dada atau membelokkan acara ke tempat lain saja. Toh Cina masih merupakan idaman bagi banyak-orang untuk didukung. Tiga tahun lalu, ketika pengusahaasing berlomba-lomba ke Cina mereka tidak punya pilihan lain kecuali Hotel Beijing yang jaringan teleponnya awut-awutan. Untuk mengirimkan teleks ke Amerika, misalnya, mereka terpaksa naik taksi ke gedung telekomunikasi, mengetik sendiri dalam ruangan yang penerangannya amat suram. Ruang ini acapkali penuh dengan pengusaha Barat yang menunggu giliran sampai larut malam. Bertelepon dengan sesama rekan pengusaha Cina juga tidak terlalu mudah, karena ada nomor-nomor yang dikategorikan sebagai "rahasia". Jangan lupa untuk membawa sekotak kertas tissue ke mana pun anda pergi. Barang ini masih langka di Cina. Instant coffee sebaiknya dipersiapkan, sebab kopi di negeri Deng ini tidak karuan rasanya. Kalau bisa bawa juga pembuka botol, karena ada hotel yang menyediakan anggur putih Cina yang lumayan rasanya, namun tidak tersedia alat untuk membuka tutupnya. Tentu saja rokok, minuman seperti scotch dan brandy tersedia, namun aspirin dan valium tidak. Perlu dicatat juga bahwa barang suvenir di Beijing belum tentu lebih murah dibandingkan harga Hongkong atau New York sekalipun. Sebaliknya, barang buatan Cina dalam variasi yang lebih kaya justru lebih murah dan mudah dicari di Hongkong. Sebuah koran di Beijing pernah menulis bahwa pariwisata adalah sumber paling menguntungkan dalam upaya mengeruk devisa. Ini benar juga selama orang Barat belum tersembuhkan dari temam mencari dan mengejar-ngejar pesona Cina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus