Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Uang pelicin di lampung

Ketua pengadilan tanjung karang, affandi nasihin & panitera, muzan, harus mengembalikan uang pelicin dari sahala lumban gaol. berawal dari pengurusan sertifikat tanah. uang rp 1 juta tak jelas rimbanya.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUDUHAN seorang pencari keadilan, Sahala Lumban Gaol, tentang uang "pelicin" di Pengadilan Negeri Tanjungkarang kini semakin jelas. Irjen Kehakiman, Mohamad Hasan baru-baru ini, dengan persetujuan Menteri Kehakiman memerintahkan aparat pengadilan di situ mengembalikan uang Sahala Rp 1,3 Juta. Menurut perintah Hasan seorang panitera di pengadilan itu, Muan, harus mengembalikan uang Sahala Rp 1 juta. Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Affandi Nasihin, diwajibkan pula mengembalikan uang pencari keadilan itu Rp 300 ribu, yang harus diambilkannya dari kas bendahara pengadilan. Perintah Irjen, tertanggal 18 Agustus itu, ternyata sampai kini belum terlaksana dengan tuntas. Selasa pekan lalu, melalui pengacara A.J. Lumban Gaol, Sahala kembali mengadukan Hakim Affandi ke Inspektorat Wilayah Provinsi Lampung. Sebab. sampai pekan lalu, ia baru menerima uangnya Rp 300 ribu itu dari Hakim Affandi. Sementara itu, sisanya Rp 1 juta lagi belum ketahuan "rimbanya". Menurut Sahala, ia pernah menyerahkan uang Rp 1,3 juta kepada Muzan, juru sita pengganti di Pengadilan Tanjungkarang. Uang itu, katanya, dimaksudkannya untuk melancarkan proses perkara tanahnya yang sedang ditangani Hakim Affandi. Muzan memang mengaku menerima uang sebanyak disebutkan Sahala itu. Tapi, katanya, uang itu sejumlah Rp 1 juta telah diserahkannya kepada Hakim Affandi. Dari hakim itu, ia mengaku menerima semacam komisi Rp 250 ribu. Sementara itu, sisa uang itu sebesar Rp 300 ribu, katanya, diserahkannya kepada Arifin agar disampaikan kepada Panitera Kepala, Kamrullah. Heboh suap itu bermula dari seretnya urusan Sahala dalam mengurus penegasan hak tanah seluas 7.252 m2. Tanah itu diperolehnya setelah Karto Bejo tak membayar utangnya, September 1987. Ketika itu Muzan berjanji akan menyelesaikan balik nama sertifikat tanah itu dengan menggunakan surat dari ketua pengadilan. Tapi syaratnya Sahala harus menyediakan uang pelicin, yang kemudian diberikannya Rp 1,3 juta. Ternyata, Muzan ingkar janji. Sahala mengadukan soal itu ke Kanwil Kehakiman dan Pengadilan Tinggi Lampung. Akibatnya, keterangan Sahala dikonfrontasikan dengan Hakim Affandi dan Muzan. Di pemeriksaan itu, Muzan mengaku seperti cerita tadi. Tapi Affandi menyangkal cerita itu. "Demi Allah, demi Rasulullah, saya tidak menerima uang itu," ujar Affandi. Sebab itu, Muzan, yang tetap menyatakan memberikan uang itu di rumah Affandi, berang. "Masa Pak Ketua mau melindungi dirinya sendiri. Uang itu dimakannya, saya cuma diberi sebagian kecil," katanya. Karena berlarut-larut, Sahala meneruskan pengaduannya ke Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung (TEMPO, 11 Juni 1988). Itjen Kehakiman terpaksa turun mengusut kasus itu. Hasilnya, itu tadi, Irjen Hasan memerintahkan agar Muzan dan Affandi mengembalikan uang itu kepada Sahala. Apabila uang tersebut tak dikembalikan menurut perintah Irjen, Sahala dipersilakan menggugat. Akhir September lalu, lewat sebuah berita acara penyerahan, Affandi telah mengembalikan Rp 300 ribu. Tapi ke mana Rp 1 juta lagi? Muzan bersikeras tak bertanggung jawab atas uang sebanyak itu. "Saya hanya bersedia mengembalikan Rp 250 ribu. Sebab, hanya sebesar itulah uang yang diberikan Pak Ketua kepada saya," kata Muzan. Untuk jumlah Rp 250 ribu saja, katanya, saat ini ia belum mampu mengumpulkan sebanyak itu. Hakim Affandi justru lega menyambut perintah Irjen itu. "Sekarang Tuhan telah membuktikan bahwa saya tidak terlibat," ujar Affandi kepada Effendy Sa'at dari TEMPO. Menurut Affandi, uang Rp 300 ribu yang dikembalikan kepada Sahala itu tak lain berasal dari uang yang diberikan Muzan kepada Arifin. Tentang uang sisanya, Rp 1 juta? "Itu menjadi tanggung jawab Muzan, saya sama sekali tak tahu," katanya. Affandi, lulusan Universitas Gadjah Mada pada 1964, telah menjadi hakim selama 25 tahun. Karenanya, pada Agustus lalu ia memperoleh Satya Lencana Karya Setia dari Pemerintah. Sebelum bertugas di Lampung, ia menjadi Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, Jawa Barat. Di Lampung, Affandi, yang sudah dekat masa pensiun itu, pernah memvonis bebas Direktur Bank Pembangunan Daerah dari tuduhan korupsi. Affandi, memang, bukan satu-satunya hakim yang dihebohkan menerima suap. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Oktober tahun lalu, seorang pesakitan, Mansur Soebagio, terang-terangan meneriaki Hakim Mutojo menerima suap Rp 5 juta. Mansur, yang dituduh memalsukan tanda tangan istrinya untuk mendapatkan polis asuransi sebesar Rp 3 juta, rupanya kesal karena diperintahkan Mutojo untuk ditahan. Sebelum itu, Hakim M. Hatta dan Abdul Razak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tertimpa aib. Hatta dituding telah menerima uang Rp 2 juta dan US$18.000 dari bekas Wagub DKI Jakarta, Asamawi Manaf, dalam perkara Hotel Chitra. Lebih sakit lagi Hakim Razak. Selain kena tuduhan semacam itu, ia juga dilempar sepatu oleh saksi pelapor, Mimi Lidyawati. Mimi mengaku telah membayar Rp 2,5 juta kepada Razak untuk menghukum berat orang yang menipunya, Nyonya Nani. Ternyata, Nani hanya divonis hakim 10 bulan penjara. Kasus-kasus itu sempat diperiksa Itjen. Tapi yang terkena tindakan hanyalah Hakim Hatta. Ia dimutasikan menjadi "hakim nonpalu" di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Tak terdengar sanksi bagi Mutojo. Sementara itu, Razak, yang kini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah, dinyatakan bersih. "Isu itu tidak terbukti," kata Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Amarulah Salim (TEMPO, 31 Oktober 1987). Bagaimana dengan Hakim Affandi ? Ketua Pengadilan Tinggi Lampung, Moenarso, menganggap kasus Hakim Affandi itu sudah selesai. "Hanya Muzan saja yang terlibat kasus itu, sedangkan Hakim Affandi tak terlibat," kata Moenarso, seperti diutarakan Panitera Kepala Pengadilan Tinggi Lampung, Dermawan Sarbini. Happy S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus