Peristiwa walk out-nya Tim Pembela kasus Apel Siaga Golongan Putih di Pengadilan Negeri Semarang makin menambah keprihatinan kita terhadap kondisi lembaga peradilan kita. Kekuasaan hakim sering terlihat begitu dominan. Kekuasaan itu acap mengesampingkan hak-hak seorang terdakwa yang dilindungi undang-undang. Alasan walk out-nya para pembela itu, karena hakim menolak dihadirkannya saksi ahli yang dapat meringankan terdakwa (saksi adecharge). Padahal, secara yuridis, itu adalah hak setiap terdakwa pada peradilan pidana untuk mengajukan saksi yang dapat meringankannya. Hak beracara pengacara, misalnya, sudah ada sejak zaman penjajahan. Itu diatur oleh undang-undang (Pasal 185 RO). Pada zaman merdeka, hak beracara itu dengan mudah dikesampingkan oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung RI. Alasannya, contempt of court. Suatu peraturan permainan yang tidak jelas. Test case yang bagus untuk judicial review, mungkin peradilan tata usaha negara. KUHAP mengatur hak terdakwa untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankannya. Karena itu, aturan hukum acara pidana produk kolonial, Reglemen Indonesia yang diperbarui, HIR dan RBg, Staatsblad tahun 1941 No. 44, perlu dicabut karena tak sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Dalam praktek, sayangnya, saksi a decharge sangat jarang dilibatkan dalam tingkat penyidikan. Manakala tersangka mempunyai saksi a decharge atau saksi ahli, sang penyidik sejak awal sudah tak mau memeriksa saksi a decharge. Padahal, undang- undang membenarkannya. Dalam praktek, baik untuk acara perdata maupun acara pidana, sebaiknya kekuasaan hakim dibatasi. Mengapa kita tidak mengawinkannya saja dengan sistem hukum Anglo Saxon? Dalam acara pidana, yang terjadi adalah pergumulan antara jaksa (penuntut umum) dan penasihat hukum atau terdakwa, sedangkan dalam acara perdata, pergumulan terjadi antara penggugat dan tergugat. Hakim hanya mengeluarkan penetapan dan memanggil saksi karena jabatannya sebagai hakim. Atau, hakim ikut mengawasi peradilan yang fair, di mana diwajibkan kepada semua yang berperkara mengajukan semua bukti yang relevan. Tapi yang terjadi di pengadilan kita, pengacara yang oleh hakim dianggap ''mengada-ada'', dikenai hukuman contempt of court. Sementara itu, kalau hakim tidak mengikuti acara, mereka dibebaskan dari hukuman apa pun. Di atas semua itu, sudah tiba waktunya pengacara menanggalkan semua gengsi atau atributnya, lalu bersama-sama memperjuangkan hak keadvokatannya yang dijamin oleh undang-undang. Fakta bahwa hak pengacara banyak yang dikebiri karena kekuasaan hakim yang begitu dominan tentunya tidak mengesampingkan kenyataan bahwa beberapa hakim menerapkan fair trial. O.C. KALIGIS, S.H. Kompleks Majapahit Permai Blok B-123 Jalan Majapahit 18-20 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini