Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Obat Krisis ala Thaksin

Perdana Menteri Thailand merevisi kabinetnya, pekan lalu. Langkah ini diambil untuk mengatasi krisis ekonomi serta tekanan konflik dari selatan.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam Istana Klai Kangwon di Prachuap Khiri Khan, Thaksin Shinawatra bersimpuh. Dia menghaturkan sembah ke hadapan Raja Bhumibol Adulyadej, lalu melaporkan niatnya merombak kabinet—suatu langkah politik yang memerlukan restu Raja. ”Ini yang terbaik yang bisa dilakukan,” ujarnya kepada para wartawan.

Atas perkenan Raja, Perdana Menteri Thaksin menyusun ulang pos 17 menteri, Rabu dua pekan lalu. Inilah perombakan kabinet pertama sepanjang kepemimpinan Thaksin di Negeri Gajah Putih itu (sejak 2001) dan yang terbesar dalam sejarah Thailand. Pada 2005 ia terpilih kembali untuk kedua kalinya dan akan memerintah hingga 2009.

Wakil Perdana Menteri Pinij Charusombat termasuk yang kehilangan kursi. Banyak pengamat bingung karena revisi kabinet itu justru diisi muka-muka lama yang dianggap tak becus. Umpama, Menteri Transportasi Suriya Jungrungreangkit. Dia mendapat pos terhormat, wakil perdana menteri. Padahal, orang ini bertanggung jawab atas skandal korupsi di pelabuhan udara internasional Bangkok yang baru. Thaksin memecat tiga menteri dan mengangkat empat yang baru.

Popularitas Thaksin sejatinya tengah terjun bebas ke titik nadir karena dua masalah besar, kekerasan di wilayah selatan dan krisis ekonomi serta korupsi di lingkaran kabinet. Naiknya harga minyak dunia turut memelorotkan pertumbuhan ekonomi Thailand. Defisit anggaran meroket. Hingga paruh pertama tahun ini, bank sentral Thailand sudah dua kali menurunkan target pertumbuhan ekonomi 2005.

Sementara itu, di selatan, perselisihan di wilayah muslim kian memuramkan citra Thaksin. Pemberontakan pertama pecah di selatan pada tahun 1960-an. Kelompok-kelompok separatis muncul karena merasa pemerintah menganaktirikan komunitas muslim setempat. Namun, hal ini dapat diredakan ketika itu.

Januari tahun lalu, sekelompok orang bersenjata menyerang markas tentara di Narathiwat. Mereka menewaskan empat serdadu dan membawa lari 300 pucuk senjata api laras panjang serta peralatan militer lain. Sebagai balasan, pemerintah melakukan dua aksi besar di selatan pada 2004, yakni membunuh 108 pemberontak pada 28 April dan melakukan kekerasan yang menewaskan 85 aktivis Islam yang berdemo di dekat Kota Tak Bai pada Oktober. Sejak itu, konflik kian mendidih dan telah menewaskan 800 orang.

Juli lalu, sebuah undang-undang baru dikeluarkan. Undang-undang itu mengizinkan aparat menahan siapa pun yang dicurigai selama tujuh hari, menyensor surat kabar, atau menyadap pembicaraan telepon. ”Hendaknya seluruh warga Thailand bersatu melawan orang yang berkehendak buruk terhadap negara ini,” ujar Menteri Dalam Negeri Chidchai Vanasathidya, saat mengumumkan undang-undang baru itu.

Namun, situasi di selatan tak berubah. Pekan lalu Thaksin mengganti Chidchai dengan Komandan Pasukan Udara Kerajaan Thailand, Kongsak Vantana. Chidchai menempati pos baru sebagai Menteri Kehakiman. Ini kali ketiga Thaksin mengganti Menteri Dalam Negeri, yang selalu gagal menyelesaikan konflik di selatan.

Para pengamat ragu Kongsak mampu membawa banyak perubahan jika pemerintah enggan mengubah kebijakan politik secara mendasar, yakni memperhatikan komunitas muslim sama seperti masyarakat Thailand lain. Mengutip analis politik Thailand, Asadang Panikabutr: ”(Reshuffle) Ini hanya menguntungkan Thaksin dan orang-orangnya,” ujarnya.

Faksi-faksi memang bermunculan di tubuh Partai Thai Rak Thai, partai pendukung Thaksin. Dengan mempertahankan sejumlah wajah lama dalam kabinetnya, Thaksin, menurut Asadang, berharap dapat mencegah perpecahan di tubuh partai tersebut. Namun, Thitinan Pongsudhirak—ahli politik dari Universitas Chulalongkorn—mengatakan Thaksin justru salah langkah: ”Kalau ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan melenyapkan cap koruptor pada kabinet, dia (Thaksin) gagal.”

Philipus Parera (AFP/Financial Times/Channel News Asia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus