Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terpilih tanpa Pemilihan

Ditingkahi ketidakpuasan masyarakat, Halimah Yacob akhirnya terpilih sebagai Presiden Singapura yang baru. Kader partai yang berkuasa sejak kemerdekaan 1965.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Terpilih tanpa Pemilihan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halimah Yacob, perempuan berjilbab berusia 63 tahun itu, mengembangkan senyumnya, tapi tak terlalu lebar. Rabu pekan lalu, semua orang menyalaminya: Halimah dilantik sebagai Presiden Singapura kedelapan. Namun ia menanggapi jabatan barunya dengan pesan bahwa ia masih Halimah yang dulu.

Tak ada yang berubah. Halimah tidak memiliki rencana pindah ke rumah dinasnya yang mentereng dan dijaga rapat. Ia memilih tetap tinggal di rumah yang, menurut suaminya, Mohamed Abdullah Alhabshee, sudah cukup besar. Hampir 30 tahun Halimah beserta keluarga tinggal di sebuah apartemen berkamar lima di kawasan Yishun. Di situlah Halimah dan suaminya membesarkan kelima anaknya.

Apartemen itu juga tampak tidak berbeda dengan apartemen tetangganya. Koridornya penuh dengan barang kehidupan sehari-hari, seperti sepeda, pot tanaman, dan sepatu sekolah. Praktis, selain kamera CCTV yang bertengger di dinding dekat unitnya, tidak ada yang bisa memberi kesan bahwa blok tersebut adalah tempat tinggal orang yang telah menjadi presiden negeri itu.

Halimah telah banyak mencicipi asam garam kehidupan. Pada usia 8 tahun, setelah kehilangan ayahnya, ia membantu ibunya berjualan nasi Padang di kawasan Shenton Way. Ia menolong ibunya membersihkan meja hingga mencuci piring di restoran tersebut. Ia juga melayani para pelanggan yang makan di sana. Ketika bersekolah di Singapore Chinese Girls, ia pernah hampir dikeluarkan dari sekolah karena membantu ibunya. Ia pun dipanggil kepala sekolah dan diberi ultimatum agar bisa kembali ke sekolah.

"Saya hanya bisa bilang, saya berjanji akan melakukan yang terbaik yang saya bisa untuk melayani warga Singapura," ujarnya setelah komisi pemilihan presiden memilihnya.

Halimah tentu tahu, ia tak lain adalah produk suatu keadaan. Termasuk ketika ia terpilih menjadi presiden negeri kecil berpenduduk 3,9 juta jiwa itu. Soalnya, hanya dia calon yang diberi sertifikat kelayakan oleh Departemen Pemilihan Umum (ELD) pada 11 September 2017. Sertifikat ini sangat penting karena dikeluarkan untuk para calon presiden agar mereka bisa bertanding dalam pemilihan presiden. Namun, karena ELD yang dikeluarkan hanya satu, otomatis Halimah naik menjadi Presiden Singapura untuk enam tahun ke depan.

Dua kandidat lain, pengusaha Salleh Marican dan Farid Khan, gagal mendapat sertifikat ELD karena sebuah syarat baru: mereka yang berasal dari sektor swasta diwajibkan menjabat eksekutif utama sebuah perusahaan dengan setidaknya US$ 370 juta saham ekuitas- meski ELD sebenarnya bisa menggunakan diskresi untuk memungkinkan mereka tetap maju. Para pengkritik menuding peraturan baru itu merupakan akal-akalan pemerintah untuk mengatur pemilihan dan mencegah oposisi mencalonkan diri.

Sepanjang karier politiknya, baru belakangan ini Halimah melepaskan diri dari Partai Aksi Rakyat (PAP), partai yang terus mendominasi politik, bahkan sebelum Singapura melepaskan diri dari Malaysia pada 1965. Dalam pemilihan ini, untuk pertama kalinya, kandidat yang bisa menjadi Presiden Singapura hanya dipilih dari kelompok ras Melayu. Amendemen pemilihan presiden terpilih yang disahkan oleh parlemen pada November tahun lalu memberi peluang bagi etnis tertentu yang tidak memiliki perwakilan selama lima periode berturut-turut untuk menjadi presiden.

Kemenangannya itu semestinya menjadi momen yang dirayakan. Meski jabatan presiden di Singapura hanya bersifat seremonial, pengembannya bisa memveto beberapa kebijakan pemerintah. Kebijakan itu antara lain soal keuangan yang menyentuh cadangan negara atau penunjukan pejabat penting di layanan publik. Dan sekarang masyarakat Singapura, yang sekonyong-konyong mendapatkan seorang presiden tanpa pemilihan, mulai bereaksi keras.

Sejumlah warga Singapura dilaporkan mulai mengkampanyekan #notmypresident di media sosial mereka. Pengguna Facebook, Jericho Augustus Tan, menulis, "Warga Singapura harus mendapat hak memilih presiden."

Menanggapi protes ini, Halimah menjawab dengan tenang: "Saya presiden untuk semua. Meskipun tak melalui pemilihan, komitmen saya untuk melayani kalian tetap sama." Ia produk sistem politik lama yang harus siap menjawab tantangan dan tuntutan zaman yang menghendaki transparansi dan perubahan.

Idrus F. Shahab Dan Maria Hasugian (the Guardian, Cnn, The New York Times, The Straits Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus