UPACARA perang sudah digelar. Sekitar 200 warga dari 12 suku di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, siap mati di Teluk Saibi. Mereka akan mempertahankan setiap batang pohon hutan Siberut.
Sebelum perang pecah, 22 alat berat pembabat hutan yang didatangkan Universitas Andalas, Padang, sudah dipindahkan dari Teluk Saibi. Kejadian itu merupakan antiklimaks perselisihan antara penduduk Pulau Siberut dan Universitas Andalas. Sebab, sehari sebelumnya, sekitar 70 warga Desa Saibi membakar dua base camp milik Andalas. Mereka menolak kegiatan pihak universitas di wilayah mereka.
Kejadian akhir Mei itu berbuntut panjang. Kamis dua pekan lalu, ganti pihak Universitas Andalas yang mengadu ke Pemda Sumatra Barat. Mereka merasa haknya dihalang-halangi. Namun, pihak pemda sendiri tidak bisa berbuat banyak selain menasihati agar pihak Andalas melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum melakukan operasi. Nasihat itu kini sedang dilakukan.
Ketegangan ini dipicu keluarnya izin land grant college (LGC) untuk Andalas, seluas 50 ribu hektare, di Pulau Siberut. Program yang dimulai dua tahun lalu itu berasal dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Pemerintah memberi perguruan tinggi hak memanfaatkan hutan sebagai lahan konservasi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri, mengingatkan bahwa lahan hibah itu hanya bisa dijadikan laboratorium kehutanan semata. Perguruan tinggi boleh memanfaatkan hutan untuk mengembangkan tanaman obat atau pusat penelitian. Mereka hanya boleh mengambil untung dengan menjual hasil penelitian. Sehingga, selain mendatangkan uang, hutan tetap lestari.
Pertengahan tahun lalu, Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail mengganti LGC dengan hak pengusahaan hutan alam (HPHA). Andalas menerima HPHA tahap pertama untuk jangka waktu 35 tahun, pertengahan Maret lalu. Oleh Andalas, HPHA diartikan layaknya hak pengusahaan hutan (HPH).
Lewat Koperasi Andalas Mandiri (KAM), Andalas mengundang pihak swasta, PT Sinar Minang Sejahtera (SMS), dalam program ini. Tinggal ongkang-ongkang kaki, setiap bulan mereka memperoleh jatah Rp 100 juta. Selain KAM, yang mendapat pembagian keuntungan 23 persen, masyarakat setempat mendapat jatah dalam jumlah yang sama. Sedangkan sisa terbesar masuk kantong SMS.
Namun, sebagian besar penduduk Siberut menolaknya. "Buat orang Mentawai, sangat tergantung pada hutan," kata Teolaka, tabib suku Tateburuk, Siberut Selatan, yang berusia 50 tahun. Mereka makan sagu, memanen rotan, dan berburu dari hutan. Untuk membangun rumah dan membuat sampan pun, mereka mengambil bahannya dari hutan.
Terlebih lagi, sejak 1981, UNESCO (organisasi dunia yang mengurusi budaya dan pendidikan) menetapkan Pulau Siberut sebagai salah satu cagar biosfer internasional. Sebab, dengan keunikan budayanya, masyarakatnya dianggap sebagai salah satu suku bangsa paling kuno di Indonesia. Selain itu, di dalamnya terdapat Taman Nasional Siberut, dengan hutan tropis yang banyak satwa dan tumbuhan endemisnya?hanya ada di lokasi tersebut.
Sementara itu, HPHA milik Andalas langsung berbatasan dengan zona inti Taman Nasional Siberut. Padahal, zona inti selalu dikelilingi oleh zona penyangga, zona transisi, barulah zona pembangunan. "Mestinya kawasan operasi HPHA setidaknya berada satu kilometer di luar kawasan penyangga," kata Kepala Taman Nasional Siberut, Sugeng Hariady.
Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf menyayangkan pengubahan LGC menjadi HPHA bagi Andalas. Sebab, HPHA akhirnya diartikan sama dengan HPH, yang kegiatannya hanya mengekploitasi hutan. "Kalau Andalas menebang kayunya, apa yang mau diteliti?" kata Sonny Keraf.
Pihak universitas membela diri dengan menyebut penduduk setempat akan mendapat jatah dari hutan yang dibabat. "Yang tidak setuju itu masyarakat yang tanahnya tidak terkena LGC," Musliar Kasim, Wakil Ketua KAM, berkilah. Menurut dia, Andalas sudah mendapat persetujuan dari sembilan suku yang tinggal di Siberut.
Bagaimana dengan kerusakan Taman Nasional Siberut? "Mana saya tahu? Saya kan bukan orang lingkungan," jawab Musliar. Lo? Bagi Musliar, pemerintah sudah memberikan izin dan berarti sudah memikirkan dampaknya. Musliar meyakinkan bahwa mereka tidak akan bertindak sembrono. "Kami memakai sistem tebang pilih. Paling-paling, dalam sehektare lahan, yang kita tebang hanya 10-18 batang," kata dosen pascasarjana fakultas pertanian ini.
Artinya, dengan lahan 50 ribu hektare dan usia HPHA yang 35 tahun, setiap hari mereka hanya menebang sekitar lima batang. Lalu, untuk apa mendatangkan 22 unit alat berat dan puluhan karyawan?
Agung Rulianto, Febrianti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini