Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Genderang ditabuh bertalu-talu, musik mendayu-dayu, kamera menyorot seorang laki-laki di balik meja. Wajahnya sendu, bersiap untuk menyampaikan laporan bernada suram. Venezuela dalam krisis: ”Inflasi meledak. Ada kelangkaan susu, telur, dan daging yang parah. Tingkat kejahatan melejit dengan korban 100 nyawa setiap pekan. Pemerintah dalam kondisi kacau. Korupsi menguras kekayaan negeri minyak ini.”
Ya, Venezuela negeri yang gelap. Informasi seperti ini ditayangkan tiap hari oleh stasiun televisi paling berpengaruh, Radio Caracas TV (RCTV), ke seluruh negeri. Tayangan itu selalu diakhiri dengan kesimpulan sama: Presiden Hugo Chávez sedang memimpin negeri menuju kehancuran, dan jika ia tak dihentikan, Venezuela akan mengalami gaya kediktatoran Kuba.
Kesabaran Cháves pun berakhir. Pada Ahad, 27 Mei, tengah malam, berakhir pula izin siaran RCTV. Satu pekan sebelumnya, sang Presiden sudah berjanji tak akan memperpanjang izinnya. Dan sejak itu tak ada lagi stasiun yang menyodorkan siaran berita ekstrakritis ini—juga acara favorit pemirsanya yang lain: Who Wants to be a Millionaire.
Malam itu, wajah pembawa acara Nelson Bustamante benar-benar suram. ”Jangan kehilangan harapan. Kami akan menemui Anda segera,” ujar Bustamante. Sementara itu, rekannya, Wilmer Granadillo, yang kebagian giliran tugas terakhir, tak kuasa menahan tangis. ”Menyedihkan, sangat menyedihkan. Ini rumah saya yang kedua,” katanya.
Di luar stasiun televisi yang terletak di tengah Kota Karakas itu, anggota militer berjaga-jaga, atas perintah pengadilan, mengamankan semua instalasi RCTV.
Malam itu, di Karakas, kembang api melesat di dalam. Pendukung Chávez merayakan kemenangan dengan menari-nari di jalan. Sebaliknya, kemarahan telah membakar hati para penentang Chávez. Sekitar 10 ribu pengunjuk rasa, yang terdiri atas wartawan, mahasiswa, dan pendukung partai oposisi, turun ke jalan memprotes keputusan Chávez dan menuduh penutupan itu memotong demokrasi Venezuela untuk menjadi negara sosialis. ”Mari kita bela demokrasi, pertahankan kebebasan, mari kita bela media independen semacam RCTV,” ujar Marcel Garnier, Managing Director RCTV, di depan massa demonstrasi di Karakas.
Demonstrasi berubah jadi rusuh ketika massa melempari polisi dengan batu dan botol, yang dibalas tembakan gas air mata dan peluru karet. Akibatnya, sejumlah demonstran cedera. Menurut Chávez, demonstrasi itu merupakan upaya oposisi kembali menggoyang stabilitas Venezuela untuk menggulingkannya. Salah satu koran terkemuka, El Nacional, mencela tindakan Chávez dan monopoli informasi oleh pemerintah. Lebih jauh lagi, Uskup Kota Merida, Baltasar Porras Cardoso, menyamakan Chávez dengan Hitler, Mussolini, dan Fidel Castro.
Sejumlah pemerintah, termasuk pemerintah Presiden George W. Bush, yang juga getol menyensor pers dengan cara berbeda saat menyerbu Irak, meminta Chávez membatalkan keputusannya. ”Kebebasan berekspresi adalah hak mendasar manusia, elemen dasar demokrasi di mana pun di dunia,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tom Casey.
Menurut Chávez, ada nilai-nilai kapitalis Amerika di balik propaganda demokrasi dan hak asasi oleh RCTV. Dan kini suara itu diteriakkan di jalanan oleh mahasiswa dan wartawan. Cháves justru menggambarkan penutupan RCTV sebagai pelayanan publik karena jaringan siaran itu merupakan kumpulan serangan permanen terhadap moral publik dengan tayangan opera sabun. Tayangan seperti itu, menurut Cháves, akan meracuni negeri dengan kebencian, kekerasan, bahkan seks. Apa kata rakyat Venezuela?
Ada jajak pendapat yang menunjukkan 70 persen responden menolak tindakan Cháves, sementara 16 persen menerimanya. Anehnya, jajak pendapat yang sama memperlihatkan popularitas Chávez yang cukup tinggi; 65 persen, mendekati perolehan suara dalam pemilu Desember lalu. Membingungkan? Yang terang, mayoritas responden menentang bukan karena kehilangan kebebasan berbicara, melainkan karena kehilangan tayangan opera sabun kesukaan mereka. Rakyat Venezuela tak terlalu terusik oleh urusan politik dengan pembreidelan RCTV itu.
Tapi dosa paling besar RCTV di mata Chávez adalah dukungan RCTV dalam kudeta yang gagal pada 2002 oleh kelompok pengusaha dan sejumlah pemimpin tentara. Saat itu, empat stasiun televisi swasta, termasuk RCTV, yang mendukung oposisi justru menayangkan film kartun ketika massa pendukung Chávez menguasai Ibu Kota Karakas sebagai aksi balasan terhadap massa oposisi. Ketika kudeta gagal, dan rakyat Venezuela mempertanyakan pengunduran diri Chávez, RCTV melarang korespondennya mengudarakan perkembangan pertarungan politik itu. Sejak itu, Chávez memendam kesumat terhadap televisi swasta.
Ia memberikan cap kepada empat saluran televisi itu sebagai saluran fasis, tapi tetap mengizinkan mereka beroperasi. Media bebas menyiarkan berita dan pendapat tanpa campur tangan pemerintah. Tapi, ketika berita yang dilansir menjadi seragam—membesarkan berita-berita kriminal dan kesengsaraan ekonomi serta mengecilkan bukti kemajuan program sosial Chávez—Presiden pun mengakhirinya. ”Sudah selesai. Izin tak akan diperbarui,” kata Chávez.
Menurut Arturo Sarmiento, pemimpin TeleCaribe, saluran televisi regional, RCTV tak punya hak mengobarkan jargon kebebasan berbicara. Pasalnya, stasiun TV ini pernah melanggar prinsip kebebasan berbicara dengan menolak menayangkan berita aksi pendukung Chávez menghadapi kudeta itu. ”Mereka gerombolan hipokrit,” kata Sarmiento. Bahkan, kata Tariq Ali, aktivis politik Inggris, keputusan Chávez tak memperpanjang izin RCTV adalah tindakan legal. ”Saluran ini (RCTV) secara terbuka mengimbau untuk menyingkirkan pemerintah yang secara demokratis dipilih,” ujar Ali.
Ia membandingkannya dengan kasus Thames Television yang kehilangan hak penyiaran setelah menayangkan film dokumenter Death on the Rock buatan 1988 tentang pembunuhan tiga anggota separatis IRA. Penayangan film ini membuat berang pemerintah Perdana Menteri Margaret Thatcher kala itu. ”Ini (keputusan) kontroversial, tapi keputusan legal,” kata Ali. Dalam kasus RCTV, media ini gagal memenuhi basis standar kepentingan publik. Kriteria semacam ini juga sama dengan yang diterapkan Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat.
Sekitar 80 persen televisi dan radio Venezuela merupakan milik kelompok perusahaan, tidak termasuk sejumlah saluran televisi kabel dan jaringan televisi satelit. Pemilik RCTV adalah pengusaha kaya yang melibatkan medianya dalam politik. ”Televisi terbaik sekalipun cenderung secara ideologis terbuka, sehingga pandangan pemiliknya dapat merembes ke pemberitaan,” tulis koran New York Times.
Moirah Sanchez, pengacara RCTV, mengakui kesalahan pemilik RCTV saat kudeta 2002. Tapi, katanya, kesalahan itu tak membenarkan pembreidelan RCTV. ”Dengan hilangnya RCTV, pemerintah akan mencapai tujuannya menguasai informasi,” katanya. Dari empat televisi yang menentang Chávez saat kudeta, hanya tinggal televisi Globovision yang melanjutkan serangan terhadap pemerintah—tapi stasiun ini hanya mampu meraih 10 persen pemirsa. Sedangkan dua lainnya telah menetralkan pemberitaan mereka. ”Setiap stasiun radio dan televisi merasa terancam dan terintimidasi dengan kenyataan RCTV dibreidel,” ujar Sanchez.
Hal inilah yang meresahkan Marisol Torres, 55 tahun. Pendukung Chávez yang tinggal di kawasan kumuh Karakas ini kehilangan tayangan semacam La Rochella, yang merupakan jiplakan Candid Camera, dan Who Wants to be a Millionaire, yang mampu membuat dia melupakan kemiskinannya. ”Itu acara yang paling bagus. Sekarang acara apa yang akan saya tonton?” katanya.
Dalam hitungan detik setelah RCTV tutup warung, pertanyaan Torres dijawab sang Presiden dengan mengudaranya siaran televisi pemerintah, TVES, di saluran yang sama. Lagu kebangsaan Venezuela berkumandang lewat iringan orkestra yang dipimpin Gustavo Dudamel, 26 tahun, yang pernah ditunjuk sebagai pengarah musik pada Los Angeles Philharmonic. Lalu muncul tayangan musik tradisional, yang diselingi pesan pemerintah, dan diikuti tayangan film tentang Simon Bolivar, pahlawan pembebasan Amerika Latin dari Spanyol pada abad ke-19. Simon Bolivar juga merupakan pahlawan pujaan Presiden Hugo Chávez.
Raihul Fadjri (Guardian, AFP, Reuters, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo