Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jenderal yang Mengakrabi Facebook

Pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, berada di balik eksodus ratusan ribu warga Rohingya. Figur pendiam dan berpandangan keras yang melek media sosial.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jenderal yang Mengakrabi Facebook

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa senja yang muram bagi Mabia Khatun. Pada usia 75 tahun, perempuan etnis Rohingya itu justru hidup terlunta-lunta sebagai pengungsi. Terusir dari rumahnya di sebuah desa di Distrik Maungdaw di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Mabia terpaksa menyelamatkan diri ke negara tetangga, Bangladesh. Bersama puluhan tetangganya, menurut situs resmi badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR), Mabia menghindari kekejian tentara Myanmar yang menyerbu desa-desa Rohingya pada akhir Agustus lalu.

Ketika desa mereka dibakar, dua anak lelaki Mabia segera membungkusnya dengan selimut dan membawanya keluar dari desa. "Kami harus menyelamatkannya meski sulit," kata Ali, seorang anak Mabia. Berbekal tongkat bambu, Ali dan saudaranya menggotong Mabia selama 17 hari melalui hutan. Mereka menyusuri jalan berlumpur menuju Desa Kanjur di Bangladesh. "Saya tidak tahu apa yang terjadi karena saya di dalam selimut," ujar Mabia.

Mabia Khatun adalah satu di antara sedikitnya 400 ribu warga etnis minoritas Rohingya yang telah membanjiri Bangladesh sejak 25 Agustus lalu. Saat itu Tatmadaw atau militer Myanmar menyerbu desa-desa di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung-tiga distrik tempat sebagian besar warga Rohingya tinggal. Dengan dalih membalas serangan gerilyawan Bala Keselamatan Rohingya Arakan (ARSA), pasukan militer Myanmar menghanguskan ribuan rumah.

Sebanyak 471 desa etnis Rohingya menjadi target operasi pembersihan militer Myanmar. Juru bicara kantor kepresidenan Myanmar, Zaw Htay, mengatakan 176 desa kini kosong-melompong akibat eksodus penghuninya. Sedangkan 34 desa lainnya ditinggalkan oleh sebagian warganya. "Ada 86 bentrokan hingga 5 September," ucap Zaw Htay. "Pasukan keamanan berupaya menstabilkan wilayah tersebut."

Aksi brutal tentara tak lepas dari tangan Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Panglima angkatan bersenjata dan pemimpin junta militer inilah tokoh sentral di balik tindak represif Tatmadaw. Dalam pernyataannya selepas operasi militer, Jenderal Min Aung mengatakan ada 13 tentara dan 30 warga sipil yang meninggal. "Sebanyak 370 ekstremis ARSA tewas dan 37 lainnya ditangkap," ujarnya, seperti dikutip kantor Panglima Tertinggi Tatmadaw. Pada Oktober 2016, serangan gerilyawan ARSA terhadap pos tentara juga memicu operasi militer di Rakhine, yang berakibat pada eksodus 70 ribu orang Rohingya ke Bangladesh.

Meredam konflik melalui kekerasan, di mata Min Aung Hlaing, bukanlah hal baru. Pada Agustus 2009, Min Aung, kala itu masih berpangkat letnan jenderal, memerintahkan operasi militer terhadap kelompok bersenjata etnis Kokang, yang dikenal sebagai Tentara Aliansi Nasional Demokratik Myanmar (MNDAA). Baku tembak meletus di kawasan utara Negara Bagian Shan, yang berbatasan dengan wilayah Cina.

Sebagai kepala biro operasi khusus-2 (BSO-2), Min Aung melihat serangan militer sebagai opsi tunggal menghadapi gerilyawan Kokang, yang ketika itu menolak menjadi pasukan penjaga perbatasan. "Serangan Tatmadaw melanggar perjanjian gencatan senjata antara rezim militer dan MNDAA pada 1989," demikian dikabarkan The Irrawaddy. Operasi militer itu menewaskan sedikitnya 126 tentara Myanmar dan 90 kombatan. Serangan tersebut juga memicu 37 ribu warga sipil di Laukkai, kota utama di Kokang, mengungsi ke Cina.

Sebelum insiden Kokang, jejak kekerasan Min Aung terekam dalam Revolusi Saffron. Min Aung masuk deretan jenderal yang mendukung tindakan brutal terhadap ribuan biksu yang memimpin unjuk rasa besar-besaran pada September 2007. Biksu-biksu itu menyerukan diakhirinya rezim militer. Namun para biksu tersebut, yang dianggap "anak-anak Buddha" dan merupakan institusi terbesar di Myanmar setelah Tatmadaw, diredam lewat kekerasan. Nyaris 200 biksu diyakini tewas akibat aksi brutal tentara Myanmar.

Min Aung lahir di Tavoy-kini Dawei-kota kecil sejauh 800 kilometer di sebelah selatan Naypyidaw, 61 tahun lalu. Sempat berkuliah hukum di University of Rangoon, Min Aung akhirnya memilih karier militer. Ia menempa diri di Akademi Pertahanan, kampus militer terkemuka di Myanmar. "Ia diterima setelah dua kali gagal tes," demikian diberitakan Reuters. Karier Min Aung melesat. Salah satunya karena kepiawaiannya bernegosiasi dengan dua kelompok pemberontak, Pasukan Nasional Wa Bersatu dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional.

Namun peristiwa Kokanglah yang melambungkan nama Min Aung. Pada Juni 2010, ia naik pangkat dan menggantikan Jenderal Shwe Mann sebagai Kepala Staf Gabungan Militer. Bahkan, tak sampai satu tahun kemudian, Min Aung diangkat menjadi Panglima Militer Myanmar menggantikan kepala negara dan pemimpin junta, Jenderal Senior Than Shwe. Min Aung mewarisi rezim militer yang sangat kuat berdasarkan Konstitusi 2008.

Teman sekelas Min Aung di Akademi Pertahanan angkatan ke-19 menilai rekannya itu kadet rata-rata. "Dia bukan murid yang luar biasa. Dia tidak ambisius, tapi juga tidak malas," ujarnya. Pria yang enggan disebutkan identitasnya ini mengatakan masih kerap bertemu dengan Min Aung saat reuni angkatan. "Dia dipromosikan secara pelan dan teratur."

Rekan satu kampus Min Aung di University of Rangoon ini tidak mengira kawannya itu bakal mengomandoi 400 ribu tentara dan polisi Myanmar. Menurut pensiunan pejabat hukum ini, Min Aung semasa kuliah menjauhi dunia aktivisme politik yang merebak pada 1970-an. "Pria yang irit bicara dan rendah hati," ucapnya. Pada saat rekan-rekan mahasiswanya berunjuk rasa di sana-sini, Min Aung malah sibuk mendaftar di Akademi Pertahanan.

Kini kadet pendiam itu menjelma sebagai pemimpin junta militer, rezim otoriter yang telah mencengkeram Myanmar sejak kudeta Jenderal Ne Win pada 1962. Sebagai tokoh yang paling berkuasa, Min Aung sangat jarang bertanya-jawab dengan jurnalis. Sejak 2013, sang jenderal senior lebih senang menggunakan media sosial Facebook untuk berinteraksi dengan media massa dan masyarakat global. Dengan lebih dari 1,2 juta "likes", Min Aung aktif menyampaikan pesan-pesan militer ke publik, dari pembelian pesawat hingga isu terbaru.

Min Aung, misalnya, turut mengomentari kejadian di Rakhine, yang telah menyedot atensi warga dunia. Dalam unggahan pada 1 September lalu, ia menuliskan ihwal peristiwa maut di Buthidaung dan Maungdaw. "Teroris Bengali melancarkan serangan ke markas besar unit militer dan 30 pos polisi," kata Min Aung, merujuk pada kelompok gerilyawan Rohingya, ARSA. "Orang Bengali yang menyebut diri mereka Rohingya telah menjadi persoalan nasional."

Seperti para pendahulunya, Min Aung tidak pernah mengakui Rohingya. Padahal etnis minoritas berjumlah 1,1 juta orang itu telah hidup turun-temurun di Rakhine-dulu bernama Arakan. "Tidak ada Rohingya di negara kita," ujarnya dalam pidato di parade militer di Naypyidaw, Maret lalu. "Orang Bengali di Rakhine bukan warga Myanmar, dan mereka hanya menumpang di negara kita." Selama beberapa dekade, etnis Rohingya kerap mengalami penindasan oleh militer ataupun kelompok ultranasionalis Buddha.

Maung Aung Myoe, penulis buku Building the Tatmadaw: Myanmar Armed Forces Since 1948, mengatakan Min Aung sebenarnya ingin memperbaiki citra buruk Tatmadaw, yang dicap represif selama puluhan tahun. "Dia ingin militer dipandang sebagai putra dan putri rakyat," kata Maung kepada Reuters. Namun, untuk isu Rohingya, Min Aung tampaknya memilih tak acuh atas anggapan komunitas global terhadap Tatmadaw.

Min Aung juga bergeming dalam isu transisi politik. Belum ada gelagat ia bakal menyerahkan kekuasaan junta kepada rezim sipil Aung San Suu Kyi. "Masih terlalu dini," ujar Min Aung dalam wawancara dengan The Washington Post, yang dimuat di laman Facebooknya. Di tampuk kuasa Min Aung, tentara belum akan segera kembali ke barak. "Waktu terbaik mungkin datang saat ada kedamaian dan stabilitas total di negara ini."

Mahardika Satria Hadi (the Irrawaddy, Cnn, Frontier Myanmar, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus