Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Minggu, 11 Februari, Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa Israel tidak boleh melancarkan operasi militer di Rafah tanpa rencana yang kredibel untuk menjamin keselamatan sekitar 1 juta orang yang berlindung di sana, kata Gedung Putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biden dan Netanyahu berbicara selama sekitar 45 menit, beberapa hari setelah pemimpin AS tersebut mengatakan respons militer Israel di Jalur Gaza "berlebihan" dan menyatakan keprihatinan besar atas meningkatnya jumlah korban sipil di wilayah kantong Palestina tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, baru saja percakapan itu selesai, Netanyahu memerintahkan pasukannya untuk menyerang Rafah tempat warga Palestina perlindungan ketika Israel menggempur daerah kantong tersebut sejak serangan Hamas pada 7 Oktober. Serangan itu menewaskan 67 orang. Dunia langsung bereaksi. Ini kata mereka:
Hamas
Kelompok Palestina Hamas, Senin, 12 Februari 2024, mengatakan bahwa serangan oleh Israel di kota Rafah, Jalur Gaza selatan merupakan kelanjutan dari "genosida dan pemindahan paksa."
"Serangan ini menegaskan bahwa pemerintah Netanyahu mengabaikan keputusan Mahkamah Internasional, yang menyetujui langkah-langkah mendesak untuk menghentikan setiap tindakan yang dapat dianggap sebagai tindakan genosida," kata Azat al-Rashq, seorang pemimpin Hamas, melalui pesan singkat Telegram.
Ia mengatakan bahwa pemerintahan Joe Biden, bersama dengan pemerintahan Benjamin Netanyahu, bertanggung jawab penuh atas pembantaian tersebut.
Ia meminta komunitas internasional untuk segera melakukan intervensi untuk menghentikan agresi dan kejahatan Israel terhadap warga sipil.
Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron
Israel harus berhenti dan berpikir secara serius sebelum mengambil tindakan lebih lanjut di Rafah, kata Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron, Senin, setelah serangan udara di kota Gaza selatan yang menjadi tempat perlindungan terakhir bagi sekitar satu juta warga sipil yang mengungsi.
Ketika ditanya mengenai situasi di Rafah dan apakah Israel telah melampaui hukum internasional, Cameron mengatakan kepada para wartawan: "Kami pikir mustahil untuk melihat bagaimana Anda bisa berperang di antara orang-orang ini. Tidak ada tempat bagi mereka untuk pergi."
"Kami sangat prihatin dengan situasi ini dan kami ingin Israel berhenti dan berpikir dengan sangat serius sebelum mengambil tindakan lebih lanjut. Namun di atas semua itu, yang kami inginkan adalah jeda segera dalam pertempuran dan kami ingin jeda itu mengarah pada gencatan senjata."
Kementerian Luar Negeri Malaysia
Dalam sebuah pernyataan yang sangat keras, Kementerian Luar Negeri Malaysia mengutuk serangan baru Israel terhadap warga Palestina, menyebutnya "tidak bertanggung jawab, ilegal, dan tidak manusiawi," dan memperingatkan bahwa hal itu akan memperburuk bencana kemanusiaan, memperparah ketegangan regional, dan menggagalkan upaya untuk menghentikan permusuhan dan gencatan senjata secara permanen.
Kuala Lumpur menuntut Tel Aviv untuk segera menghentikan tindakannya dan mematuhi hukum hak asasi manusia internasional.
"Operasi militer pengecut ini jelas-jelas membuktikan tujuan utama rezim Zionis untuk memusnahkan bangsa Palestina dari tanah mereka sendiri," demikian bunyi pernyataan kementerian tersebut.
"Ini sekali lagi menunjukkan pengabaian terang-terangan mereka terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional dan penghinaan yang jelas terhadap keputusan Mahkamah Internasional bulan lalu tentang enam langkah sementara," tambahnya.
Komunitas internasional, menurut mereka, tidak dapat membiarkan tindakan perang salah satu anggotanya terus berlanjut dengan kekebalan hukum.
"Dalam hal ini, Malaysia menggemakan seruan Sekretaris Jenderal PBB untuk segera menghentikan rencana keji tersebut dan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan cepat dan tegas untuk menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh rezim Zionis," katanya.
Malaysia menegaskan kembali bahwa "dukungan tegas dan solidaritasnya terhadap rakyat Palestina tetap tak tergoyahkan, termasuk terhadap hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, pendirian negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, berdasarkan perbatasan sebelum tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dan diterima sebagai anggota penuh PBB."
Kementerian Luar Negeri Jepang
Jepang juga menyatakan "sangat prihatin" dengan laporan mengenai operasi militer Israel di Rafah.
"Lebih dari satu juta warga Palestina di Gaza telah mengungsi di Rafah, yang merupakan lokasi yang sangat penting untuk pengiriman pasokan kemanusiaan," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Jepang.
Karena situasi kemanusiaan di lapangan memburuk dan jumlah korban sipil, termasuk sejumlah besar anak-anak, perempuan dan orang tua, terus meningkat, sangat penting untuk memperbaiki situasi kemanusiaan sesegera mungkin dan menciptakan lingkungan di mana kegiatan bantuan kemanusiaan dapat dilakukan, tambahnya.
"Jepang sekali lagi menegaskan pentingnya perlindungan warga sipil, dan mendesak semua pihak untuk bertindak sesuai dengan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional, dan bertindak dengan itikad baik berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan, termasuk memastikan bantuan kemanusiaan," katanya.
REUTERS | MIDDLE EAST MONITOR | ANADOLU