Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh ribu buruh pabrik garmen itu duduk rapi di kursi-kursi merah yang disusun di bawah atap terpal yang dihiasi kain-kain merah. Panji-panji berwarna merah dan biru- warna dasar bendera Kamboja- berkibar di beberapa pojok. Mereka menatap ke satu titik di depan mereka: orang paling berkuasa di negeri itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen.
Hun Sen tampil dengan kemeja biru muda dan celana panjang hitam. Pertemuan itu berlangsung di kawasan industri Canadia Industrial Park, tak jauh dari Bandar Udara Internasional Phnom Penh, Rabu dua pekan lalu. Kawasan ini pernah porak-poranda tiga tahun lalu ketika tentara bentrok dengan para buruh yang menuntut kenaikan upah minimum. Pemerintah Hun Sen menuduh kelompok oposisi mendalangi kerusuhan itu.
Hun Sen menyerukan agar para buruh dan keluarga mereka memilih bekas komandan pasukan Khmer Merah itu dalam pemilihan umum tahun depan. "Sebelumnya saya ragu-ragu kapan akan lengser. Tapi, setelah menyaksikan pengkhianatan beberapa orang Kamboja dalam beberapa hari ini, saya memutuskan terus mengabdi selama 10 tahun lagi," kata pria 65 tahun itu.
Hun Sen telah berkuasa selama 32 tahun dan menjabat perdana menteri selama 19 tahun berturut-turut. Bila terus memimpin negeri itu selama 10 tahun lagi, dia akan menjadi salah satu penguasa terlama di dunia, menyaingi pemimpin Libya, Muammar Qaddafi. Pada 2007, Hun Sen pernah melontarkan niat pensiun pada usia 90 tahun. Pada 2015, dia merevisinya menjadi 74 tahun. "Izinkan saya meminta kepada semua orang asing, tolong jangan iri kepada saya bila saya menjadi perdana menteri terlama di dunia," ujarnya.
Dalam pemilihan umum nanti, Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen akan bersaing melawan partai oposisi terbesar Partai Penyelamat Nasional Kamboja pimpinan Kem Sokha. Tapi Hun Sen buru-buru bertindak. Polisi menangkap Sokha pada awal September dan Pengadilan Negeri Phnom Penh menuntut sarjana biokimia dari Institute of Chemical Technology di Praha, Cek, itu dengan dakwaan pengkhianatan dan mata-mata. Pengadilan menuduh Sokha bersekongkol dengan Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintahan. Bila tuduhan itu terbukti, dia dapat dipenjara hingga 30 tahun.
Dakwaan tersebut muncul berdasarkan video yang dirilis CBN, media Australia, pada 2013. Dalam video itu, Sokha menyatakan pemerintah Amerika telah membantunya mendorong perubahan rezim di Kamboja sejak 1993. Dia mengatakan jutaan orang mendukung strategi partainya untuk mengubah negeri itu. "Amerika Serikat telah menolong saya. Mereka memerintahkan saya mengikuti model yang sama seperti di Yugoslavia dan Serbia, yang berhasil mengganti para pemimpin diktator," kata Sokha.
Masalah ini merambat ke urusan diplomatik. Ambasador Amerika Serikat untuk Kamboja, William Heidt, membantah pernyataan Sokha. "Saya kaget dengan tuduhan terhadap Amerika yang dikaitkan dengan penahanan Sokha, yang dibuat tanpa bukti yang serius dan dapat dipertanggungjawabkan," katanya Rabu pekan lalu.
Hubungan kedua negara terus memburuk. Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhon masuk daftar pejabat senior Kamboja yang visanya ditolak untuk masuk ke Amerika. Washington juga menerbitkan peringatan perjalanan ke Kamboja.
"Kem Sokha bersekongkol dengan pihak asing, khususnya Amerika Serikat, untuk menggagalkan pemilihan umum mendatang, yang artinya merusak demokrasi Kamboja," kata Phay Siphan, juru bicara kabinet. "Maka kami harus membungkamnya."
Dengan alasan "pengamanan" pemilihan umum juga, Kementerian Informasi telah menutup sejumlah stasiun radio. Menteri Informasi Khieu Kanharith membantah anggapan bahwa penutupan itu berhubungan dengan program mereka, melainkan karena stasiun radio itu tak melaporkan berapa banyak jasa siarannya dan dijual kepada siapa. "Beberapa stasiun radio tidak meminta izin ke Kementerian. Kami harus menutupnya untuk menegakkan hukum media," tuturnya.
Kelompok hak asasi manusia Licadho menyatakan 32 stasiun radio telah ditutup di seluruh negeri, terutama karena menyiarkan Voice of Democracy serta lembaga yang didanai Amerika, Radio Free Asia dan Voice of America. Salah satu stasiun radio yang ditutup adalah Moha Nokor, yang menyiarkan acara yang diproduksi Voice of America, Radio Free Asia, dan Partai Penyelamat Nasional Kamboja. Tiga stasiun radio daerah yang berafiliasi dengannya juga ditutup. Tapi juru bicara Kementerian, Ouk Kimseng, menyatakan bahwa yang ditutup cuma 10 stasiun radio.
Yang paling membetot perhatian dunia adalah ketika Cambodia Daily, surat kabar independen Kamboja berbahasa Inggris yang sudah 24 tahun beredar, terpaksa ditutup pemiliknya karena pajak yang sangat tinggi. Departemen Pajak menyatakan media itu menunggak pajak selama bertahun-tahun sebesar Rp 83,5 miliar lebih. Pemerintah juga mengancam Deborah Krisher-Steele, pengelola harian itu, dengan tuduhan tindak pidana penghindaran pajak. "Biasanya masalah perselisihan pajak diselesaikan setelah ada negosiasi dan audit. Tapi harian ini menjadi target dengan tuduhan palsu oleh Departemen Pajak dan fitnah oleh pemerintah sebelum dilakukan audit, apalagi proses hukum," demikian pernyataan media tersebut di hari penutupannya, awal September lalu.
Tapi, sepekan kemudian, Krisher-Steele bersurat kepada Hun Sen, yang menyatakan penyesalan atas komentarnya. "Saya minta maaf atas komentar saya bahwa koran tersebut ditutup karena pemerintah menyerang media itu dan kebebasan pers di Kamboja," tuturnya.
Tentu perubahan sikap ini mengejutkan banyak aktivis hak asasi. Namun, Kamis pekan lalu, Krisher-Steele mengungkapkan apa yang terjadi di balik surat tersebut. "Pada hari pemerintah Kamboja memblokir akun bank kami, saya mendapat pesan yang menggelisahkan dari asisten saya, yang menyatakan bahwa suami saya, Douglas Steele, Direktur Utama Cambodia Daily, akan ditahan dan saya harus menandatangani surat berbahasa Khmer itu dalam dua jam," katanya dalam acara Foreign Correspondents’ Club of Japan di Tokyo, Jepang.
"Setelah mereka menutup semua koran dan stasiun radio independen, tak ada yang bisa mencetak informasi yang benar tentang pemilihan umum mendatang," kata Aun Pheap, wartawan Cambodia Daily.
Sudah lama Hun Sen tak menginginkan ada oposisi di negeri itu. Ketika masyarakat sipil Tunisia menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali lewat serangkaian unjuk rasa pada 2011- peristiwa yang memicu "Musim Semi Arab"- Hun Sen berkomentar ringan: "Saya tak hanya akan melemahkan oposisi. Saya akan membuat mereka mati. Jika ada yang cukup kuat mencoba menggelar demonstrasi, saya akan memecutnya seperti semua anjing dan memasukkannya ke kandang."
Namun kini dia tampak khawatir bila kalah dalam pemilihan umum mendatang. Pada pemilihan umum 2013, partainya nyaris kalah dengan 48,83 persen suara, sedangkan Partai Penyelamat Nasional Kamboja mengumpulkan 44,46 persen suara. Hun Sen memperingatkan bahwa perang sipil akan terjadi jika partainya kalah dan keluarganya dikejar-kejar oposisi yang menang.
"Kata-kata dapat memicu perang jika Partai Rakyat Kamboja kehilangan kesabaran dan datang ke rumah kalian dan membakar habis rumah kalian," ucap Hun Sen, Juni lalu. "Satu-satunya solusi adalah Partai Rakyat Kamboja harus menang di semua lini," kata perdana menteri yang punya pasukan pengawal dengan jumlah anggota 3.000 tentara swasta yang dilengkapi pengangkut personel lapis baja, peluncur rudal, dan senapan mesin bikinan Cina itu.
Kurniawan (khmer Times, Channel News Asia, Phnom Penh Post, Hrw)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo