Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Korea Selatan harus membangun senjata nuklir untuk memperkuat pertahanannya melawan Korea Utara, bahkan dengan risiko reaksi internasional, kata wali kota ibu kotanya. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Reuters yang diterbitkan pada Senin 13 Maret 2023, Wali Kota Seoul Oh Se-hoon beralasan bahwa negara tersebut tidak terikat oleh tujuan denuklirisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oh menambahkan bahan bakar baru ke perdebatan yang berkembang tentang bagaimana Korea Selatan harus mempersenjatai diri saat Korea Utara berlomba untuk menyempurnakan kemampuannya untuk menyerang negeri jirannya dengan senjata nuklir taktis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Korea Utara hampir berhasil mengecilkan dan meringankan senjata nuklir taktis dan mengamankan setidaknya puluhan hulu ledak,” kata Oh. “Kami telah sampai pada titik di mana sulit untuk meyakinkan orang dengan logika bahwa kami harus menahan diri untuk tidak mengembangkan senjata nuklir dan tetap berpegang pada tujuan denuklirisasi.”
Dia telah mengangkat masalah ini sebelumnya, dengan mengatakan pada Februari bahwa Korea Selatan harus tetap menyediakan opsi nuklir.
Oh, seorang anggota berpengaruh dari Partai Kekuatan Rakyat konservatif Presiden Yoon Suk-yeol, adalah salah satu pejabat paling terkenal yang secara aktif mengadvokasi program senjata nuklir Korea Selatan.
Dia dipandang sebagai calon presiden pada 2027. Sebagai wali kota, dia mengawasi latihan pertahanan sipil tahunan Seoul dan mekanisme keamanan terpadu yang bertujuan melindungi wilayah metropolitan yang menampung hampir setengah dari 51 juta penduduk negara itu.
Di tengah kemajuan militer Korea Utara dan keraguan atas komitmen atau kemampuan AS untuk melindungi Korea Selatan, semakin banyak pejabat senior Korea Selatan yang mengemukakan kemungkinan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Ada pula opsi untuk mengerahkan kembali bom dan misil nuklir taktis Amerika, yang ditarik dari Semenanjung Korea pada 1990-an.
Sebagai kandidat, Yoon mengusulkan opsi pengerahan kembali bom AS, tetapi sejak itu pemerintahannya mengatakan tetap berkomitmen untuk denuklirisasi dan akan memperkuat pertahanan konvensional gabungan dengan AS.
Survei, bagaimanapun, menunjukkan tingkat dukungan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya di Korea Selatan untuk gagasan persenjataan nuklir buatan sendiri yang dulunya tidak terpikirkan.
Dalam jajak pendapat yang dirilis pada 1 Maret oleh Data Research, lebih dari 70 persen warga Korea Selatan mendukung pengembangan senjata nuklir dengan 27 persen menentang. Sementara itu, 59 persen responden mengatakan Korea Utara mungkin akan menggunakan senjata nuklir jika perang pecah di semenanjung.
Oh mengatakan krisis Ukraina telah memperkuat keyakinannya bahwa denuklirisasi telah kehilangan daya tariknya, dan senjata nuklir akan menjadi pencegah yang paling efektif terhadap Korea Utara.
“Rusia dengan bebas melanggar wilayah udara Ukraina, menerbangkan pesawat pengebom dan menembakkan rudal, tetapi Ukraina nyaris tidak menyerang wilayah Rusia karena inferioritas psikologis terhadap negara nuklir,” kata Oh.
Dia menepis penentang yang memperingatkan hukuman dari negara lain, termasuk sanksi, dengan mengatakan program nuklir Korea Selatan akan mengirim pesan ke negara-negara seperti China untuk mengekang pembangunan militer Korea Utara.
“Mungkin ada beberapa penolakan awal dari komunitas internasional, tapi saya yakin pada akhirnya akan mendapatkan lebih banyak dukungan,” katanya.
Seorang mantan pejabat senior AS mengatakan peningkatan retorika dari pemerintahan Yoon tampaknya didorong oleh keinginan untuk menekan Washington agar memberikan Korea Selatan lebih banyak suara dalam perencanaan nuklir.
Yoon mengatakan penolakan AS "gagal meyakinkan" warga Korea Selatan, dan Washington telah setuju untuk membangun lebih banyak pembagian informasi dan melakukan latihan di atas meja untuk memungkinkan kerja sama sekutu yang lebih besar.
REUTERS