Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLAK-balik diperiksa sebagai saksi dalam setumpuk kasus yang melibatkan Muhammad Nazaruddin, Yulianis sampai hafal setiap sudut lantai tujuh dan delapan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. "Lantai tujuh direktorat penyelidikan," katanya, Kamis pekan lalu. "Lantai delapan buat penyidikan."
Keluar dari pintu lift ke arah kanan, ruang pemeriksaan di lantai delapan ada di ujung koridor. Ada 18 ruang pemeriksaan berukuran 2 x 2 meter di lantai itu. Untuk mencapai ruangan tersebut, saksi atau tersangka mesti melewati lorong selebar satu meter, yang setengahnya dipakai untuk menaruh tumpukan dokumen perkara. Di kiri-kanan lorong itu, penyidik dan jaksa berbagi meja.
Berjalan di gang itu, seseorang bisa tersandung-sandung dokumen yang menggunung setinggi pinggang. Sebagian dokumen dibungkus kardus dan koper jumbo, lalu dilabeli nama sesuai dengan "aktor" perkara. Yulianis bercerita, suatu kali ia menemukan berita acara pemeriksaan tersangka Amrun Daulay, politikus Partai Demokrat yang tersandung kasus korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit di Kementerian Sosial.
Berita acara pemeriksaan Amrun tergeletak begitu saja di antara tumpukan dokumen di lorong lantai delapan. Sambil berlalu, Yulianis membaca beberapa lembar dokumen pemeriksaan Amrun. "Saya tanya penyidik, 'Kok, bisa bertebaran begini?'" katanya. Yulianis mengingat penyidik itu menjawab, "Tak ada tempat lagi, Bu."
Di gedung KPK sebenarnya ada ruang arsip. Tapi ruangan seluas 20 meter persegi di lantai dasar itu tak muat lagi. "Makin lama berkas perkara makin menumpuk," kata Sekretaris Jenderal KPK Bambang Prapto Sunu. KPK memindahkan sebagian dokumen ke gedung Arsip Nasional RI.
Bukan cuma dokumen, saking sesaknya gedung KPK di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, sebagian pegawai pun ditempatkan di gedung terpisah. Dibangun pada 1981, gedung KPK di Rasuna Said semula milik PT Bank Papan Sejahtera. Pada 1998, bank itu dilikuidasi dan asetnya disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional. KPK menempati gedung berlantai 9 itu sejak Agustus 2007.
Kini di gedung itu 700 pegawai KPK berkantor, melampaui kapasitas gedung yang didesain untuk 450 orang. Saat ini KPK memiliki 909 pegawai, termasuk tenaga alih daya. Dari jumlah itu, 111 pegawai ditempatkan di lantai tiga di bekas gedung Uppindo—satu gedung dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sebagian personel Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK berkantor di sana. Sisanya, 98 pegawai, ditaruh di lantai 15 gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara di Jalan Merdeka Selatan. Gedung BUMN ini ditempati bagian sekretariat jenderal.
Terdesak keadaan, komisi antirasuah membutuhkan gedung baru yang lebih jembar. Selain untuk menampung pegawai dan dokumen yang tercecer seperti sekarang ini, KPK bermaksud merekrut pegawai baru. Kelak bakal ada 1.394 pegawai KPK berkantor di gedung baru.
Upaya membangun gedung baru dirintis pada 2008. Menurut Bambang, pada September tahun itu, KPK mengajukan anggaran Rp 187,9 miliar. Permohonan itu dibalas Kementerian Keuangan pada 4 Desember 2008, yang menyatakan dana cuma ada Rp 90 miliar.
Hadangan datang dari Senayan. Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat tak setuju duit Rp 90 miliar itu dicairkan. "DPR tak menyebutkan secara eksplisit kenapa anggarannya diberi tanda bintang," kata Bambang. Di gedung Dewan, pemberian tanda bintang berarti anggaran masih "beku".
Politikus Senayan lantas meminta KPK mencari gedung milik pemerintah yang tak terpakai. Keliling ke mana-mana, KPK akhirnya dipinjami lantai 15 gedung Kementerian BUMN pada September 2009. Belakangan, pemerintah juga meminjamkan lantai 3 gedung Uppindo.
Tahun ini komisi antikorupsi kembali mengajukan permohonan anggaran gedung. Terbagi dalam tiga tahun anggaran, KPK meminta Rp 225,7 miliar. Pada 2012, semestinya Kementerian Keuangan mencairkan Rp 16,7 miliar. Selanjutnya, pada 2013 dan 2014, diharapkan turun lagi Rp 105,5 miliar dan Rp 103,5 miliar. Meski Kementerian Keuangan tak keberatan, DPR kembali membekukan anggaran.
Anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ahmad Basarah, mengatakan kepemimpinan KPK jilid III harus melunasi janji ketika uji kelayakan dan kepatutan sebelum meminta gedung. "KPK gagal mengungkap kasus besar," ujarnya. Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, KPK hanya menangani kasus-kasus teri.
Seorang anggota Komisi Hukum bercerita, mayoritas koleganya kecewa karena tak bisa mengendalikan kelima pemimpin KPK, terutama Bambang Widjojanto. "BW tak bisa dipegang," katanya. Ketika pemilihan pemimpin KPK akhir tahun lalu, Bambang dipesani mengungkap kasus Bank Century. Kini Bambang tak bisa dikendalikan politikus yang memilihnya.
Dalam rapat internal Komisi Hukum pada Selasa pekan lalu, hampir semua anggota Komisi Hukum menolak mencabut bintang anggaran gedung baru. Selain klaim kinerja, sejumlah politikus menganggap KPK lembaga ad hoc. Lantaran sifatnya yang sementara, KPK dinilai mereka tak perlu memiliki gedung baru. Undang-Undang KPK tak pernah menyebutkan komisi antirasuah itu tak permanen.
Komisi Hukum memang cenderung menganggap KPK tak kekal. "Saya takut gedung baru akan terbengkalai misalkan jika KPK ditutup," kata politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Status KPK permanen atau sementara, kata Bambang, ditegaskan dalam undang-undang baru yang mengatur lembaga itu dan akan dibahas Komisi Hukum.
Seorang anggota Komisi Hukum dari partai pendukung pemerintah mengatakan alasan efisiensi anggaran untuk menolak gedung baru KPK cuma akal-akalan. "Anggarannya kan bukan baru kemarin diajukan," katanya. "Ini sudah empat tahun selalu ditolak."
Politikus ini mengatakan Senayan tak ingin KPK makin kuat. Logikanya, bila KPK punya gedung baru, mereka bisa merekrut banyak personel. Dengan sumber daya manusia yang cukup, banyak perkara bisa diungkap. Persoalannya, kasus yang dibongkar kerap melibatkan politikus Senayan.
Nudirman Munir dari Golkar mengatakan Komisi Hukum bukannya tak mau mengabulkan keinginan KPK. Tapi, kata dia, KPK sendiri tak serius menginginkan gedung baru. Ketika diundang dalam rapat konsinyering anggaran di Hotel JW Marriot pada Sabtu tiga pekan lalu, KPK malah tak datang. Komisi antirasuah juga dituduh tak berusaha terlebih dulu mencari gedung pemerintah yang kosong.
Menurut Bambang Widjojanto, KPK punya alasan tak datang ke JW Marriot. Undangan Komisi Hukum kepada pemimpin KPK cuma berupa pesan pendek. "Itu bukan undangan resmi," katanya. KPK, kata dia, juga sudah diberi tahu Kementerian Keuangan bahwa tak ada lagi gedung yang kosong.
Satu dari sedikit anggota Komisi Hukum yang setuju pembangunan gedung KPK adalah Martin Hutabarat. Menurut politikus Gerindra itu, bila polemik tersebut berlarut-larut, DPR makin mencoreng mukanya sendiri. "Citra DPR makin rusak di mata masyarakat," katanya.
Masyarakat yang dongkol terhadap politikus urunan mengumpulkan dana. Digalang sekumpulan aktivis antikorupsi yang menamakan diri Koalisi Saweran untuk Gedung KPK, dalam tiga hari pertama terkumpul hampir Rp 100 juta. Sumbangan masyarakat mungkin tak bakal menembus angka Rp 225,7 miliar—anggaran pembangunan gedung. Tapi, kata mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang juga aktif di Koalisi, "Bukan soal uangnya, yang penting semangatnya memberantas korupsi."
Anton Septian, Febriyan, Istman Musaharun
Gedung Saat Ini
Utak-atik
Rencana Gedung
Di Negeri Jiran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo