Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suwito, Si Bapak Kadal

Lewat komodo, Suwito meraih Kalpataru. Sayangnya, hanya menghasilkan kadal-kadal manja.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUWITO Wongsodiharjo adalah pemegang rekor dunia. Bersama timnya di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta, pria berusia 42 tahun ini berhasil menetaskan 140 ekor komodo. "Anak-anaknya" itu kini tersebar di lima benua. Sekitar 50 ekor di antaranya menempati kebun binatang di Singapura, Australia, Kanada, Prancis, Swedia, dan Afrika Selatan. Keberhasilan Suwito telah menghapus malu Indonesia. Sebelumnya, Indonesia, sebagai habitat asli kadal purba ini, selalu gagal menangkarkannya. Sedangkan Amerika Serikat berhasil membiakkan hingga 50 ekor anak binatang langka tersebut. Kerja keras Suwito mengantarnya meraih Kalpataru, penghargaan tertinggi di negeri ini untuk insan yang peduli kepada lingkungan hidup. Dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup awal bulan ini, dia menjadi salah satu dari tiga penerima Kalpataru sebagai perintis lingkungan. Dua perintis lain adalah Wilhelm Mambar dari Irianjaya dan Jaholang Munthe dari Sumatra Utara. Wilhelm berhasil menangkarkan berbagai jenis satwa langka di habitat aslinya, antara lain kakaktua jambul kuning dan jambul hijau, ular sanca hijau, maleo, kanguru, dan kelelawar. Pengelola panti asuhan yang kini berusia 73 tahun ini mengajak anak asuhnya ikut merawat binatang itu. Wilhelm dianggap berhasil menanamkan kecintaan lingkungan sejak dini pada anak-anak. Sementara itu, Jaholang Munthe, yang meninggal April lalu, menyulap 35 hektare lahan kritis dan gersang menjadi hutan lebat. Kerja keras Jaholang selama 28 tahun untuk menanami dan memeliharanya berhasil memberikan manfaat bagi masyarakat Desa Garingging, Karo, Sumatra Utara. Sebab, dari hutan buatannya itu, kembali muncul mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Menurut Ismid Hadad, anggota dewan juri dari Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati), Suwito terpilih karena keberhasilannya mengembangbiakkan komodo di luar habitat aslinya. "Dan jumlahnya terbesar di dunia," kata Ismid. Padahal, latar belakang pendidikan Suwito adalah pendidik. Bapak seorang anak ini lulusan IKIP Karang Malang, Yogyakarta, Jurusan Matematika dan IPA. Suwito bergabung sebagai tenaga honorer di Gembira Loka pada 1987 dan mendapat tugas merawat komodo. Saat itu, Gembira Loka sudah hampir putus asa menangkarkan komodo. Sebab, sejak 1963, tingkat kegagalannya nyaris 100 persen. Padahal, upaya menetaskan dengan menggunakan alat-alat steril seperti di Amerika Serikat sudah dilakukan. Bahkan, beberapa kali kadal ini mampus hanya karena kekenyangan atau salah makan. Bermodal sembilan ekor komodo, Suwito mencoba metode baru penangkaran. Sejak 1994, telur komodo dibiarkan menetas seperti di habitat aslinya. Kondisi tanahnya dibuat mirip dengan di Pulau Komodo, dengan campuran pasir laut plus aksesori bebatuan. Porsi makanan dan jenisnya pun dikoreksi. Kebiasaan buruk komodo adalah kanibal. Jabang bayi yang baru menetas sering menjadi santapan induknya. Maka, saat menetas, anak-anak kadal itu harus segera disemai dan dimasukkan ke ruangan khusus. Cara baru ini berhasil menetaskan kadal raksasa ini hingga tiga generasi. Desember tahun lalu, upaya penangkaran sempat dihentikan karena pihak kebun binatang kesulitan mengganjal perut puluhan komodo itu. Setiap minggunya mereka menghabiskan daging sebanyak 125 kilogram seharga Rp 5 juta. "Belum lagi biaya perawatan kesehatan dan tenaga perawatnya," kata Suwito. Dilepas ke alam? Seharusnya itu solusi terbaik. Masalahnya, Suwito khawatir "anak-anaknya" tak mampu mandiri. Sebab, sejak kecil, mereka terbiasa hidup enak: diberi makan, dimandikan, disuapi, dan berjemur santai. "Semuanya kita layani seperti orang opname di rumah sakit," katanya. Nah, kalau dilepas ke habitatnya, bisa-bisa mereka menjadi santapan lezat komodo liar. Hal ini dibenarkan Soeparmi Surahya, peneliti komodo yang mengajar di Fakultas Biologi Lingkungan Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Kadal purba itu terlalu manja, makan enak, dan tinggal di lingkungan yang bersih. Seharusnya, jika pemerintah berniat melestarikannya, penangkaran harus in situ atau di habitat aslinya. Sepuluh tahun lalu, Soeparmi mencacah jumlah komodo di habitat aslinya, yang ternyata tinggal 5.000 ekor. Itu karena kondisi alam memang makin berat dan sudah tak cocok bagi binatang purba ini. "Umur evolusi komodo sudah terlalu tua. Mereka sudah capek," kata Soeparmi. Ka-lau sekarang Gembira Loka berhasil membiakkannya, itu lebih karena kemauan keras Suwito bergaul dengan komodo. Agung Rulianto, L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus