LENTERA merah di Lapangan Tienanmen, bulan purnama di atasnya
dan hidangan kue keranjang pada tiap keluarga Cina. Inilah
suasana hangat menyambut kunjungan PM Jepang Zenko Suzuki ke
Cina pekan silam. Tanpa parade militer, seluruh negeri merayakan
1 Oktober, hari kemerdekaan ke-33 yang jatuh bersamaan dengan
pesta musim gugur. Kebetulan seperti ini jarang terjadi dan
terasa lebih berarti karena hasil Kongres PKC ke-12 memperkuat
posisi Deng Xiaoping, mencampakkan belenggu dogmatisme/kultus
individu (baca Maoisme), dan mengamankan modernisasi. Dalam kata
lain, ini satu lompatan lagi bagi upaya Demoisasi.
Suzuki hadir di Beijing sesudah lompatan terjadi, khusus dalam
rangka memperingati 10 tahun persahabatan Cina-Jepang, tepatnya
29 September. Ia pun bicara tentang lompatan jauh yang bisa
dilakukan oleh kedua negara untuk mencapai tujuan bersama.
Suasana pekan lalu belum sepenuhnya bebas dari sisa kemarahan
Cina atas buku pegangan sejarah Jepang yang menghebohkan itu,
namn Suzuki menyebut juga soal "prospek penanaman modal asing
yang cukup cerah, sejauh Beijing sanggup menumbuhkan iklim
berusaha yang baik."
Bicara soal iklim berusaha di Cina, setap pengunjung agaknya
belum sanggup menebak cuaca. Memang pada Februari 1978, Deng
membuka pintu ekononomi Cina untuk investasi dan teknologi
asing. Tanpa mengkaji lebih dalam, para pionir dunia usaha dari
negara maju kemudian menyerbu ke sana, bagaikan Marcopolo abad
ini, penuh gairah dan semangat tinggi. Tidak salah lagi, mereka
mengejar sesuatu di Kerajaan Tengah.
Tapi sesuatu itu belum sempat diperoleh. Juli 1979, RRC secara
resmi mengumumkan tekad pemerintah untuk penyesuaian kembali.
Dengan tekad ini sekian banyak kontrak kerjasama ekonomi
dinyatakan ditunda atau dibatalkan. Pangusaha AS, Eropa dan
Jepang geger. Tindakan drastis yang menyangkut penghapusan
kontrak sampai meliputi beberapa milyar US$ agaknya baru sekali
itu terjadi. RRC memang menjanjikan ganti rugi, misalnya pada
Jepang, sementara mereka mengharapkan pinjaman lunak. Nah!
Tapi itu 3 tahun silam. Selama itu banyak yang terjadi. Jepang
yang sangat terpukul terutama karena kontraknya dengan Cina
untuk membangun proyek raksasa besi baja Baoshan dibatalkan --
berusaha untuk waspada. Tokyo tiap kali terpaksa membaca
perkembangan politik di Cina secara lebih hati-hati maklum,
politik di sana konon lebih mirip misteri. Dan di kalangan
pengusaha Amerika timbul kesadaran bahwa surat-surat kontrak
yang bagi mereka keramat, dalam pandangan Cina agaknya tidak
lebih dari selembar kertas tanpa sanksi atau kewajiban apa pun
yang bisa mengikat kedua belah pihak.
Reaksi mereka terhadap kesewenangan Cina terpecah tiga.
Pertama, sama sekali memutuskan hubungan dagang dengan Cina.
Kedua, mencoba memperuhankan keyakinan yang kurang realistis
akan potensi pasar di Cina. Ketiga, menilai hubungan dengin Cina
masih berharga untuk dilanjutkan. Tapi Kenneth P. Morse,
presiden Chase Pacific Trade Advisors menegaskan bahwa sebagian
besar pengusaha Amerika condong pada pilihan pertama.
Seorang pengamat menyatakan bahwa Deng Xiaoping dengan ambisi
tinggi telah membuka lebar-lebar pintu ekonomi Cina tapi pada
saat hampir bersamaan pintu itu tertutup kembali. Mengapa? Tidak
ada satu jawaban telak yang tersedia. Dunia luar sebegitu jauh
hanya dapat menduga sebab-sebab apa saja sampai menyebabkan Cina
maju selangkah, kemudian mundur dua langkah.
XUE Muqiao, penasihat senior pada Komisi Perencanaan Negara,
mengakui bahwa negaranya amat kurang berpengalaman dalam soal
kerja sama ekonomi dengan dunia luar. Sekian banyak kontrak
terpaksa dibatalkan katanya, sebab Cina tidak sanggup mensuplai
energi untuk keperluan proyek yang semuanya ternyau membutuhkan
banyak sekali energi. Eksplorasi minyak lepas pantai yang gencar
dilakukan di Teluk Bohai, Teluk Beibu, Laut Kuning dan Laut Cina
Selatan baru dapat diharapkan hasilnya paling cepat 2 tahun
mendatang.
Kebetulan dana Cina semakin meni' pis karena dialihkan untuk
kebutuhan lain yang lebih mendesak seperti perang dengan Vietnam
(1979), subsidi pangan untuk meningkatkan taraf hidup (toh
dilaporkan 10 juta rakyat Cina terancam kelaparan) dan juga
subsidi perumahan untuk penduduk kota dan desa. Ini saja sudah
membuat Cina kewalahan.
Deng sementara itu masih harus menghadapi unsur radikal dalam
PKC yang menolak modernisasi. Di samping itu masih banyak
hambatan lain: birokrasi yang kaku, pemusatan kegiatan ekonomi,
tenaga kerja yang tidak ahli tidak terlatih/tidak efisien. Juga
ada rintangan ini: penentuan harga secara terpusat dan orientasi
pada pemakaian tenaga ketja secara maksimal, bukan efisiensi
yang maksimal. Xue Muqiao yakin, negaranya bisa belajar dari
model Yugoslavia dengan "market socialism" nya, dengan catatan
wewenang Pusat harus lebih kuat.
Mereka konon sudah mulai tertarik pada usaha patungan, bahkan
mereka juga melongok ke model-model Indonesia Malaysia dan
Filipina. Tapi haruslah diakui, mengajak 1 milyar rakyat ikut
bersama-sama melompat, sungguh dalam sejarah ekonomi dunia belum
ada contohnya.
Jadi bagaimana? Manajer di Cina me ngeluh. Dia diharuskan
bertindak atas perhitungan laba rugi, tapi tidak diberi
wewenang untuk menentukan harga barang yang diproduksinya
sendiri. Juga manajer belum dilibatkan dalam pembelian bahan
baku.
Memang Deng Xiaoping menggalakan apa yang disebut manajemen
sendiri, bahkan sejak 1978, namun baru terlaksana secara
terbatas sekali. Ketika orang manajer ditanya "apa yang terjadi
bila pabriknya bangkrut," jawabnya "Negara akan menyelamatkan
saya."
Di sini masalahnya adalah sikap mental yang menghambat
peningkatan pro duktivitas dan menggerogoti lapisan manajer,
juga lapisan pekerja. Bukan rahasia lagi bahwa kualitas dan
disiplin kerja buruh di daratan Cina, jauh lebih rendah daripada
rekan mereka di Hong kong, Taiwan atau Korea Selatan. Memang
pada beberapa pabrik sudah diperkenalkan sistem bonus, tapi
jumlah nya kemudian dikurangi, agar pemerataan berlaku di
seluruh negeri. Emm. Sesudah ditimbang-timbang maka tak
terhindarkan kesimpulan bahwa Cina belum siap untuk lompatan
ekonomi yang jauh ke depan.
Adapun usaha penyesuaian kembali - satu paket dalam slogan
penyesuaian, penstrukturan kembali, konsolidasi dan
pengembangan--telah berlangsung 3 tahun. Itu diperhitungkan bisa
berlangsung sekian tahun lagi.
Perbaikan ekonomi baru terbatas di beberapa kawasan tertentu
(lihat Godaal Iblis Gaya Cina). Umumnya tingkat pendapatan
berkisar di situ-situ saja. Pekerja mengeluh karena upahnya sama
saja, di zaman Komplotan Empat ataupun di masa Deng.
Keresahan--demikian gerangan kekhawatiran Deng dkk-bisa memuncak
dalam krisis kepercayaan.
Tindakan pertama, kembali ke anggaran berimbang. Sesudah dilanda
defisit 3 tahun bertutur-turut (1979: US$ 11 milyar, 1980: US$
8,1 milyar, 1981 US$ 5 milyar), pengeluaran negara diketatkan,
anggaran militer dikurangi. Ini pun tidak cukup. Sumber
pendapatan negara berupa pajak dan keuntungan dari
perusahaan-perusahaan negara tidak terlah bisa diharapkan.
Industri berat yang selama ini merupakan tulang punggung ekonomi
negara, diharuskan membatasi produksi, dan titik berat kegiatan
beralih ke industri ringan yang memproduksi barang-barang jadi.
Memang pendapatan sektor ini naik 11,6% (semester I 1981) tapi
pendapatan di sektor industri berat turun 8,2%. Pendapatan
industri keseluruhannya ditargetkan naik 2,4% tapi tercapai cuma
0.8%.
Defisit memaksa Bank of China untuk cetak uang, bahkan sampai
US$ 5,2 milyar equivalen. Untung pemerintah berhasil menyedot
kembali 40% dari volume uang yang beredar hingga usaha
menjinakkan inflasi, meskipun tidak berhasil optimal, tidaklah
terlalu buruk. Dan pengetatan ikat pinggang itu setidaknya
menumbuhkan kembali kepercayaan pada Deng dkk, sejak tahun 1981.
Sementara itu, berkat minyak bumi defisit dalam neraca
perdagangannya di tahun 1980 menurun dari Rmb 3,1 milyar jadi
Rmb 800 juta. Dengan produksi rata-rata 2,1 juta barrel per
hari, Cina tercatat sebagai negara penghasil minyak nomor 9 di
dunia.
Cadangan minyaknya meyakinkan juga (lihat tabel). Ladang minyak
bertebaran di Daqing Renqiu dan Liaohe (timur-laut Cina),
Nanyang (sentral Cina) juga di Xinjiang, Qinghai dan Sichuan.
Belum lagi minyak lepas pantai yang pengeborannya dilakukan oleh
Japan China oil Development atas kontrak 5 tahun meliputi US$
100-200 juta. Dan satu lagi proyek sama, oleh Elf Aquitaine &
Total (Prancis) dengan kontrak 4 tahun meliputi US$ 80-83 juta.
Pengeboran lepas pantai sudah akan bisa menghasilkan tahun
1984/85, namun apa boleh buat, di tahun 1990 diperhitungkan
bahwa industri Cina akan lebih meluas hingga pasti memerlukan
lebih banyak minyak. Pada saat itu, agaknya hanya tersisa 1 juta
barrel sehari untuk ekspor, sebagian besar diduga mengalir ke
Jepang.
Dalam usaha mengurangi ketergantungan pada minyak sebagai sumber
energi, Cina dalam 10 tahun mendatang akan membuka 16 tambang
batubara yang berpusat di kawasan timur negeri itu. Provinsi
Anhui ditetapkan sebagai lokasinya. Keenambelas tambang itu
diperkirakan akan menghasilkan 34,6 juta ton batubara per tahun.
Sumber energi pengganti itu amat vital bagi industri di Shanghai
dan 6 provinsi lainnya, teristimewa sesudah produksi batubara
Cina menurun sejak 1979. Tahun 1981 produksinya 620 juta ton,
tahun ini ditargetkan 625 juta ton. Fang Weizhong, deputi
Menteri Perencanaan menyatakan Cina akan melipatduakan sumber
energinya di ujung abad ini, terutama minyak dan batubara Orang
kuat Cina Deng Xiaoping semula beramisi menetapkan modernisasi
terutama pada bidang: pertanian, industri, ilmu teknologi dan
pertahanan. Itulah sasarannya untuk tahun 2000, tapi kemuslian
terkena penyesuaian. Akibatnya, belum ada kejelasan Cina untuk
membayar ganti rugi karena kontraknya dibatalkan atau ditunda?
Jepang pertama-tama paling terpukul oleh tindakan sepihak Cina.
Ada 22 kontrak kerjasama senilai US$ 2,5 milyar yang
dibatalkan/ditunda. Proyek besi baja Baoshan dekat Shanghai
(seluruhnya direncanakan bernilai US$ 6 milyar), yang memasuki
tahap pembangunan kedua, dibatalkan sesudah menguras US$ 700
juta dari kocek Jepang. Banyak keterangan simpang-siur tentang
alasan pembatalan ini: pemilihan lokasi salah, koordinasi antara
kedua pihak tidak rapi dan sebagainya. Yang pasti ialah proyek
raksasa (yang mungkin akhirnya bisa menelan sampai US$ 7 milyar)
itu sudah lepas dari tangan Jepang (lihat tabel).
Belum lagi beberapa proyek setengah raksasa -- seperti proyek
petrokimia Nanjing, instalasi kimia Dongfang di Beijing,
instalasi petrokimia Yanshan dan satu proyek kimia Shengli di
Shandong. Semuanya tercatat 7 proyek yang sudah menelan modal
Jepang sebanyak US$ 620 juta.
Jerman Barat, yang dihajar oleh kebijaksanaan penyesuaian
kembali, kehilangan US$ 919 juta, mungkin US$ 4,5 juta lagi
menyusul. Sebagian besar mencakup proyek kimia dan pertambangan.
Prancis, Inggris, AS, juga dirugikan sekian juta dollar, dalam
cara yang sama. Tentu saja para diplomat dan teknokrat Cina
membahas pembatalan itu secara baikbaik, namun bagaimana persis
pembayaran ganti rugi kepada mereka tidaklah jelas benar.
Lepas dari pengalaman pahit yang cukup menimbulkan was-was di
pihak kapitalis dunia, kegiatan perdagangan mereka dengan Cina
sebaliknya maju pesat. Dewan Nasional Hubungan Dagang AS-Cina
sudah memperhitungkan volume perdagangan kedua negara bisa
mencapai US$ 8 milyar tahun 1985. Volume perdagangan Jepang-Cina
malah mencapai US$ 10,3 juta untuk tahun 1981 saja. Ini
menandakan hubungan baik tetap ada, bahkan diharapkan meningkat.
Bagi Cina keadaan menjadi lebih cerah sesudah negara itu
diterima sebagai anggota IMF dan menggondol pinjaman lunak US$
1,1 milyar. Neraca perdagangannya pun membaik sejak tahun silam.
Tanpa membuang waktu, Cina juga menggalakkan wiraswasta seraya
membuka peluang bagi kapitalis pribumi yang dulu diremukkan oleh
Revolusi Kebudayaan. Contoh: Liu Jingji, dulu raksasa tekstil
yang, oleh Deng dibangkitkan kembali. Modalnya semula US$ 600
sudah dikembalikan pemerintah, dan orang tua berusia 80 tahun
itu dipercayai memimpin Perusahaan Konstuksi Patriotis, salah
satu model modernisasi Deng.
Di samping itu, tanpa segan dan malu, Cina kembali merayu para
penanam modal asing. Sejak Februari tahun ini, misalnya, 11
provinsi di sepanjang pantai timur Cina diberi otonomi lebih
luas dalam hal-hal seperti: impor, bea cukai, tukar-menukar
mata-uang asing, suku bunga dan proyek investasi. Semua
kebebasan ini tentu untuk meyakinkan pengusaha asing agar datang
kembali dan mempercayakan uang mereka ke tangan Cina. Banyak
juga yang tertarik, apalagi beberapa usaha patungan sudah
menampakkan hasil.
Bagi pengusaha asing, tahap berunding dengan partner Cina
benar-benar melelahkan. Bayangkan, sesudah naik-turun pesawat
terbang, kapal atau mobil, mereka sampai ke meja perundingan dan
berhadapan dengan tuan-rumah yang bukan saja tidak siap, tapi
juga tidak berminat. Perundingan jadi berbelit-belit, tanpa
hasil nyata. Bahkan, bisa saja sebuah kontrak yang sudah
ditandatangani, begitu saja diubah atau ditolak, tanpa
campurtangan badan penengah. Kalau diprotes, jawaban khas Cina
tersedia, "Ini sudah merupakan tuntutan kondisi setempat."
Konon dalam barisan yang pernah kecewa termasuk raksasa kapal
Sir Y.K. Pao. Dia secara terbuka melancarkan kritik pada Cina,
karena telepon yang bertubi-tubi, surat-surat apalagi, masih
belum bisa dimanfaatkan untuk melancarkan kerjasama.
Sebuah perusahaan Hongkong telah diperdaya oleh rekannya di
daratan Cina karena membangun gudang yang di bawah standar.
Pihak Hongkong memprotes, malah sampai ke Beijing, tanpa
hasil. Ini berlanjut pada kekacauan pengiriman barang, yang
selalu menyimpang dari kontrak pemesanan, baik dalam kuantitas
maupun kualitas. Parah memang: Keadaan menjadi lebih runyam,
karena partner Cina itu tidak mau tahu dengan kerugian yang
terpaksa dipikul pengusaha asing. Bila diajak merundingkan
keringanan pajak, mereka bingung.
Mereka bahkan tldak peduli apakan laba mengalir ke perusahaan
patungan .Irau ke pemerintah. Mungkin bagi mereka sama saja.
Entahlah. Juga ruwet soal tuntutan pasar dan konsumen. Dengan
mudah seorang partner Cina berkata, "Bilang pada mereka barang
itu belum tersedia hari ini. Dia harus menunggu sampai besok."
Toh "iklim berusaha yang baik" diharapkan PM Zenko Suzuki.
Seperti ditandaskan oleh Prof. Shinkichi Eto dai Tokyo
University, Cina dengan segenap kekurangannya, tetap merupakan
daya tarik tersendiri. Penduduk negeri ini yang mengaku
terbelakang tapi hukanlah tidak berkebudayaan, menurut Eto,
adalah tipe manusia yang halus budibahasanya, pandai meyakinkan
(lrang dan kalau perlu sangup merendahkan diri. "Sebelum sadar,
kita sudah jatuh senang," kata Eto dalam Look Japan, September
1982.
KETF.RANGAN Eto tidaklah seirama dengan sikap dingin mereka
terhadap AS yang memberikan bantuan senjata pada Taiwan. Dan
Mararet Thatcher dari Inggris yang datang kesana merundingkan
nasib Hongkong belum jatuh senang. Sesudah lebih dulu wajib
mengerti bahwa Hongkong itu wilayah Cina, PM Inggris itu harus
mendengar sikap tegas Cina yang tidak mengakui perjanjian sewa
Hongkong yang dibuat hampir 1 abad silam. Dengan amat yakin
keterangan resmi RRC menandaskan, "Hongkong akan dirangkul
kembali bila waktunya matang untuk itu."
Rupanya RRC sambil tidak menyembunyikan sikap antipati pada
politik hegemoni Soviet, pada gilirannya tetap memandang
Hongkong dan Taiwan sebagai hak milik mereka. Terakhir Cina
dikabarkan membuat pesawat peluncur yang sanggup melontarkan
satelit ke orbitnya atau mengirimkan roket ukuran besar ke
angkasa luar. Ada kekhawatiran pesawat peluncur itu
sewaktu-waktu akan dimanfaatkan pula untuk menghaiar Taiwan.
Terlepas dari posiSi ekonomi RRC yang, menurut seorang ahli
Amerika, masih berada dalam tahap teknologi tahun 1935, Beijing
nampaknya akan semakin banyak terlibat dalam urusan dunia.
Dengan semakin mantapnya kedudukan Deng Xiaoping, semakin kuat
kesan bahwa negara itu tidak ingin dipandang semata-mata sebagai
satu negara klien dari kubu AS. Dan karena Uni Soviet sedang
mencoba membina kembali hubungan baik dengan RRC, tak mungkin AS
akan jatuh senang seterusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini