Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khartoum, ibu negeri Sudan, seolah dilanda gemuruh perang hari itu, Senin pekan lalu. Ribu-an orang turun ke jalan membawa senjata api rakitan dan senapan Kalashnikov. Suara tembakan ter--dengar di semua penjuru kota. Api mem---bakar ge-dung, mobil-mobil dijungkir-balikkan. Asap hitam dari reruntuhan rumah dan bangkai kendaraan membubung, mengge-lapkan langit Sudan secara tiba-tiba.
Kerusuhan itu pecah sesaat setelah pe-merintah Sudan mengumumkan kemati-an Wakil Presiden I John Garang de Ma-bior, 60 tahun. Dia tewas dalam kece-lakaan helikopter pada Ahad 31 Juli te-ngah malam. ”Pesawat Wakil Presiden jatuh di Gunung Amatonj,” kata Presi-den Sudan Omar al-Bashir.
Kecelakaan itu terjadi ketika John Garang terbang dari Uganda ke S-udan setelah menemui Presiden Uganda Yowe-ri Museveni dalam suatu kunjung-an pri-badi. Helikopter yang dia tumpangi digempur cuaca buruk sehingga jatuh. Dok-tor lulusan Iowa University itu te-was bersama enam pengawal serta tujuh awak pesawat.
Kematian bekas pemimpin milisi Sudan People’s Liberation Movement (SPLM) ini amat mengejutkan. Baru tiga minggu berselang ia dilantik sebagai Wakil Presiden I—Sudan memiliki dua wakil presiden. Pelantikan John Garang adalah bagian dari kesepakatan damai antara pemerin-tah pusat di utara dan pemberontak di selatan pada 9 Januari lalu. Para pendukung Garang mencurigai kecelakaan itu karena sabotase pemerintah.
Selama bertahun-tahun konflik berkobar antara pemerintah pusat di Sudan Utara dan kelompok milisi bersenjata di Sudan Selatan. Penduduk Sudan Utara umumnya warga muslim. Sudan Selatan didominasi pemeluk Kristen. Nah, John Garang memimpin pemberontakan Selatan melawan Khartoum sejak perang si-pil bermula pada 1983. Perang sepanjang 21 tahun ini telah menewaskan se-kitar 2 juta warga Sudan.
Konflik panjang membuahkan sikap saling curiga yang kental antara pendu-duk utara dan selatan. Begitu kematian Garang diumumkan, kemarahan warga-- selatan berkobar laksana tanur api. Sam-bil menghunus pedang atau mem-bawa batu dan kayu, massa yang sedih dan marah mulai menjarah toko-toko dan mengejar orang-orang yang mereka te-mui. ”Mereka memukuli setiap orang bertampang Arab,” kata Suayd Abdullah, seorang mahasiswa. Bentrokan me-la-wan polisi tak terhindarkan.
Pemerintah segera memberlakukan jam malam. Aparat keamanan siaga pe-nuh dan berpatroli di semua penjuru ibu kota. Toh, kerusuhan tak kunjung reda. Amuk ribuan warga Sudan Selatan menjalar ke berbagai kota. Di Juba, ratusan war-ga dari etnis Arab terpaksa meng-ung-si karena dijarah dan diserang warga Sudan Selatan.
Kerusuhan pertama sejak penandatanganan Kesepakatan Damai 9 Januari (2005) itu mulai menjatuhkan banyak kor-ban. ”Sekitar 130 tewas, 402 terluka (hitungan hingga Kamis pekan lalu—Red.),” kata Lerena Brander, juru bicara Palang Merah Internasional. Di Khartoum, 111 orang tewas, selebihnya di Juba dan Mala-kal, dua kota di Sudan Selatan.
Bila kerusuhan tak kunjung mereda, Sudan bisa-bisa terjungkal ke dalam pe-rang saudara jilid kedua. Presiden Amerika Serikat George W. Bush segera mengirim utusan khusus. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan mengimbau warga Sudan agar tetap tenang dan kembali melanjutkan proses perdamaian.
Pemerintah serta pemimpin milisi SPLM juga menegaskan, kematian Garang tak akan mempengaruhi kebijakan perdamaian mereka. ”Kami menjamin pro-ses perdamaian tetap dilanjutkan de-ngan tujuan yang sama,” kata Presiden Al-Bashir. ”Kepergian dia kian memperkuat tujuan kami untuk mewujudkan perdamaian,” kata Wakil Ketua SPLM, Salva Kiir Mayardit, yang otomatis menggantikan Garang sebagai Wakil Presiden I.
Rebecca Garang, istri John Garang, menyeru segenap pendukung suami-nya agar menerima kematian pemimpin mereka dengan tegar. ”Tuhan telah memanggil dia. Suami saya meninggal, tetapi visinya tetap hidup,” ujarnya.
Hanibal W.Y. Wijayanta (Reuters/BBC/Sudan News Agency)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo