Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRIGADIR Polisi Rudi Soik terkesiap ketika dua provos tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya. Malam itu, Rabu, 19 November lalu, ia sedang berkemas, bersiap pulang setelah seharian bekerja. Kedua provos itu membawa kabar buruk. Mereka datang untuk menahan Rudi.
Rudi, 31 tahun, tak langsung menyerah. Dia mempertanyakan dasar penahanan. Mereka langsung menjawab dengan menunjukkan dua surat berisi perintah penangkapan dan penahanan. "Ini rekayasa. Saya dikhianati," kata Rudi, seperti ditirukan pengacaranya, Ferdi Tahu, kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Malam itu juga Rudi digelandang ke Rumah Tahanan Kelas II B Kupang. Di mobil tahanan, lelaki kelahiran Kupang itu memang tak diborgol. Tapi dua provos dan selusinan polisi mengawal Rudi hingga ia masuk rumah tahanan.
Nama Brigadir Rudi Soik mendadak "tenar" setelah berseteru secara terbuka dengan atasannya, Direktur Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur Ajun Komisaris Besar Muhamad Slamet. Perseteruan itu bermula ketika Rudi dan kawan-kawan menyelidiki kasus dugaan perdagangan manusia (trafficking) di NTT.
Pada Januari lalu, Rudi dan kawan-kawan menggerebek tempat penampungan calon tenaga kerja milik PT Malindo Mitra Perkasa di Kelurahan Maulafa, Kota Kupang. Di sana, ia menemukan 52 perempuan yang akan dikirim ke luar negeri. Mereka kebanyakan tak memiliki dokumen. Sebanyak 26 perempuan di antaranya, menurut Rudi, bahkan masih di bawah umur. Namun, di kartu tanda penduduk, umur mereka dipalsukan.
Para calon tenaga kerja Indonesia itu diboyong ke markas Polda NTT. Target Rudi kemudian mencari otak rencana "penyelundupan" manusia itu. Dugaan Rudi dan kawan-kawan mengarah kepada pengurus PT Malindo.
Semula, Muhamad Slamet meminta Rudi menitipkan puluhan calon buruh migran itu ke dinas tenaga kerja dan transmigrasi. Belakangan, ia meminta Rudi memulangkan mereka ke PT Malindo. Tak hanya itu, Slamet meminta Rudi menghentikan penyelidikan. Belakangan, Rudi dipindahkan ke Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan.
Kepada Tempo, Slamet membenarkan kabar bahwa dia memang meminta pengusutan kasus itu dihentikan. Alasannya, dari 52 calon tenaga kerja yang ditampung Malindo, hanya 16 orang yang tak memiliki dokumen lengkap. Berbeda dengan temuan Rudi, menurut Slamet, tak ada satu pun calon buruh migran yang masih di bawah umur. "Tindak pidananya belum terjadi. Apa yang mau diproses?" ujar Slamet.
Sebaliknya, Rudi yakin "ada sesuatu" di balik perintah penghentian penyelidikan itu. Pada Juli lalu, ia pun berangkat ke Jakarta. Rudi melaporkan Slamet ke Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI. Dia juga melaporkan dugaan keterlibatan aparat dalam kasus dugaan perdagangan orang itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ombudsman Republik Indonesia. Merasa terancam, Rudi pun meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Berangkat dengan bekal sekadarnya, selama tiga pekan di Jakarta, Rudi menumpang tidur di beberapa tempat, antara lain di asrama mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur. Sewaktu bolak-balik melapor ke sejumlah lembaga, ia diantar beberapa mahasiswa.
Tak lama setelah Rudi melapor, pemimpin Polda NTT berganti. Brigadir Jenderal Untung Yoga Ana digantikan Brigadir Jenderal Endang Sunjaya. Rudi dipanggil bertugas kembali di Polda NTT. Dia ditempatkan di Satuan Tugas Trafficking bentukan Kepala Polda baru.
Kala itu, Rudi sempat mengira urusan dia dengan atasannya sudah selesai. Namun perkiraan itu meleset. Pada awal November, Rudi malah dijadikan tersangka. Dia dituduh menganiaya Ismail Pati Sanga, 30 tahun.
Ditemui Tempo beberapa hari sebelum ditahan, Rudi membantah menganiaya Ismail alias Opu. Dia mengisahkan kejadian pada 29 Oktober lalu. Waktu itu Rudi bersama empat penyidik berusaha mendalami dugaan trafficking dengan tersangka Tedy Moa, salah satu pengurus PT Malindo.
Setelah memeriksa beberapa saksi, Rudi sampai pada saksi Ismail. Lelaki asal Adonara, Flores Timur, itu bekerja sebagai "penjaring" calon tenaga kerja untuk beberapa agen di Kupang dan Flores. Rudi juga mendapat info bahwa Opu bekerja sama dengan Toni Seran, tersangka pemalsuan dokumen calon tenaga kerja yang masih buron.
Ketika diinterogasi Rudi dan kawan-kawan, Ismail mengaku tak tahu di mana Toni berada. Dia juga menyangkal pernah bertemu dengan Toni. Ismail beralibi, ketika dia disebut bertemu dengan Toni seperti pengakuan seorang saksi, ia tengah menginap di rumah keluarganya di kompleks perumahan wali kota.
Tak langsung percaya pada pengakuan itu, Rudi membawa Ismail ke rumah keluarganya tersebut. Ternyata keluarga menyatakan Ismail sudah dua bulan tak tidur di rumah itu. "Saya minta dia tidak menipu lagi. Jujur saja," kata Rudi.
Setelah didesak, Ismail akhirnya mengajak Rudi bertemu dengan Marking, salah seorang teman Toni. Namun, ketika diminta menunjukkan rumah Marking, Ismail membawa Rudi ke kawasan Bimoku. Sewaktu turun dari kendaraan, Ismail tak langsung menunjukkan rumah Marking. Dia malah menunjukkan gelagat mencurigakan. "Saya tendang kaki kiri dan kanan dia sampai menekuk," ujar Rudi.
Belakangan, setelah Rudi ditahan, tuduhan terhadap dia bertambah. Kepala Satuan Tugas Trafficking Polda NTT Komisaris Cecep Ibrahim menuduh Rudi menerima suap dari beberapa perusahaan agen tenaga kerja di Kupang. "Ada aliran dana ke rekening Rudi," kata Cecep tanpa merinci nama agen dan jumlah uangnya.
Cecep juga menuduh Rudi terlibat jaringan trafficking. Menurut dia, selama ini Rudi sering mengirim calon tenaga kerja ke perusahaan agen tenaga kerja pesaing PT Malindo. "Siapa pun yang terlibat trafficking akan kami kejar, termasuk Rudi Soik," ucap Cecep.
Ferdi Tahu menyebutkan tuduhan polisi atas kliennya itu fitnah belaka. "Itu untuk menjatuhkan Rudi." Perihal tuduhan suap, kata Ferdi, jelas susah diterima karena keseharian Rudi jauh dari kesan seorang polisi berekening tambun.
Teman-teman Rudi sesama polisi juga tak yakin Rudi "bermain" dengan jaringan perdagangan manusia. Apalagi, selama ini, ia bisa disebut belum banyak menangani kasus trafficking. "Baru satu kasus yang dia tangani, eh, langsung jadi persoalan," ujar seorang polisi yang tak mau disebut namanya.
Pekan lalu, Tempo mengunjungi rumah Rudi di Labat, Kelurahan Bakunase Dua, Kota Kupang. Rumahnya jauh dari kesan mewah. Tak berpagar, rumah itu dibangun di lahan seluas sekitar 100 meter persegi.
Di rumah itu, Rudi tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Anak pertamanya baru masuk taman kanak-kanak. Adapun anak kedua masih berusia sembilan bulan.
Menurut seorang tetangganya, Rudi hanya memiliki sebuah sepeda motor yang biasa dia pakai ke kantor. Sesekali saja ia memakai mobil milik Ajun Komisaris Besar Ida Pello, mertuanya yang pernah menjabat Kepala Bagian Humas Polda NTT.
Ayah kandung Rudi, Filmon Soik, bercerita perihal anaknya yang dia sebut memang tidak macam-macam itu. Setelah lulus sekolah dasar, Rudi melanjutkan ke sekolah menengah di Wonosobo, Jawa Tengah. Di Jawa, ia bersekolah sambil bekerja, antara lain menjadi kenek dan sopir angkutan kota.
Sewaktu Rudi lulus pendidikan kepolisian pada 2003, keluarganya berniat menggelar acara syukuran. Namun ia menolak rencana itu. "Dia meminta uangnya diserahkan ke gereja," ujar Filmon. Filmon yakin anaknya tak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan itu.
Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo