Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hadiah Ariel Sharon untuk Yaser Arafat

Israel menyerang markas pasukan pengawal Yaser Arafat. Negara-negara Arab mendukung Palestina meneruskan intifada. Sebaliknya, Amerika Serikat melindungi Israel. Jalan perdamaian semakin sempit?

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


KOTA Ramallah di Tepi Barat berwarna merah menyala. Rabu malam pekan silam, sebuah roket yang berasal dari helikopter Israel menghantam. Api membakar hangus markas pasukan elite pengawal Presiden Palestina Yaser Arafat, Force 17, serta mobil yang diparkir di sekitarnya. Serangan mendadak itu mengakibatkan seorang anggota pengawal Arafat dan seorang perempuan tewas. Pada saat yang sama di Gaza City, helikopter Israel yang terbang rendah memuntahkan roket dengan sasaran markas Force 17, yang jaraknya tak jauh dari kediaman resmi Arafat. Sekitar dua puluh empat orang luka-luka, dan beberapa di antaranya sekarat.

Inilah hadiah pertama pemerintahan Ariel Sharon untuk seterunya, Presiden Arafat, sejak Sharon menjabat Perdana Menteri Israel. Hadiah dari Sharon ini termasuk hadiah kilat. Sebab, siang harinya, Sharon murka melihat tiga remaja Israel tewas akibat bom bunuh diri warga Palestina di dekat sebuah seminari Yahudi. Sehari sebelumnya, seorang bayi Israel berusia 10 bulan tertembak oleh penembak gelap di kawasan permukiman Yahudi di Hebron. Pemerintah Israel berkali-kali menuduh Force 17 terlibat dalam penyerangan terhadap penduduk sipil Israel. Maka, Sharon pun menitahkan pengiriman hadiah berupa serangan roket tersebut kepada markas pengawal elite Yaser Arafat. "Tujuan penyerbuan itu langsung ke pihak yang bertanggung jawab atas terorisme," ujar pernyataan resmi militer Israel.

Sharon langsung menuding Yaser Arafat bertanggung jawab atas aksi kekerasan yang berlangsung belakangan ini. Menurut Sharon, Yaser Arafat gagal mengontrol kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok garis keras Palestina, dan bahkan oleh pasukan elite pengawal Arafat sendiri. "Celakanya, dia (Arafat) tetaplah seorang pemimpin teror," ujar Sharon, sengit.

Tentu saja, tudingan terorisme dan penyerbuan terhadap markas pasukan pengawal Arafat menimbulkan kemarahan pemimpin Palestina itu, yang sedang mengikuti pertemuan dua hari Konferensi Tingkat Tinggi Arab di Amman, Yordania. Pemerintah Palestina menolak tuduhan Sharon, dan balik menuduh serangan Israel sebagai bentuk terorisme negara (Israel) terhadap Palestina. Apalagi, kelompok garis keras Hamas kemudian menyatakan bertanggung jawab atas pengeboman itu sembari mengancam bahwa aksi pengeboman berikutnya bakal menyusul. Arafat memperingatkan bahwa penyerangan Israel justru semakin merepotkan Israel. "Pengeboman oleh Israel, agresi, dan penutupan kota dan desa kita tak akan menghentikan perlawanan rakyat kita," ujar Arafat saat meninjau puing-puing bangunan yang dihantam roket Israel di Ramallah. Bahkan, menurut Arafat, serangan Israel itu justru semakin menguatkan tekad rakyat Palestina untuk melakukan perlawanan dengan intifada hingga bendera Palestina berkibar di dinding masjid dan gereja di Yerusalem. Arafat pun kini tak sendiri. Salah satu keputusan KTT Arab di Amman memang mendukung gerakan intifada untuk melawan pendudukan Israel, hingga Palestina memperoleh kemerdekaan sepenuhnya dengan Ibu Kota Yerusalem Timur. "Sikap dan keputusan KTT Amman jelas, yaitu mendukung dan membantu intifada Palestina," ujar Dr. Walid el-Kholidy, Sekjen Yayasan Pengkajian dan Studi Palestina di Kairo, kepada Zuhaid el-Qudsy dari TEMPO.

Dugaan Arafat tak berlebihan. Selain fakta selama ini, bahwa setiap aksi kekerasan pemerintah Israel justru mengobarkan perlawanan rakyat Palestina, seorang pengamat militer Israel juga menilai serangan militer Israel terhadap sasaran pemerintah Palestina justru dianggap tidak efektif. "Tujuan sesungguhnya (aksi bom bunuh diri Palestina) kan agar Israel melakukan pembalasan, sehingga mereka tak perlu lagi berpegang pada hukum," ujar Ron Ben-Ishai, pengamat militer Israel. Situasi kacau itulah sesungguhnya yang diharapkan oleh kelompok garis keras Palestina ataupun Israel yang tak menginginkan perdamaian. Tak mengherankan jika Presiden Bush gusar. Bush secara implisit mengecam serangan militer Israel dan meminta dengan tegas agar Arafat bisa menghentikan aksi kekerasan terhadap Israel oleh kelompok garis keras Palestina. "Saya harap Arafat mendengar (permintaan saya) secara jelas," ujar Bush.

Serangan militer Israel terhadap Palestina akhirnya hanya akan semakin menutup jalan proses perdamaian. Buktinya, kelompok Fatah, yang selama ini mengambil garis moderat, mulai terbakar dengan reaksi keras Israel terhadap setiap aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok garis keras Palestina. "Jika mereka (Israel) menghantam kota kita dan penduduk sipil, setiap inci wilayah Israel adalah target yang sah bagi pejuang kita dan para revolusionaris kita," kata Ahmad Helles, Sekjen Fatah di Gaza. Dengan peristiwa ini, apakah kita sudah harus menyiapkan perpisahan bagi upaya perdamaian?

Raihul Fadjri (Reuters, AP, Arabic News)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus