MASRIZAL alias Jon, 23 tahun, bukan pahlawan. Tapi pemakaman anak petani miskin itu, Kamis dua pekan lalu, dihadiri Muspida dan Ketua DPRD setempat. Bahkan 30 anggota ABRI bersenjata lengkap melepas jenazahnya ke liang lahad. Kematian Jon menggegerkan Desa Halaban, Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, karena ia meninggal di sel polisi setempat. Kabarnya, ia bunuh diri. Jenazahnya diantar ambulans pada dini hari disertai pesan untuk orang tua korban, Syakur, agar tidak usah melihat korban. ''Besok saja, sebelum dikebumikan,'' kata polisi. Kapolsek Luhak, Letnan Dua Imran Yunus, bersama 12 anak buahnya datang menjenguk. Di rumah 6 x 6 meter itu, ia menjelaskan kematian Jon. Namun, warga sangsi. Menurut mereka yang memandikan korban, jasad Jon rusak. Misalnya, pinggangnya remuk, engsel lututnya lepas. Tulang betis dan bahunya patah. Warga keberatan menggali kuburan untuk Jon. ''Bapak saja yang menggali kubur itu, kan Bapak yang membunuhnya,'' ujar beberapa pemuda kepada polisi. Tiba-tiba sebuah batu sebesar tinju melayang ke tengah rumah. Dua polisi memburu si pelempar gelap. Tiba di tengah kerumunan massa, plak-plak, pipi polisi ini ditampar. Tak dapat lain, mereka lari meski tanpa sepatu. Kejadian itu dilaporkan ke Kapolres Payakumbuh, Letnan Kolonel Suwardi. Termasuk soal warga menolak penguburan jenazah Jon. Berita ini pun dikabarkan ke Muspida dan Ketua DPRD setempat, yang kebetulan sedang kumpul. Mereka pun memutuskan pergi ke Desa Halaban. Empat belas polisi dan 30 tentara bersenjata turun lebih dulu. Setiba di tempat, Muspida dan Ketua DPRD menyimpulkan yang terjadi hanya salah paham. ''Sebaiknya jenazah ini segera dimakamkan. Cobaan ini terimalah dengan lapang dada,'' kata Aziz Haili, Bupati Lima Puluh Kota. Seorang dokter diminta menjelaskan kematian Jon. Situasi pun reda. Menurut Kapolres Suwardi, Jon pernah dihukum dua kali karena mencuri kotak wakaf di mesjid. Terakhir, di Mesjid Andalas, ia tertangkap dan dikeroyok massa. Di tangan polisi, Jon yang bertubuh kecil itu kabur ketika listrik mati di Polsek Luhak. Tapi Jon kembali tertangkap massa. Kena permak lagi sebelum diserahkan ke polisi. Dalam sel ia gantung diri. ''Mungkin malu karena semua orang tahu dia itu maling,'' kata Suwardi. Satu jam setelah Jon tewas, lima dokter yang kumpul di Desa Airtabit memvisumnya. Dari kelamin korban keluar sperma tanda korban tewas gantung diri. Dan di lehernya ada bekas jeratan. Namun, warga masih meragukan uraian itu. Sebab, jasad korban luluh-lantak. Apalagi ada saksi yang melihatnya segar-bugar Rabu sore itu. ''Malah dia bercerita pengalamannya mencuri di lima mesjid, dan mengantongi Rp 216.000. Waktu itu, rambutnya sudah gundul dan tangannya masih terborgol,'' kata seorang saksi mata. Amiruddin Jumin, paman korban yang tinggal di Padang, juga mengendus ketidakwajaran. Letnan Kolonel AD ini bersama Syakur akan melapor ke Pom ABRI. ''Saya tak bermaksud melindungi penjahat. Tapi juga tak ingin melindungi pelanggar hukum,'' kata Amiruddin. Syakur pun membenarkan bahwa anaknya yang sepekan lagi bertunangan itu, walau jadi sopir oplet, masih suka usil. Kini tiga anak buah Suwardi yang dianggap lalai menjaga tahanan sudah ditindak. Dan pekan lalu, Kodim setempat memanggil 14 pemuda Halaban untuk mengusut siapa yang berteriak, ''Bunuh saja polisi'' tatkala suasana memanas. ''Sekadar untuk file,'' kata Suwardi. Lain lagi kasus yang menimpa Dudung Sofyan, 18 tahun. Paha pelajar kelas III SMA di Bengkulu itu tertembus pelor, dan tubuhnya remuk. ''Kalau diraba, tulangnya terasa remuk,'' kata ayahnya, Abdul Gani. Kematian anaknya akhir Juni itu, menurut Gani, diketahui dari satpam Rumah Sakit Umum Bengkulu, Ruslan. ''Barangkali itu anak Bapak,'' katanya. Dari Dokter Lina ia mendapatkan cerita, remaja itu sempat diobati karena pahanya tertembus pelor. Dokter Lina minta kepada polisi yang mengantar agar anak itu dirawat tinggal. ''Obati saja lukanya. Anak ini akan dibawa ke pos,'' kata polisi. ''Saya melihat pasien itu masih bisa jalan naik mobil polisi,'' kata Lina. Sehari setelah korban dikuburkan, polisi mengirim surat penangkapan atas Dudung. Plus beras 50 kg dan uang Rp 200.000 sebagai rasa dukacita. Selain itu, polisi minta Gani menghadap. Tapi perintah itu ditolaknya. ''Ini urusan polisi militer, bukan lagi urusan polisi,'' kata Gani, purnawirawan sersan TNI AD. Dudung ditangkap, kabarnya, karena berkelahi. Malam itu ada bentrokan masal di halaman Pondok Pesantren Almuhajirin. ''Sejumlah pemuda ditangkap,'' kata Nyonya Farida, yang tinggal dekat pondok pesantren itu. Anaknya, Pratu, 18 tahun, juga ditangkap. Selain Pratu, Jeri dan Zainal juga ditahan sampai kini. Polisi membantah motif perkelahian itu. ''Mereka ditangkap karena kasus pencurian,'' kata Kolonel Djauzi Sikumbang, Kapolwil Bengkulu. Waktu itu Dunung disebut lari. Polisi mengedor. Kena pahanya. Kok mati? Djauzi keberatan membeberkannya. ''Yang pasti, sembilan oknum polisi itu sudah saya tindak, dan akan diajukan ke mahkamah militer,'' katanya. Widi Yarmanto, Fachrul Rasyid H.F., dan Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini