Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATKALA rasa malu sudah tak tepermanai, Toshikatsu Matsuoka pun memilih jalan kematian. Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang ini ditemukan gantung diri dengan seutas tali di pintu flatnya di Distrik Akasaka, Tokyo, Senin siang pekan lalu.
Matsuoka, 62 tahun, sedianya akan hadir di parlemen pukul 01.40 siang itu untuk menjelaskan soal skandal politik uang yang menyelimutinya. Pagi hari, ia masih mengkonfirmasikan kedatangannya kepada sekretarisnya. Namun, menjelang acara, Pak Menteri sama sekali tak bisa dihubungi via telepon. Sang sekretaris pun datang ke apartemen bosnya yang terkunci rapat. Tak ada respons dari dalam, ia pun masuk bersama polisi dengan kunci cadangan. Pemandangan mengerikan terpampang: Matsuoka tewas—tubuhnya menjuntai di pintu ruang tengah.
Kesulitan hidup apakah yang menyebabkan Matsuoka menutup hidupnya dengan cara tragis? Memang, beberapa bulan terakhir, ia bak duduk di atas bara—dia dituduh terlibat politik uang. Dia dituding menerima uang haram dari kontraktor yang memenangi tender proyek dari Japan Green Resources Agency—lembaga manajemen kehutanan yang berafiliasi dengan kementeriannya. Dua eksekutif Japan Green sudah ditahan, sementara Matsuoka masih melenggang karena menyatakan sudah mengembalikan dana itu.
Dia juga dikejar untuk mempertanggungjawabkan dana 28 juta yen atau sekitar Rp 2 miliar yang dilaporkan sebagai biaya tagihan listrik, air, dan gas di kantor parlemen lokalnya di Kumamoto sejak 2001 hingga 2005. Padahal kantor itu berada di gedung milik pemerintah yang serba gratis. Meski kalangan oposisi mendesaknya mundur, Matsuoka berkeras menyatakan tak melanggar apa pun. ”Saya sudah membuat laporan sesuai dengan hukum,” katanya di hadapan Panitia Anggaran di Majelis Rendah Parlemen.
Perdana Menteri Shinzo Abe pun mati-matian membela orang kepercayaannya. Menurut Abe, menterinya itu sudah membuat laporan keluar-masuk duit. Selama ini, Matsuoka memang disebut-sebut sebagai pengelola dana politik bosnya itu. Tak aneh, kini Abelah yang dianggap ”bertanggung jawab” atas kematian menterinya itu.
Padahal Matsuoka sendiri pernah mengaku luput melaporkan donasi politik sebesar US$ 8.500 atau sekitar Rp 75 juta dari World Business Expert Forum. Kelompok inilah yang berafiliasi dengan konsultan bisnis FAC Co., yang Juni tahun lalu terbukti menggalang uang haram dari investor. Menurut undang-undang politik negara itu, politisi harus melaporkan setiap sumbangan yang melebihi US$ 1.700 (sekitar Rp 15 juta).
Matsuoka sebenarnya orang sederhana. Selama ini, hidupnya tak pernah jauh dari bercocok tanam. Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga petani di daerah pertanian Asomachi—kini menjadi Kota Aso—di kawasan Kumamoto. Matsuoka muda pun memutuskan belajar di Fakultas Pertanian Universitas Tottori. Begitu lulus, ia langsung diterima bekerja di Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Ia kemudian menang dalam pemilihan anggota parlemen lokal Kumamoto pada 1990 dan terpilih lagi lima kali berturut-turut.
Kesetiaannya di bidang tanam-menanam ini akhirnya berbuah jabatan Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan pada September 2006. Anggota Partai Demokratik Liberal ini juga dikenal sebagai orang kepercayaan Perdana Menteri Shinzo Abe. Matsuoka dinilai sukses mengurus perjanjian perdagangan bebas dengan Australia dan impor sapi dari Amerika.
Namanya sempat melejit di media-media internasional tatkala ia meluncurkan rencana sertifikasi bagi restoran Jepang di luar negara itu. Tujuannya adalah menjamin keaslian makanan Jepang. Pers asing ramai-ramai mengkritik rencana ini dan mengejek Matsuoka sebagai ”polisi sushi”. Sistem ini mentah di tengah jalan. Departemen Pertanian pun mencoba menggodok model yang lebih bisa diterima.
Sayang, sang Menteri keburu meninggal. Dalam editorialnya, Kyodo News menyesalkan Matsuoka yang memilih mengakhiri hidup ketimbang menyelesaikan secara baik-baik segala kecurigaan yang melingkupi dirinya.
Tapi Matsuoka memilih jalan ”kesatria” seperti yang ditempuh para jenderal dan panglima perang tatkala Jepang kalah dalam Perang Dunia II: bunuh diri. Negeri Sakura memang lekat dengan tradisi bunuh diri. Tatkala harga diri terkoyak dan kehormatan dipermalukan, mati pun menjadi pilihan terbaik.
Di era modern, tercatat ada empat pejabat yang mencabut nyawanya sendiri. Ichiro Nakagawa, mantan Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Pertanian, mati di Sapporo Hotel karena kekalahannya dalam pemilihan Presiden Partai Liberal Demokratik (LDP). Lalu, Yukio Matsumoto, pengurus Partai Sosialis, tewas di rumahnya di Tokorazawa. Kemudian ada Shokei Arai, aktivis LDP, yang meninggal di sebuah hotel di Tokyo karena tersangkut skandal yang melibatkan Nikko Securities Co. Yang terakhir, Yoki Nagaoka, juga aktivis LDP, mengakhiri hidupnya di rumahnya di Setagaya karena publik mengecam ketidaktegasannya soal privatisasi pos. Mereka semua memilih gantung diri.
Ini berbeda dengan tren para panglima perang Jepang di masa lalu, yang memilih seppuku atau harakiri—bunuh diri dengan cara menikam dan merobek perut menggunakan pedang samurai. Yang tak kalah terkenal adalah para pilot yang melakukan kamikaze dengan menabrakkan pesawatnya sendiri. Tak aneh jika aneka film dan karya sastra menggambarkan Jepang sebagai jisatku-goku—negeri bunuh diri.
Meski terkesan berlebihan, gambaran ini sebenarnya bukan omong kosong. Memang, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan Jepang bukanlah negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi. Negara itu masih ”kalah” dibanding sembilan negara bekas Uni Soviet. Namun Jepang adalah negara paling makmur dalam daftar itu. Artinya, bunuh diri di negara itu tak ada kaitannya dengan urusan perut lapar atau penyakit. Sebaliknya, Jepang adalah salah satu negara paling bagus perekonomiannya. Jepang juga termasuk negara dengan tingkat harapan hidup tertinggi. Ironisnya, justru kesuksesanlah yang membuat mereka mudah menyerah pada hidup.
Berdasarkan data WHO, pada 2005, ada 32.522 orang—dari total 127 juta penduduk—yang bunuh diri. Artinya, kalau dirata-rata, ada 90 kasus per hari atau 1 kasus per 15 menit! Mayoritas pelaku adalah pria berusia di atas 50 tahun. Angka ini bukanlah yang tertinggi. Bunuh diri terbanyak terjadi pada 2003, sejumlah 34.427 orang. Inilah ”rekor” tertinggi sepanjang 100 tahun menurut data statistik Negeri Matahari Terbit itu.
Fakta ini membuktikan bahwa peminat bunuh diri di Jepang tak jua berkurang meskipun zaman kian modern. Memang, metode menghabisi nyawa sendiri sudah berubah—dulu menusuk perut, kini gantung diri—tapi ”semangat”-nya tetap sama: lebih baik mati dengan cara ”terhormat” ketimbang hidup menanggung malu.
Seperti diuraikan Stephen Turnbull dalam bukunya, Samurai: The World of the Warrior, seppuku atau harakiri adalah jalan kematian terhormat yang dipilih seorang samurai ketika ia tahu dirinya dikalahkan atau dipermalukan musuh. Menurut ahli sejarah militer dari Leeds University ini, para kesatria percaya bunuh diri menghapus dosa dan menjaga kehormatan mereka tetap seperti sebelumnya.
Tak aneh jika mereka mempersiapkan jalan maut itu dengan ritual panjang dan sangat pribadi di kamar masing-masing. Mereka membersihkan diri dan mengenakan kimono terbaik, lalu menancapkan sebilah pedang ke perut. Jenderal Akashi Gidayu, yang kalah dalam perang 1582, bahkan meninggalkan sepucuk puisi kematian.
Mungkin inilah yang mengilhami Menteri Matsuoka saat ia menorehkan delapan surat kematian—termasuk untuk istrinya, Hatsumi, dan Perdana Menteri Shinzo Abe. Kepada rakyat Jepang, ia berkhidmat: ”Dengan kematian ini, saya mengambil semua tanggung jawab dan memohon maaf. Tolong kasihani orang-orang yang masih hidup…. Negara Jepang, Banzai!”
Andari Karina Anom (AP, Kyodo News, Yomiuri Shimbun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo