"JIKA Barat melupakan saya, tamatlah saya," kata Lech Walesa
belum lama berselang. Tapi Barat, paling tidak Komite Nobel di
Oslo, belum melupakannya. Rabu pekan silam, bekas pemimpin
Solidaritas itu dinyatakan memenangkan hadiah Nobel untuk
Perdamaian. Walesa mengalahkan 79 calon, di antaranya Bala
Keselamatan (Salvation Army), bekas utusan khusus Amerika untuk
misi damai Libanon Philip Habib, dan Paus Johannes Paulus II.
Juri memuji Walesa sebagai tokoh yang memperjuangkan harapan
sejagat akan perdamaian. Ia dikatakan selalu mencari jalan
keluar untuk "masalah-masalah Polandia" lewat perundingan dan
kerja sama. Lebih penting lagi, semua itu dilakukannya dengan
cara- cara yang sedapat mungkin menghindar kekerasan.
Dari gereja St. Brigida di Gdanks, tokoh buruh itu menyambut
berita kemenangannya dengan senyum lebar. "Saya amat
berbahagia," ucapnya kepada para wartawan. Menurut Walesa,
hadiah Nobel itu merupakan kehormatan bagi dunia pekerja, juga
berjuta-juta orang Polandia. "Tapi, tidak semua orang sebahagia
saya, karena mereka masih meringkuk di penjara," katanya lagi.
Walesa juga tidak yakin apakah, jika ia berangkat ke Oslo untuk
menerima Nobel penguasa Polandia akan memberinya izin pulang
kembali. "Risikonya terlalu besar," tutur montir listrik yang
berpenghasilan US$ 270 per bulan itu. Ia mungkin akan
mengirimkan istrinya, Danuta, atau seorang sahabat.
Opini dunia tentang kemenangan Walesa terpecah dua. Di Barat,
khususnya Gereja Katolik Roma, menyambut berita itu dengan
antusias. Begitu pula rakyat Polandia. Tapi pemerintah Polandia
menunda berita penting itu sampai 6 jam. Dan kantor berita resmi
PAP menyebut adanya kemungkinan "hadiah itu bisa disalahgunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan politik." Moskow bersikap dingin,
sedangkan kantor berita resml Hungaria MTI menuduh Nobel itu
sebagai hasil manuver politik, bagian dari propaganda Barat
menentang blok Timur.
Pemerintah Polandia, yang sebegitu jauh masih berdiam diri,
beberapa hari sebelum berita kemenangan Walesa menyiarkan film
dokumenter di televisi Polandia yang menampilkan rencana tokoh
buruh itu untuk menyetorkan uang sebesar US$ I juta ke sebuah
bank di Vatikan. Uang itu disebut-sebut sebagai hadiah dari
pendukungnya di Barat. Diperlihatkan bagaimana Walesa
merundingkan rencana itu dengan saudaranya Stanislaw. Paus
dikatakan ikut membantu. Dalam film itu digambarkan Walesa
menyatakan bahwa jumlah uangnya, dengan bunga 15%, dalam 10
tahun akan berlipat dua.
Pers bebas menyimpulkan, film itu merupakan serangan tak
langsung yang paling keras terhadap Walesa, sejak UU Darurat
dicabut Juli lalu. Komentar Walesa ? "Siaran televisi Polandia
itu palsu dan menertawakan," katanya.
Dari manuver ini bisa disimpulkan bagaimana penguasa Polandia
berusaha mengamankan negeri itu dari tambahan kesulitan yang
tidak perlu. Di saat pihak militer tetap menguasai banyak posisi
penting dalam pemerintahan, kehadiran Walesa tetap saja
dipandang membahayakan. Adapun rencana pembaharuan ekonomi yang
dilancarkan Jaruzelski boleh dibilang jalan, tapi titik-titik
cerah belum segera kelihatan. Memang, batu bara sebagai produk
utama industri mencatat angka 35 juta ton, tapi industri pada
umumnya macet karena ketiadaan bahan baku dan suku cadang.
Antre panjang tidak tampak lagi, tapi harga bahan makanan naik
30 - 40%. Tingkat hidup menurun 4%, demikian PAP. "Situasi masih
sangat rumit," kata tokoh partai komunis, Manfred Gorywoda.
Dan di tengah kerumitan itu, Walesa mengemukakan taktik baru,
antara lain membekukan nama Solidaritas itu sendiri. "Untuk
sementara, logo itu kita copot tanpa melepaskan segi-segi
idiilnya," pesan walesa. Ia merencanakan membentuk serikat buruh
regional yang juga mencakup suara oposisi. Rencana itu
kongkretnya akan diumumkan 16 Desember depan.
Menjelang Desember, banyak kemungkinan bisa terjadi. Tapi
Walesa, 40 tahun, yang sekarang geraknya sangat dibatasi,
baru-baru ini masih dapat berkata, "Kami memperjuangkan
kemenangan politik, bukan kemenangan fisik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini