RAJA Hussein menarik garis pembatas bagi Islam radikal di parlemen Yordania. Caranya adalah dengan mengubah undang-undang pemilu yang berlaku sejak tahun 1986. Perubahan yang disahkan Raja Yordania, Selasa pekan lalu, itu menyebabkan seorang pemilih hanya bisa memberikan suaranya untuk satu calon tak lagi seperti dulu: bisa mencalonkan lebih dari enam kandidat. Upaya ini kontan diprotes oleh kelompok Ikhwanul Muslimin Yordania. Sebab, dengan undang-undang yang baru itu, kelompok ini, yang kini menguasai 22 dari 80 kursi di parlemen, bisa kalah dalam pemilu multipartai yang akan diselenggarakan pertama kali di Yordania, November nanti. ''Kami merasa dipojokkan dengan undang-undang yang baru itu,'' kata seorang pemimpin Front Aksi Islam, organ partai politik kelompok Ikhwanul itu. Taysser al-Zabri, pemimpin Partai Demokratik Rakyat Yordan, kelompok kiri, berniat menggugat keputusan Raja Hussein itu lewat pengadilan konstitusi karena keputusan tersebut disahkan tanpa persetujuan parlemen. Memang, kehadiran Ikhwanul Muslimin di parlemen hasil pemilu tahun 1989 membuat pemerintahan monarki Raja Hussein mudah ditekan oleh kelompok itu. Mereka rupanya mudah menguasai parlemen. Pada tahun 1991, umpamanya, lima anggota Ikhwanul terpaksa diterima dalam kabinet pimpinan Perdana Menteri Sharif Zaid bin Shaker (keponakan raja). Abdul al-Latif Arabiyat, salah satu tokoh pendukung Ikhwanul Muslimin, tak bisa digeser dari kursi parlemen yang sudah didudukinya selama tiga periode. Kemudian, dua anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin yang dituduh berniat menggulingkan Raja terpaksa dibebaskan belum lama ini gara-gara tekanan dari kelompok tersebut. Melalui perubahan undang-undang pemilu itulah Raja Hussein berharap dapat mempertahankan sistem monarki yang demokratis di Yordania. Mungkinkah upaya itu berhasil? Bisa jadi. Apalagi sekarang ini dukungan terhadap gerakan Islam radikal itu tengah menurun. Hasil pengumpulan pendapat Pusat Studi Strategis Universitas Yordan dengan lebih dari seribu responden, April lalu, mengungkapkan bahwa dukungan terhadap kelompok Islam itu menurun sampai 25%. Itu tak seperti pada akhir tahun 1980-an, ketika kelompok ini mendapat dukungan cukup banyak suara, di antaranya dari 40% warga Palestina, dari 3,4 juta penduduk Yordan, dengan mencuatkan isu pembebasan Jalur Gaza dan Tepi Barat. Salah satu penyebab merosotnya dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin: kelompok ini, setelah selama empat tahun duduk di parlemen, tak juga berhasil membenahi ekonomi Yordania. Sebaliknya, mereka lebih memperhatikan isu politik Islam, yang dianggap oleh kebanyakan warga Yordania sebagai problem kedua. Mereka, misalnya, malah mengusulkan rancangan undang-undang yang melarang pelajar pria dan wanita duduk berdampingan di sekolah dan universitas daripada mencari jalan untuk memecahkan problem ekonomi yang terbebani utang luar negeri sebesar US$ 7 miliar dan pengangguran setinggi 16%. Front Aksi Islam, partainya Ikhwanul Muslimin, pun sudah berubah sikap dan tak lagi berniat memboikot pemilu November nanti. ''Akhirnya kami sepakat ikut pemilu karena tak mau dituding sebagai perusak iklim demokrasi,'' kata seorang pemimpin Front Aksi Islam. Kemungkinan besar, langkah ini akan diikuti oleh kelompok lain yang semula enggan ikut. Setelah pemilu November nanti, parlemen Yordania akan berubah wajah. Komposisi anggota parlemen akan didasarkan pada perolehan suara dari 20 partai yang ikut dalam pemilu multipartai yang pertama kali diadakan di Yordania itu. Ini dimungkinkan setelah Raja Hussein mencabut larangan berdirinya partai politik 1976, dua tahun silam. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini