VONIS denda Mahkamah Agung (MA) V terhadap empat dari 23 orang nelayan Taiwan, yang terbukti mencuri ikan di perairan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), ternyata tak berarti apa-apa. Kejaksaan Agung, yang semula menyambut vonis itu dengan sukacita, akhir Oktober lalu, terpaksa membiarkan keempat terhukum pulang ke kampung halamannya tanpa membayar denda. Sebab, keempat terpidana itu tak punya uang untuk membayar denda masing-masing RplO sampai Rp20 juta. Keempat terhukum itu, Juni tahun lalu, ditangkap patroli TNI-AL bersama 19 orang anak buahnya di kapal Taiwan KM Chyag Tai I dan Chyag Tai II. Kedua kapal itu dipergoki patroli ketika mencuri ikan pada kawasan ZEE Indonesia 200 mil dari pantai. Jaksa Halius Hoesen kemudian menyeret semua awak kedua kapal itu ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang. Tadi majelis hakim yang diketuai Munziri Syarkawi menolak dakwaan jaksa dan menerima eksepsi pembela E.W. Papilaya. Dakwaan itu, menurut hakim, cacat karena penyidik dari TNI-AL belum disumpah sesuai KUHAP. Tentu saja kejaksaan kecewa atas vonis itu. Jaksa Halius pun kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa Agung Sukarton sendiri, ketika berkunjung ke kantor TEMPO, 15 September lalu, sempat mengungkapkan kekecewaannya. "Mereka injak-injak perairan kita, ikannya dicuri. Tapi putusan hakim apa? Bebas," ujar Sukarton. Majelis Hakim Agung yang diketuai Adi Andojo Soetjipto membatalkan vonis Munziri. Empat dari awak kapal itu -- dua orang nakhoda dan dua orang kepala kamar mesin -- dihukum peradilan tertinggi denda RplO juta sampai Rp20 juta. Mereka dipersalahkan telah mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia tanpa izin. Sementara itu, 19 orang anak buah kapal lainnya dibebaskan majelis karena dianggap tak bertanggung jawab atas pelanggaran perairan ZEE itu. Hanya saja, menurut Adi Andojo, pihaknya tak bisa menjatuhkan hukuman melebihi hukuman denda. Sebab, undang-undang ZEE itu, berbeda dengan KUHP dan peraturan lainnya, tak memuat sanksi hukuman kurungan (subsider) bila terhukum tak sanggup membayar denda. Itulah yang semula dianggap beberapa petinggi hukum sebagai lubang-lubang di ZEE (TEMPO, 15 Oktober). Padahal, sesuai dengan konvensi hukum laut internasional memang semua pelanggaran ZEE tak bisa dijatuhi hukuman kurungan. Kempat terpidana tadi, belakangan, ternyata memang tak bisa membayar denda tersebut. Sebab, setelah 16 bulan terkatung-katung di Tanjungpinang, mereka nyaris tak punya apa pun lagi. Untuk biaya hidup saja mereka terpaksa bekerja menjadi tukang cuci piring di restoran, atau menjadi tukang kebun di beberapa rumah penduduk. Selain itu, utang mereka kepada sang tauke yang bermukim di Taiwan membengkak sehingga berjumlah Rp75 juta. Tak ada jalan lain, keempat terhukum itu, pada 11 Oktober lalu, memohon pengampunan kepada Jaksa Agung. Ternyata, Kejaksaan Agung, lewat nota telepon 22 Oktober lalu, mengampuni mereka. Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Singgih, keempat Taiwan itu, memang tak mampu membayar denda tersebut. "Daripada semakin lama di sini mereka makin menjadi beban kita, atas dasar kemanusiaan, ya, terpaksa kita bebaskan," ujar Singgih. Ketua Muda MA, Adi Andojo, mengaku kaget mendengar pengampunan terhadap empat nelayan Taiwan tadi. Menurut Adi Andojo, sesuai dengan putusan MA, keempat nelayan itu harus membayar denda. "Seharusnya pihak eksekutor mengupayakan cara lam untuk memaksa mereka menaati putusan itu," ujar Adi Andojo. Persoalan ZEE ternyata tak hanya sekadar mengatasi persoalan bila terhukum tak sanggup membayar denda. Para penegak hukum, selain banyak yang belum memahami undang-undang ZEE, juga berbeda penafsiran atas undang-undang yang berasal dan konvensi internasional itu. Pengadilan Negeri Tanjungpinang, misalnya, dengan hakim yang sama, beberapa waktu lalu, anehnya, memvonis enam orang asing -- dua warga negara Amerika, tiga Australia, dan seorang Inggris -- dengan hukuman denda subsider kurungan karena pelanggaran ZEE juga. Keenam orang asing itu -- dua melarikan diri ketika diadili -- terbukti melakukan penelitian di wilayah ZEE Indonesia -- di sekitar lokasi harta karun sisa kapal De Geldermalsen -- tanpa izin. Hakim Munziri, yang mengadili kasus itu, menghukum keenam orang asing itu membayar denda masing-masing Rp5 juta sampai Rp7,5 juta, subsider sebulan sampai dua bulan kurungan. Empat terhukum, yang tak sempat kabur, terpaksa membayar denda tersebut. Menurut ahli hukum laut, Zen Umar Purba, UU ZEE Indonesia sepenuhnya mengambil alih ketentuan hukum internasional dari Konvensi Hukum Laut (KHL) 1982. Di wilayah ZEE, kata Zen, negara pantai terdekat, Indonesia misalnya, diberi hak eksklusif untuk mengelola sumber daya alam di situ. Namun, bukan berarti orang atau kapal dari negara lain tak boleh berlayar d perairan ZEE. Sebab, status perairan ZEE, seperti kata guru besar hukum internasional, Prof. Komar Kantaatmadja, memang laut bebas. Artinya, Indonesia tak punya kedaulatan di wilayah itu. "Hanya saja jika melakukan kegiatan eksplorasi harus mendapat izin dari Pemerintah RI," ujarnya. Jika terjadi pelanggaran, menurut Zen Umar, sesuai dengan UU ZEE, dikenakan hukuman denda atau perampasan kapal beserta isinya. Tapi sesuai dengan kesepakatan internasional tadi, tak sebuah negara pun diperkenankan menjatuhkan hukuman badan atau kurungan terhadap pelanggarnya. Adapun soal kemungkinan terhukum tak membayar denda, "Biasanya nilai kapal yang dirampas kan lebih besar daripada hasil pelanggarannya," ujarnya. Boleh jadi itu benar. Sebab, dua buah kapal para nelayan Taiwan tadi, KM Chyag Tai I dan Chyag Tai II, masing-masing berbobot 130 ton, dinyatakan disita untuk negara. Nilai kedua kapal itu diperkirakan Rp140 juta. Masih untung, mungkin. Bersihar Lubis, Affan Bey (Medan) dan Sidartha P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini