Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darah mengucur dari dada perempuan usia 30-an tahun di ruang operasi lantai 15 Rumah Sakit Umum Militer Shenyang, Provinsi Liaoning, timur laut Republik Rakyat Cina. Dokter bedah militer tua rumah sakit tersebut, bersama seorang muda lulusan Second Military Medical University, membelah dada si perempuan tanpa lebih dulu memberi obat bius. Wanita yang sebelumnya sudah diperkosa beramai-ramai itu hanya bisa berteriak-teriak, "Falun Dafa itu baik! Kalian hanya membunuh saya, satu orang."
Setelah teriakan panjang, tubuh ibu satu anak ini berkedut sebentar, lalu sunyi. Itulah saat dokter memotong pembuluh jantungnya, mengeluarkan jantung, selanjutnya ginjal. Ia tewas dengan mata dan mulut terbuka. Pada 2009, polisi Liaoning yang berjaga di ruang operasi menceritakan kejadian pada April 2002 itu kepada penyelidik dari Organisasi Dunia untuk Investigasi Penyiksaan terhadap Falun Gong (WOIPFG). "Saya terkesima. Tangan mereka (dokter) tidak gemetar sama sekali. Kalau saya jadi mereka, pasti gemetar, meski saya polisi yang melakukan manuver senjata dan melihat banyak mayat," kata pria yang tidak mau namanya diungkap itu, seperti ditulis dalam Laporan Kasus WOIPFG: Saksi Mata Pembunuhan Selama Panen Organ Hidup Praktisi Falun Gong, 12 Desember 2009.
Kisah itu hanya satu contoh cara pemerintah Cina mengambil organ manusia. Laporan investigasi lain oleh pengacara hak asasi manusia David Matas dan mantan politikus Kanada, David Kilgour pada 2006 mengutip kisah sejenis. Istri seorang dokter menceritakan pekerjaan suaminya: mengambil kornea mata sekitar 2.000 tahanan Falun Dafa setelah pembiusan. Kemudian mayat mereka dibakar. Si dokter beroperasi di bagian tenggara Cina selama dua tahun sebelum Oktober 2003. Ketika menyatakan ingin berhenti dari pekerjaannya, kata sang istri, dokter ini mendapat ancaman pembunuhan.
Matas dan Kilgour mengatakan sejumlah anggota keluarga praktisi Falun Dafa yang meninggal di tahanan melihat jenazah orang yang mereka cintai dengan irisan-irisan bekas pembedahan dan beberapa bagian tubuh hilang. "Pihak berwenang tidak memberi penjelasan tentang jenazah yang dimutilasi," mereka menulis dalam Laporan Dugaan Pengambilan Organ Praktisi Falun Gong di Cina, 6 Juli 2006. Pihak penjara juga tidak melampirkan catatan bahwa mayat telah dimutilasi dalam laporan kepada pihak keluarga.
Pengambilan organ dari pesakitan di Cina sudah menjadi praktek biasa. Komite Donasi dan Transplantasi Organ Manusia Cina pada 2011 merilis angka 65 persen transplantasi di sana menggunakan organ dari donor pesakitan. Sebesar 90 persen dari mereka narapidana. Adapun organisasi hak narapidana berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, Dui Hua, juga mencatat jumlah eksekusi mati Cina per tahun lebih banyak dari akumulasi eksekusi mati di dunia. Jika diambil rata-rata, sejak 2002 hingga 2013, tiap tahun Cina mengeksekusi 4.000 tahanan. Tahun lalu saja Cina mengeksekusi 2.400 pesakitan. Lembaga tersebut memperkirakan jumlah yang tak jauh beda dieksekusi tahun ini.
Kembali mengacu pada laporan Matas dan Kilgour, pemerintah secara spesifik mengincar tahanan praktisi Falun Gong atau kemudian dikenal sebagai Falun Dafa, kelompok spiritual antipolitik yang diperkenalkan Li Hongzhi di timur laut Cina pada 1992. Gerakan yang dianggap mengisi kekosongan spiritual pasca-Mao Zedong ini telah menyebar ke 100 negara.
Mantan Kepala Partai Komunis Cina Jiang Zemin mulai membantai Falun Dafa pada 1999 secara fisik dan finansial. Hingga April 2001 saja, tercatat 830 ribu praktisi Falun Dafa ditangkap. Berdasarkan sensus, jumlah praktisi Falun Dafa mencapai 70-100 juta orang, lebih banyak daripada pengikut Partai Komunis Cina.
Sebagai legalisasi pengambilan organ pesakitan, pemerintah Cina mengeluarkan peraturan pada 1984 bahwa organ tubuh terpidana mati bisa digunakan untuk kebutuhan medis, yaitu transplantasi, jika tidak ada yang mengambil jenazah, atau si napi dan keluarganya setuju menjadi donor. Namun, menurut hasil investigasi aktivis hak asasi di Cina dan di luar negeri, organ mereka diambil paksa.
Praktek panen organ napi menuai kritik dari dunia internasional. Parlemen Eropa dalam Resolusi 2013 meminta Partai Komunis Cina, "Mengakhiri panen organ milik pesakitan serta kelompok religius dan etnis minoritas." Selain sebagian besar penganut Falun Dafa, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, korban penyiksaan di Cina adalah suku Uyghur, pekerja seks, kaum Tibet, pembela hak asasi, musuh politik, dan orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Dewan Komite Hubungan Luar Negeri Amerika menyatakan hal senada pada Desember tahun lalu.
Sekarang pemerintah Cina berjanji berhenti menggunakan terpidana mati sebagai sumber donor organ untuk transplantasi. Menurut Ketua Komite Donor Cina Huang Jiefu, janji tersebut akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2015. New York Times menyebutkan ini tenggat paling tegas yang pernah diberikan pemerintah Cina. "Satu-satunya sumber organ transplantasi adalah dari publik," ujar Huang, seperti dikutip situs China Daily, 5 Desember 2014. Huang mengingatkan narapidana juga diperbolehkan mendonor jika memang bersedia. Tapi organ mereka akan didaftarkan dalam sistem yang terkomputerisasi dan tidak diperjualbelikan secara pribadi.
Ini berarti paling tidak telah tiga kali pemerintah Cina membuat janji. Hal serupa pernah dinyatakan pada 2007, ketika mereka mengeluarkan aturan donor organ sukarela. Pernyataan yang sama dilontarkan lagi pada 2012, ditambah janji memperbaiki sistem pendonoran dalam jangka lima tahun. Huang, yang saat itu menjabat Wakil Menteri Kesehatan, juga menyatakan organ napi rawan terinfeksi bakteri dan jamur. Tapi, kenyataannya, pemerintah kesulitan menggaet donor sukarela.
Kini, kepada Beijing Times, Huang mengakui penggunaan organ tahanan akibat tingkat ketersediaan donor organ di Cina rendah, bahkan sangat jauh dari kebutuhan. Setiap tahun terdapat 300 ribu pasien yang memerlukan transplantasi. Dari jumlah tersebut, hanya 9.000 yang mendapat donor. Rasio donor di Cina memang bagai setitik air di laut, yaitu 0,6 per sejuta. Bandingkan dengan Spanyol, yang rasio donornya 37 per sejuta. Adapun di Amerika Serikat bisa terdapat 29 ribu dari kebutuhan 121 ribu pasien.
Huang menyebutkan dua faktor penyebab kondisi ini. Pertama, ada kepercayaan rakyat Cina bahwa tubuh orang yang meninggal harus tetap utuh sebelum dikubur atau dikremasi. Alasan kedua, masyarakat Negeri Panda takut organnya dibawa ke pasar gelap. "Orang khawatir organ donor tidak disalurkan dengan wajar, adil, dan transparan," kata dokter bedah tersebut.
Huang optimistis rencana ini akan terlaksana. Ia menyatakan sekarang sudah ada 38 pusat transplantasi yang menghentikan penggunaan organ dari narapidana. Tahun ini juga sudah ada 1.500 donor. Baginya, jumlah tersebut lebih menggembirakan dibanding ketika pemerintah Cina mulai membuat skema donor sukarela empat tahun lalu. Sejak 2010 hingga 2013, hanya 1.448 orang yang mau mendonorkan organnya. "Saya yakin masalah sumbangan organ akan lebih baik di masa depan," ujarnya.
Bagaimanapun, Phelim Kine, Wakil Direktur Asia Division, lembaga pengamat hak asasi, skeptis pemerintah Cina bisa mengakhiri ketergantungan terhadap organ napi. Mengingat kejamnya penjara Cina dan banyaknya hukuman mati, "Hampir mustahil," kata Kine kepada CNN, 5 Desember lalu. Menurut dia, rakyat Cina juga tidak akan yakin mendonorkan organ karena contoh kasus perdagangan ilegal. Pada November lalu, misalnya, pejabat lokal di bagian selatan negeri itu tertangkap melakukan jual-beli jenazah. Awal tahun ini pun 12 anggota geng dibekuk karena merekrut donor online dan menyelundupkan ginjal donor dalam pengapalan makanan laut.
Atmi Pertiwi (China Daily, Al-Jazeera, BBC, CNN, New York Times, Uphold Justice, Dui Hua, NPR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo