Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sisa-sisa Tan Malaka

Partai komunis malaysia (cpm) yang kini bermukim di hutan-hutan perbatasan muangthai selatan dikhawatirkan akan mengadakan serangan gerilya. usaha malaysia membendung komunis kurang dapat imbangan. (ln)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTAI Komunis Malaya (CPM) dan gerombolan Tentara Kemerdekaan Nasional Malaya (MNLA) sudah kucar-kacir. Tapi Malaysia masih saja dihantui perusuh komunis - yang kini bermukim di hutan-hutan perbatasan Muangthai Selatan. Kekhawatiran terhadap serangan gerilya itu beralasan. "Sepuluh tahun lalu banyak orang Melayu menjadi anggota CPM, sekarang sebagian besar orang Thai. Suatu saat kelak CPM tidak hanya berbahaya bagi Malaysia, juga merupakan ancaman serius bagi Muangthai," kata sebuah sumber di kantor Perdana Menteri Mahathir. CPM dibentuk tahun 1930-an - hampir sebaya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan kembali secara ilegal oleh Muso setelah pemberontakan November 1926 gagal. Di masa pendudukan Jepang, orang-orang komunis Malaysia membentuk Persatuan Rakyat Melayu Anti-Jepang (MPAJU) yang juga dilengkapi dengan pasukan gerilya bersenjata. Begitu Jepang bertekuk-lutut kepada Sekutu, kaum merah Tanah Semenanjung mendirikan Partai Kebangsaan Melayu Malaya (MNP). Inisiatif pembentukan MNP diambil oleh Mohtaruddin Lasso dengan dukungan dari tokoh komunis Abdullah CD dan Rashid Maidin. Bersekutu dengan kaum nasionalis untuk melawan penjajah, sebagaimana diucapkan Abdullah CD, cuma taktik belaka. Mohtaruddin Lasso alias Langlang Buana, menurut Cheah Boon Kheng dalam Red Star over Malaya (Singapura, 1983), adalah Tan Malaka, dedengkot komunis Indonesia. Itu sebabnya mereka juga berusaha berhubungan dengan para pemimpin nasionalis Indonesia, mencoba memanfaatkan karisma Bung Karno dan Bung Hatta dan bahkan menggunakan merah-putih sebagai bendera mereka. Ketika kedua pemimpin Indonesia itu memenuhi undangan Marsekal Terauchi di Dalat, seminggu menjelang proklamasi, beberapa anggota MNP, antara lain, Pacik Ahmad, sempat bertemu dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Singapura. Abdullah C.D. dan Rashid Maidin, yang kini berumur sekitar 70 tahun, masih hidup - bahkan dikabarkan masih aktif memimpin gerilya CPM di hutan Muangthai Selatan. Dalam peta organisasi MNLA bertarikh Juli 1978, yang tergantung di markas artileri Malaysia di perbatasan dengan Muangthai, nama mereka masih tercantum. Tahun 1960-an, terjadi krisis kepemimpinan di kalangan CPM. Partai ini terpecah tiga. CPM-RF (Revolutionary Front), CPM-ML (Marxist-Leninist), dan CPM roper (induk). "Mereka sama-sama berkiblat ke Beijing. Bedanya, CPM-proper masih percaya bisa merembes ke Semenanjung. Sedang dua lainnya tidak," kata Mayjen Datok Mohd. Hashim bin Mohd. Ali, panglima Divisi II Infanteri Malaysia. Menurut Enchik Hashim, kakak ipar Mahathir, jumlah pengikut CPM yang dulu sekitar 6.000 orang kini tinggal 2.000-an. Sedangkan yang melakukan kegiatan subversi di pedalaman Semenanjung diperkirakan 200 saja. "Tapi, betapa pun kecilnya, di mana pun mereka berada, komunis tetap berbahaya," katanya lagi. Itulah sebabnya, beberapa batalyon Asykar Malaysia Diraja disiagakan, lengkap dengan panser, tank, dan meriam di berbagai pos di sepanjang perbatasan. Sebuah tim khusus, yang terdiri dari beberapa instansi, juga dibentuk untuk menanggulangi penyelundupan tradisional, baik berupa barang dagangan maupun dadah alias narkotik, serta imigran gelap. Tiga tahun terakhir ini kontak senjata antara tentara dan perusuh mereda. Mungkin karena ketatnya penjagaan, atau bisa juga lantaran dibukanya kawasan berhutan lebat itu. Di Desa Bukit Kayu Hitam dan Keroh kini ditempatkan pos imigrasi. Pagar besi berjalin kawat berduri juga dibangun di kawasan yang paling rawan antara Padang Besar dan Bukit Kayu Hitam sepanjang 51 km. Pembukaan kawasan itu ternyata bukan hanya berdasarkan alasan keamanan, melainkan juga untuk pengembangan perekonomian - selaras dengan program kasban (keselamatan dan pembangunan). Sebab itu, Malaysia juga membangun lebuh raya alias highway dan beberapa jembatan besar. Lebuh Raya Timur - Barat akan menghubungkan Butterworth (Pulau Pinang) di sebelah barat dengan Kota Bharu (Kelantan) di sebelah timur. Bila jaringan jalan raya itu selesai, jarak Butterworth - Kota Bharu sepanjang 1.005 km (lewat Kuala Lumpur - Kuantan) bisa dipersingkat menjadi 375 km saja. Untuk membendung pengaruh komunis, perkebunan karet atau tanaman keras lainnya juga dibuka di beberapa tempat. Dan penduduk yang biasa berlalu-lalang melewati perbatasan dimukimkan. Para belia (remaja) setempat pun mendapat kemudahan menjadi tentara - ikut menjaga kampung halaman dan perbatasan. Penduduk asli - bertubuh kerdil, berambut keriting, dan berkulit hitam - yang lebih suka disebut "orang asli" ketimbang orang Jahai atau Sakai juga dibina dan dimukimkan. Sayang, usaha Malaysia menjaga perbatasan itu kurang mendapat imbangan dari tetangganya, Muangthai. Sekalipun kedua negara itu sudah menjalin kerja sama penjagaan perbatasan sejak lama, pihak Muangthai sudah empat tahun terakhir ini mengurangi kegiatan patroli bersama. Belakangan muncul pula sikap Muangthai yang menganggap CPM sebagai masalah dalam negeri Malaysia. Beberapa kali Letjen Harn Leenanond, 58 tahun, panglima Komando Wilayah IV Muangthai, yang menguasai kawasan selatan, menuduh Malaysia kurang menunjukkan usaha kerja sama di perbatasab. Diduga Muangthai hendak menjadikan Organisasi Pembebasan Pattani (PULO), gerakan kemerdekaan minoritas muslim di Pattani, Muangthai Selatan, sebagai kartu untuk "menekan" Malaysia. Ada kecenderngan mereka menuduh Malaysia membantu gerakan separatis itu. Agaknya Muangthai juga menginginkan Malaysia bersedia bekerja sama menumpas PULO. Seorang pejabat di kantor Perdana Menteri Mahathir heran. "Kami tidak mungkin menumpasnya karena PULO merupakan masalah dalam negeri Muangthai. Selain itu, mereka muslim dan tidak pernah mengganggu kami," katanya. "Kalau mereka tahun lalu, misalnya, ada yang lari ke kawasan Kelantan, itu karena ada famili mereka di sana. Lagi pula kami selalu memulangkan mereka ke Muangthai," katanya lagi. "Kalau kami bersimpati dan membantu PULO, kekuatan mereka tentu bertambah. Dan para pemimpin mereka tak perlu mukim di Timur Tengah," ujarnya lagi. Jumlah anggota PULO kini 600-an. Mungkin karena pernyataannya yang keras, Letjen Harn, awal Oktober, ditarik ke Markas Besar Angkatan Darat Muangthai. Penarikan itu diduga untuk melicinkan jalannya pembicaraan dalam pertemuan GBC akhir bulan ini di Bangkok. Bagaimana kalau PULO tampil dalam agenda perundingan GBC? Kata sumber di Kuala Lumpur, "Kami akan menolaknya karena musuh bersama yang disepakati adalah komunis, tidak termasuk PULO."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus