SIAPAKAH pilihan Anda: Michael Dukakis atau George Bush? Itulah pertanyaan yang ramai diperbincangkan rakyat Amerika sebelum mereka menggunakan hak pilih, Selasa pekan ini. Jawaban Phyllis Braff, wanita pengusaha dari New York, salah seorang calon pemilih yang ditanya wartawan, ternyata, mengagetkan banyak orang. "Saya memilih Doris Duke," katanya. Duke adalah Ratu Tembakau dari New York yang menyediakan uang jaminan US$ 5 juta bagi Imelda Marcos, bekas Ibu Negara Filipina, sebagaimana dituntut Pengadilan Manhattan, New York, pekan lalu. Suara Braff itu adalah cermin hari-hari terakhir menjelang pemilihan presiden baru Amerika. Dari 72% calon pemilih yang mendaftarkan diri diramalkan hanya sekitar separuhnya yang akan menggunakan hak mereka. "Saya tak ingin ikut bertanggung jawab mengantar salah seorang di antara mereka ke Gedung Putih," kata Nyonya Francis Sand dari Connecticut. Ia tak percaya baik Dukakis maupun Bush bisa mengatasl persoalan berat yang akan dihadapi Amerika empat tahun mendatang. Suara "golput" itu ternyata tak tecermin dalam pol yang diadakan media massa Amerika. Suara responden justru memperlihatkan keinginan orang untuk memilih. Bahkan posisi kedua calon makin dekat hari pemilihan kian imbang. Hasil pol itu, kata juru bicara Panitia Kampanye Partai Republik kepada koran The New York Times, membuat Bush tak bisa tidur di hari-hari terakhir sebelum pemilihan. Soalnya, sejak Agustus lalu, Bush tak pernah terdekati Dukakis dalam pol. Tapi, akhir pekan lalu, dari sekitar 2.000 responden dari Alaska sampai Hawaii yang diwawancarai stasiun televisi CBS, diperoleh perimbangan: Bush mengantungi 48%, sementara Dukakis 40%. Lalu apa yang mencemaskan Bush? Persentase itu menunjukkan kemajuan Dukakis. Akhir Oktober lalu perimbangan mereka 51% lawan 38%. "Bila saja berlanjut, kecenderungan itu akan menguntungkan Dukakis," kata pengamat politik E.J. Dionne Jr. Soalnya, Dukakis, seusai Konvensi Partai Demokrat, Juli lalu, pernah unggul dengan menakjubkan. Pol koran Wallstreet Journal dan TV NBC, waktu itu, menunjukkan 50% responden memilih Dukakis, sementara Bush cuma dapat 35% suara. Waktu itu, tema kampanye Dukakis tentang "pekerjaan yang layak dan gaji yang layak" memukau banyak orang Amerika memilih dia. Tapi, setelah Bush gencar menyerang Dukakis sebagai pelindung kriminalitas dan pedagang obat bius, keadaan berbalik. Adapun kasus yang memojokkan calon Partai Demokrat itu adalah pemberian cuti atas narapidana Willie Hourton, pemerkosa dan pembunuh, yang menjalani hukuman di Massachusetts, negara bagian yang dipimpin Dukakis. Sejak itu Bush unggul terus. Tapi, sejarah pemilihan Amerika pada 1980 mencatat kejutan ketika 6% suara (berdasarkan pol) untuk Jimmy Carter menyeberang kepada Reagan. Sementara itu, 10% suara yang diharapkan Carter ternyata memilih tinggal di rumah ketimbang mendatangi kotak suara. Pembalikan itu terjadi, kabarnya, karena kegagalan Carter menyelamatkan sandera Amerika di Iran. Adakah kemajuan 4% yang dicapai Dukakis, berdasarkan pol akhir minggu lalu, gambaran peluang menang bagi kandidat Partai Demokrat itu ? Itu bukan tak mungkin terjadi. Soalnya, 57% responden merasa kedua calon kurang layak untuk dipilih. Mengapa? "Mereka tak mempersoalkan masalah besar yang sedang dihadapi Amerika," kata Karen, karyawati Institut Perdamaian dan Keadilan di Burlington. Masalah besar itu, menurut The New York Times, antara lain politik luar negeri terutama hubungan dengan Uni Soviet, defisit anggaran pemerintah yang makin membengkak, dan soal pendidikan. Ketika berkampanye pada 1980, misalnya, Reagan mengulas secara rinci politik energinya. Sampai Sabtu lalu kedua calon masih bicara sekitar kesejahteraan bagi orang tua, libur bagi narapidana, dan soal lingkungan hidup. "Ini sungguh buruk bagi Amerika," kata Eliabeth Spokony, seorang ibu rumah tangga di New York.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini