Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjongkok di lantai dalam posisi membungkuk, Kenneth Bigley tampak habis badan karena siksa penjara. Tubuhnya kurus kering. Wajahnya terus-menerus memancarkan aura ketakutan. Kaki dan tangannya diikat oleh rantai besi. Dan seragam oranye yang melekat di tubuhnya mengingatkan kita pada para penghuni bui di Teluk Guantanamo. Dalam tayangan klip video yang disiarkan televisi Al-Jazeera pada 22 September lalu, Bigley meratap dengan berurai air mata: "Tolonglah, Pak Blair. Jangan tinggalkan saya di sini."
Ini siaran kedua di televisi itu tentang Kenneth Bigley, 62 tahun, setelah satu kelompok militan Irak mencokok kontraktor Inggris itu pada 16 September lalu di Bagdad. Dua rekannya yang ikut diciduk oleh para penculik sudah tewas dibunuh. Sedangkan Bigley—dia warga negara Inggris pertama yang diculik—masih dibiarkan bernyawa. Pelakunya diduga kelompok radikal Tawhid wal Jihad yang dipimpin Abu Musab al-Zar-qawi.
Sepak terjang Zarqawi telah membikin pemerintah Tony Blair—harap diingat, Inggris adalah sekutu utama Amerika Serikat dalam Perang Irak—terpukul telak-telak dengan penculikan ini. Harus diakui, penculikan orang asing kini tengah menjadi "trend" selama beberapa bulan terakhir di Irak. Ada yang dibunuh, ada yang beruntung dilepaskan (XXX lihat tulisan tentang pembebasan sandera wanita asal Italia—Red.XXX) ada yang masih terus ditahan di tangan penculik. Misalnya, dua wartawan Prancis yang diculik sekitar empat pekan lalu. Kamis pekan lalu, Indonesia juga ikut kena musibah. Dua wanita pekerja asal Indonesia dibekuk para penculik di Irak (lihat Tanpa Alasan, tanpa Tebusan).
Akan halnya Kenneth Bigley, penculikannya bukan sekadar membuat ibunya yang sudah renta atau saudaranya, Paul Bigley, meratap tak berkeputusan. Perdana Menteri Inggris Tony Blair juga megap-megap gara-gara urusan Bigley. Dalam konferensi tahunan Partai Buruh pada Selasa pekan lalu, misalnya, kian banyak anggota partai itu yang menentang kebijakan Perang Irak.
Maka Blair pun berupaya menenangkan keluarga Bigley—dia berjanji akan melakukan apa saja untuk membebaskan Bigley. Blair memang tak ingin Perang Irak yang disponsori Inggris menggembosi Partai Buruh (ini partai pendukung Blair), yang merupakan mayoritas di parlemen saat ini. Tapi Blair mengaku tak bisa berharap hingga ia tahu persis keinginan penculik. "Kami akan melakukan segala cara. Tapi mereka (penculik) tak menghubungi kami. Dan mustahil kami menghubungi mereka," ujarnya.
Bagi keluarga Bigley, pernyataan Blair itu jelas hanya pemanis bibir. Mereka yakin, meski penculik menghubungi pemerintah Inggris, Blair ogah berunding dengan penculik; sejak semula sang Perdana Menteri memang sudah menyatakan menutup pintu perundingan dengan penculik. Tak mengherankan bila Paul Bigley, saudara Ken Bigley, menuduh Blair tak cukup berusaha: "Jika Ken sampai dibunuh, tangan Tony Blairlah yang berlumuran darah," ujar Paul Bigley.
Wakil Perdana Menteri John Prescott tampil membela bosnya. "Tony Blair sampai kesetanan bekerja demi (membebaskan) Bigley," katanya. Apa daya, simpati rakyat Inggris terhadap Bigley membikin popularitas Blair dan Partai Buruh kian melorot. Jajak pendapat menunjukkan Partai Buruh akan kehilangan 24 kursi di parlemen pada pemilu tahun depan karena akan ditinggalkan sekitar tiga juta pemilih. Toh harapan belum putus. Jajak pendapat koran The Times masih mengukuhkan 64 persen dukungan suara bagi Blair ketimbang lawannya dari Partai Konservatif, Michael Howard.
Tak mengherankan bila Blair cukup percaya diri untuk menyiapkan pengumuman "perang kedua di Irak", yakni menghabisi kelompok militan Irak yang disebutnya sebagai teroris. Tapi rencana ditolak oleh anggota parlemen Partai Buruh yang menentang Perang Irak, Robin Cook. Bekas anak buah Blair ini meminta agar Inggris tak lagi menggunakan serangan militer berdasarkan informasi intelijen yang terbukti keliru. "Rakyat yang menentang perang tak akan memilih Tony Blair bila ia melakukannya lagi," kata Cook.
Alih-alih menuruti imbauan Cook, Blair malah menantang pendukungnya untuk bersama-sama dengan dirinya menghadapi teroris di Irak yang kini siap memancung leher Bigley. Dan Blair memang tidak sendirian. Calon pengganti dia, Gordon Brown, misalnya, berkata begini: "Saya kira Tony Blair membutuhkan dukungan kita tentang Irak pada masa sulit ini."
Melalui konferensi pada pekan lalu itu, Blair berharap Partai Buruh dapat memulihkan perpecahan internal yang cantik soal Irak dan kembali fokus menghadapi pemilihan umum dengan menggarap isu kebijakan domestik, semacam sekolah dan rumah sakit. Untuk itu Blair meminta anggota partainya bersatu dan tak perlu bertikai karena soal Irak—kendati dua tentara Inggris tewas di Basra dan seorang sandera terancam dipancung.
Tak mengherankan bila Kenneth Bigley dalam keputusasaannya merasa tak lebih dari sekadar angka kecil dalam kalkulasi korban perang Tony Blair di Irak. Kelompok muslim Inggris telah terbang ke Irak untuk menegosiasikan pembebasan Bigley (lihat Tony Blair dan Islamofobia). Toh hal itu tak cukup mengembalikan kepercayaan Bigley pada Blair. Sandera yang malang itu hanya bisa berkata, "Nyawa saya murah. Dia (Blair) tak peduli pada saya."
Raihul Fadjri (The Independent, Sky News, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo