Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jual beli dengan cina rayuan cina, tawaran jepang

Kini deng xiaoping mengejar modernisasi dan mengundang investor asing lagi untuk menanam modal. gambaran kehidupan yang sedang mengalami masa transisi di cina. (ln)

9 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LENTERA merah di Lapangan Tienanmen, bulan purnama di atasnya dan hidangan kue keranjang pada tiap keluarga Cina. Inilah suasana hangat menyambut kunjungan PM Jepang Zenko Suzuki ke Cina pekan silam. Tanpa parade militer, seluruh negeri merayakan 1 Oktober, hari kemerdekaan ke-33 yang jatuh bersamaan dengan pesta musim gugur. Kebetulan seperti ini jarang terjadi dan terasa lebih berarti karena hasil Kongres PKC ke-12 memperkuat posisi Deng Xiaoping, mencampakkan belenggu dogmatisme/kultus individu (baca Maoisme), dan mengamankan modernisasi. Dalam kata lain, ini satu lompatan lagi bagi upaya Demoisasi. Suzuki hadir di Beijing sesudah lompatan terjadi, khusus dalam rangka memperingati 10 tahun persahabatan Cina-Jepang, tepatnya 29 September. Ia pun bicara tentang lompatan jauh yang bisa dilakukan oleh kedua negara untuk mencapai tujuan bersama. Suasana pekan lalu belum sepenuhnya bebas dari sisa kemarahan Cina atas buku pegangan sejarah Jepang yang menghebohkan itu, namn Suzuki menyebut juga soal "prospek penanaman modal asing yang cukup cerah, sejauh Beijing sanggup menumbuhkan iklim berusaha yang baik." Bicara soal iklim berusaha di Cina, setap pengunjung agaknya belum sanggup menebak cuaca. Memang pada Februari 1978, Deng membuka pintu ekononomi Cina untuk investasi dan teknologi asing. Tanpa mengkaji lebih dalam, para pionir dunia usaha dari negara maju kemudian menyerbu ke sana, bagaikan Marcopolo abad ini, penuh gairah dan semangat tinggi. Tidak salah lagi, mereka mengejar sesuatu di Kerajaan Tengah. Tapi sesuatu itu belum sempat diperoleh. Juli 1979, RRC secara resmi mengumumkan tekad pemerintah untuk penyesuaian kembali. Dengan tekad ini sekian banyak kontrak kerjasama ekonomi dinyatakan ditunda atau dibatalkan. Pangusaha AS, Eropa dan Jepang geger. Tindakan drastis yang menyangkut penghapusan kontrak sampai meliputi beberapa milyar US$ agaknya baru sekali itu terjadi. RRC memang menjanjikan ganti rugi, misalnya pada Jepang, sementara mereka mengharapkan pinjaman lunak. Nah! Tapi itu 3 tahun silam. Selama itu banyak yang terjadi. Jepang yang sangat terpukul terutama karena kontraknya dengan Cina untuk membangun proyek raksasa besi baja Baoshan dibatalkan -- berusaha untuk waspada. Tokyo tiap kali terpaksa membaca perkembangan politik di Cina secara lebih hati-hati maklum, politik di sana konon lebih mirip misteri. Dan di kalangan pengusaha Amerika timbul kesadaran bahwa surat-surat kontrak yang bagi mereka keramat, dalam pandangan Cina agaknya tidak lebih dari selembar kertas tanpa sanksi atau kewajiban apa pun yang bisa mengikat kedua belah pihak. Reaksi mereka terhadap kesewenangan Cina terpecah tiga. Pertama, sama sekali memutuskan hubungan dagang dengan Cina. Kedua, mencoba memperuhankan keyakinan yang kurang realistis akan potensi pasar di Cina. Ketiga, menilai hubungan dengin Cina masih berharga untuk dilanjutkan. Tapi Kenneth P. Morse, presiden Chase Pacific Trade Advisors menegaskan bahwa sebagian besar pengusaha Amerika condong pada pilihan pertama. Seorang pengamat menyatakan bahwa Deng Xiaoping dengan ambisi tinggi telah membuka lebar-lebar pintu ekonomi Cina tapi pada saat hampir bersamaan pintu itu tertutup kembali. Mengapa? Tidak ada satu jawaban telak yang tersedia. Dunia luar sebegitu jauh hanya dapat menduga sebab-sebab apa saja sampai menyebabkan Cina maju selangkah, kemudian mundur dua langkah. XUE Muqiao, penasihat senior pada Komisi Perencanaan Negara, mengakui bahwa negaranya amat kurang berpengalaman dalam soal kerja sama ekonomi dengan dunia luar. Sekian banyak kontrak terpaksa dibatalkan katanya, sebab Cina tidak sanggup mensuplai energi untuk keperluan proyek yang semuanya ternyau membutuhkan banyak sekali energi. Eksplorasi minyak lepas pantai yang gencar dilakukan di Teluk Bohai, Teluk Beibu, Laut Kuning dan Laut Cina Selatan baru dapat diharapkan hasilnya paling cepat 2 tahun mendatang. Kebetulan dana Cina semakin meni' pis karena dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak seperti perang dengan Vietnam (1979), subsidi pangan untuk meningkatkan taraf hidup (toh dilaporkan 10 juta rakyat Cina terancam kelaparan) dan juga subsidi perumahan untuk penduduk kota dan desa. Ini saja sudah membuat Cina kewalahan. Deng sementara itu masih harus menghadapi unsur radikal dalam PKC yang menolak modernisasi. Di samping itu masih banyak hambatan lain: birokrasi yang kaku, pemusatan kegiatan ekonomi, tenaga kerja yang tidak ahli tidak terlatih/tidak efisien. Juga ada rintangan ini: penentuan harga secara terpusat dan orientasi pada pemakaian tenaga ketja secara maksimal, bukan efisiensi yang maksimal. Xue Muqiao yakin, negaranya bisa belajar dari model Yugoslavia dengan "market socialism" nya, dengan catatan wewenang Pusat harus lebih kuat. Mereka konon sudah mulai tertarik pada usaha patungan, bahkan mereka juga melongok ke model-model Indonesia Malaysia dan Filipina. Tapi haruslah diakui, mengajak 1 milyar rakyat ikut bersama-sama melompat, sungguh dalam sejarah ekonomi dunia belum ada contohnya. Jadi bagaimana? Manajer di Cina me ngeluh. Dia diharuskan bertindak atas perhitungan laba rugi, tapi tidak diberi wewenang untuk menentukan harga barang yang diproduksinya sendiri. Juga manajer belum dilibatkan dalam pembelian bahan baku. Memang Deng Xiaoping menggalakan apa yang disebut manajemen sendiri, bahkan sejak 1978, namun baru terlaksana secara terbatas sekali. Ketika orang manajer ditanya "apa yang terjadi bila pabriknya bangkrut," jawabnya "Negara akan menyelamatkan saya." Di sini masalahnya adalah sikap mental yang menghambat peningkatan pro duktivitas dan menggerogoti lapisan manajer, juga lapisan pekerja. Bukan rahasia lagi bahwa kualitas dan disiplin kerja buruh di daratan Cina, jauh lebih rendah daripada rekan mereka di Hong kong, Taiwan atau Korea Selatan. Memang pada beberapa pabrik sudah diperkenalkan sistem bonus, tapi jumlah nya kemudian dikurangi, agar pemerataan berlaku di seluruh negeri. Emm. Sesudah ditimbang-timbang maka tak terhindarkan kesimpulan bahwa Cina belum siap untuk lompatan ekonomi yang jauh ke depan. Adapun usaha penyesuaian kembali - satu paket dalam slogan penyesuaian, penstrukturan kembali, konsolidasi dan pengembangan--telah berlangsung 3 tahun. Itu diperhitungkan bisa berlangsung sekian tahun lagi. Perbaikan ekonomi baru terbatas di beberapa kawasan tertentu (lihat Godaal Iblis Gaya Cina). Umumnya tingkat pendapatan berkisar di situ-situ saja. Pekerja mengeluh karena upahnya sama saja, di zaman Komplotan Empat ataupun di masa Deng. Keresahan--demikian gerangan kekhawatiran Deng dkk-bisa memuncak dalam krisis kepercayaan. Tindakan pertama, kembali ke anggaran berimbang. Sesudah dilanda defisit 3 tahun bertutur-turut (1979: US$ 11 milyar, 1980: US$ 8,1 milyar, 1981 US$ 5 milyar), pengeluaran negara diketatkan, anggaran militer dikurangi. Ini pun tidak cukup. Sumber pendapatan negara berupa pajak dan keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara tidak terlah bisa diharapkan. Industri berat yang selama ini merupakan tulang punggung ekonomi negara, diharuskan membatasi produksi, dan titik berat kegiatan beralih ke industri ringan yang memproduksi barang-barang jadi. Memang pendapatan sektor ini naik 11,6% (semester I 1981) tapi pendapatan di sektor industri berat turun 8,2%. Pendapatan industri keseluruhannya ditargetkan naik 2,4% tapi tercapai cuma 0.8%. Defisit memaksa Bank of China untuk cetak uang, bahkan sampai US$ 5,2 milyar equivalen. Untung pemerintah berhasil menyedot kembali 40% dari volume uang yang beredar hingga usaha menjinakkan inflasi, meskipun tidak berhasil optimal, tidaklah terlalu buruk. Dan pengetatan ikat pinggang itu setidaknya menumbuhkan kembali kepercayaan pada Deng dkk, sejak tahun 1981. Sementara itu, berkat minyak bumi defisit dalam neraca perdagangannya di tahun 1980 menurun dari Rmb 3,1 milyar jadi Rmb 800 juta. Dengan produksi rata-rata 2,1 juta barrel per hari, Cina tercatat sebagai negara penghasil minyak nomor 9 di dunia. Cadangan minyaknya meyakinkan juga (lihat tabel). Ladang minyak bertebaran di Daqing Renqiu dan Liaohe (timur-laut Cina), Nanyang (sentral Cina) juga di Xinjiang, Qinghai dan Sichuan. Belum lagi minyak lepas pantai yang pengeborannya dilakukan oleh Japan China oil Development atas kontrak 5 tahun meliputi US$ 100-200 juta. Dan satu lagi proyek sama, oleh Elf Aquitaine & Total (Prancis) dengan kontrak 4 tahun meliputi US$ 80-83 juta. Pengeboran lepas pantai sudah akan bisa menghasilkan tahun 1984/85, namun apa boleh buat, di tahun 1990 diperhitungkan bahwa industri Cina akan lebih meluas hingga pasti memerlukan lebih banyak minyak. Pada saat itu, agaknya hanya tersisa 1 juta barrel sehari untuk ekspor, sebagian besar diduga mengalir ke Jepang. Dalam usaha mengurangi ketergantungan pada minyak sebagai sumber energi, Cina dalam 10 tahun mendatang akan membuka 16 tambang batubara yang berpusat di kawasan timur negeri itu. Provinsi Anhui ditetapkan sebagai lokasinya. Keenambelas tambang itu diperkirakan akan menghasilkan 34,6 juta ton batubara per tahun. Sumber energi pengganti itu amat vital bagi industri di Shanghai dan 6 provinsi lainnya, teristimewa sesudah produksi batubara Cina menurun sejak 1979. Tahun 1981 produksinya 620 juta ton, tahun ini ditargetkan 625 juta ton. Fang Weizhong, deputi Menteri Perencanaan menyatakan Cina akan melipatduakan sumber energinya di ujung abad ini, terutama minyak dan batubara Orang kuat Cina Deng Xiaoping semula beramisi menetapkan modernisasi terutama pada bidang: pertanian, industri, ilmu teknologi dan pertahanan. Itulah sasarannya untuk tahun 2000, tapi kemuslian terkena penyesuaian. Akibatnya, belum ada kejelasan Cina untuk membayar ganti rugi karena kontraknya dibatalkan atau ditunda? Jepang pertama-tama paling terpukul oleh tindakan sepihak Cina. Ada 22 kontrak kerjasama senilai US$ 2,5 milyar yang dibatalkan/ditunda. Proyek besi baja Baoshan dekat Shanghai (seluruhnya direncanakan bernilai US$ 6 milyar), yang memasuki tahap pembangunan kedua, dibatalkan sesudah menguras US$ 700 juta dari kocek Jepang. Banyak keterangan simpang-siur tentang alasan pembatalan ini: pemilihan lokasi salah, koordinasi antara kedua pihak tidak rapi dan sebagainya. Yang pasti ialah proyek raksasa (yang mungkin akhirnya bisa menelan sampai US$ 7 milyar) itu sudah lepas dari tangan Jepang (lihat tabel). Belum lagi beberapa proyek setengah raksasa -- seperti proyek petrokimia Nanjing, instalasi kimia Dongfang di Beijing, instalasi petrokimia Yanshan dan satu proyek kimia Shengli di Shandong. Semuanya tercatat 7 proyek yang sudah menelan modal Jepang sebanyak US$ 620 juta. Jerman Barat, yang dihajar oleh kebijaksanaan penyesuaian kembali, kehilangan US$ 919 juta, mungkin US$ 4,5 juta lagi menyusul. Sebagian besar mencakup proyek kimia dan pertambangan. Prancis, Inggris, AS, juga dirugikan sekian juta dollar, dalam cara yang sama. Tentu saja para diplomat dan teknokrat Cina membahas pembatalan itu secara baikbaik, namun bagaimana persis pembayaran ganti rugi kepada mereka tidaklah jelas benar. Lepas dari pengalaman pahit yang cukup menimbulkan was-was di pihak kapitalis dunia, kegiatan perdagangan mereka dengan Cina sebaliknya maju pesat. Dewan Nasional Hubungan Dagang AS-Cina sudah memperhitungkan volume perdagangan kedua negara bisa mencapai US$ 8 milyar tahun 1985. Volume perdagangan Jepang-Cina malah mencapai US$ 10,3 juta untuk tahun 1981 saja. Ini menandakan hubungan baik tetap ada, bahkan diharapkan meningkat. Bagi Cina keadaan menjadi lebih cerah sesudah negara itu diterima sebagai anggota IMF dan menggondol pinjaman lunak US$ 1,1 milyar. Neraca perdagangannya pun membaik sejak tahun silam. Tanpa membuang waktu, Cina juga menggalakkan wiraswasta seraya membuka peluang bagi kapitalis pribumi yang dulu diremukkan oleh Revolusi Kebudayaan. Contoh: Liu Jingji, dulu raksasa tekstil yang, oleh Deng dibangkitkan kembali. Modalnya semula US$ 600 sudah dikembalikan pemerintah, dan orang tua berusia 80 tahun itu dipercayai memimpin Perusahaan Konstuksi Patriotis, salah satu model modernisasi Deng. Di samping itu, tanpa segan dan malu, Cina kembali merayu para penanam modal asing. Sejak Februari tahun ini, misalnya, 11 provinsi di sepanjang pantai timur Cina diberi otonomi lebih luas dalam hal-hal seperti: impor, bea cukai, tukar-menukar mata-uang asing, suku bunga dan proyek investasi. Semua kebebasan ini tentu untuk meyakinkan pengusaha asing agar datang kembali dan mempercayakan uang mereka ke tangan Cina. Banyak juga yang tertarik, apalagi beberapa usaha patungan sudah menampakkan hasil. Bagi pengusaha asing, tahap berunding dengan partner Cina benar-benar melelahkan. Bayangkan, sesudah naik-turun pesawat terbang, kapal atau mobil, mereka sampai ke meja perundingan dan berhadapan dengan tuan-rumah yang bukan saja tidak siap, tapi juga tidak berminat. Perundingan jadi berbelit-belit, tanpa hasil nyata. Bahkan, bisa saja sebuah kontrak yang sudah ditandatangani, begitu saja diubah atau ditolak, tanpa campurtangan badan penengah. Kalau diprotes, jawaban khas Cina tersedia, "Ini sudah merupakan tuntutan kondisi setempat." Konon dalam barisan yang pernah kecewa termasuk raksasa kapal Sir Y.K. Pao. Dia secara terbuka melancarkan kritik pada Cina, karena telepon yang bertubi-tubi, surat-surat apalagi, masih belum bisa dimanfaatkan untuk melancarkan kerjasama. Sebuah perusahaan Hongkong telah diperdaya oleh rekannya di daratan Cina karena membangun gudang yang di bawah standar. Pihak Hongkong memprotes, malah sampai ke Beijing, tanpa hasil. Ini berlanjut pada kekacauan pengiriman barang, yang selalu menyimpang dari kontrak pemesanan, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Parah memang: Keadaan menjadi lebih runyam, karena partner Cina itu tidak mau tahu dengan kerugian yang terpaksa dipikul pengusaha asing. Bila diajak merundingkan keringanan pajak, mereka bingung. Mereka bahkan tldak peduli apakan laba mengalir ke perusahaan patungan .Irau ke pemerintah. Mungkin bagi mereka sama saja. Entahlah. Juga ruwet soal tuntutan pasar dan konsumen. Dengan mudah seorang partner Cina berkata, "Bilang pada mereka barang itu belum tersedia hari ini. Dia harus menunggu sampai besok." Toh "iklim berusaha yang baik" diharapkan PM Zenko Suzuki. Seperti ditandaskan oleh Prof. Shinkichi Eto dai Tokyo University, Cina dengan segenap kekurangannya, tetap merupakan daya tarik tersendiri. Penduduk negeri ini yang mengaku terbelakang tapi hukanlah tidak berkebudayaan, menurut Eto, adalah tipe manusia yang halus budibahasanya, pandai meyakinkan (lrang dan kalau perlu sangup merendahkan diri. "Sebelum sadar, kita sudah jatuh senang," kata Eto dalam Look Japan, September 1982. KETF.RANGAN Eto tidaklah seirama dengan sikap dingin mereka terhadap AS yang memberikan bantuan senjata pada Taiwan. Dan Mararet Thatcher dari Inggris yang datang kesana merundingkan nasib Hongkong belum jatuh senang. Sesudah lebih dulu wajib mengerti bahwa Hongkong itu wilayah Cina, PM Inggris itu harus mendengar sikap tegas Cina yang tidak mengakui perjanjian sewa Hongkong yang dibuat hampir 1 abad silam. Dengan amat yakin keterangan resmi RRC menandaskan, "Hongkong akan dirangkul kembali bila waktunya matang untuk itu." Rupanya RRC sambil tidak menyembunyikan sikap antipati pada politik hegemoni Soviet, pada gilirannya tetap memandang Hongkong dan Taiwan sebagai hak milik mereka. Terakhir Cina dikabarkan membuat pesawat peluncur yang sanggup melontarkan satelit ke orbitnya atau mengirimkan roket ukuran besar ke angkasa luar. Ada kekhawatiran pesawat peluncur itu sewaktu-waktu akan dimanfaatkan pula untuk menghaiar Taiwan. Terlepas dari posiSi ekonomi RRC yang, menurut seorang ahli Amerika, masih berada dalam tahap teknologi tahun 1935, Beijing nampaknya akan semakin banyak terlibat dalam urusan dunia. Dengan semakin mantapnya kedudukan Deng Xiaoping, semakin kuat kesan bahwa negara itu tidak ingin dipandang semata-mata sebagai satu negara klien dari kubu AS. Dan karena Uni Soviet sedang mencoba membina kembali hubungan baik dengan RRC, tak mungkin AS akan jatuh senang seterusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus