Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Presiden Baru dan Migas

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurtubi
  • Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), saat ini bekerja di Pertamina (tulisan ini merupakan pendapat pribadi)

    Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) jika terpilih akan menghadapi masalah besar di bidang minyak dan gas bumi. Pelaku usaha migas, seperti dinyatakan oleh Indonesian Petroleum Association (IPA), menyebut sektor energi Indonesia saat ini berada dalam keadaan krisis. Sementara itu, Indonesian Gas Association (IGA) menyatakan industri gas nasional saat ini terburuk dalam 30 tahun dan terpaksa harus merangkak seperti saat baru mulai dikembangkan pada tahun 1960-an (Koran Tempo, 30 September 2004).

    Saat ini para pelaku usaha (investor) di sektor hulu migas dilanda kebingungan dan ketidakpastian usaha karena buruknya perangkat hukum, sistem yang berbelit-belit, serta lemahnya kepemimpinan dan koordinasi antar-departemen. Jadilah saat ini industri migas nasional dalam keadaan kacau-balau dililit oleh inefisiensi kelembagaan karena banyaknya lembaga baru yang diciptakan Undang-Undang Migas No. 22/2001, seperti BP Migas dan BPH Migas, di samping Ditjen Migas dan PT Pertamina. Akibatnya, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas munculnya berbagai masalah yang merugikan negara saat ini.

    Tidaklah mengherankan kalau saat ini citra industri perminyakan Indonesia di kalangan industri perminyakan dunia sangatlah tidak menguntungkan, seperti yang dinyatakan oleh Dr. Fesharaki, konsultan perminyakan internasional, di Asian Wall Street Journal 1 Oktober 2004: "The image of the country in the global industry is that there are too many cooks in the kitchen, and nobody knows who's in charge."

    Secara nyata, krisis (meminjam istilah dari IPA) yang melanda industri migas nasional saat ini antara lain ditandai ketidakmampuan mengerem atau mengurangi laju penurunan produksi minyak mentah (crude oil). Produksi minyak mentah turun dari 1,4 juta barel per hari pada tahun 1998 menjadi 0,98 juta barel pada tahun 2004, sementara anggaran yang dipakai untuk kegiatan produksi malah meningkat.

    Di lain pihak, jumlah investasi untuk kegiatan eksplorasi terus menurun dibarengi dengan penurunan jumlah penanda tangan KPS/blok baru. Walaupun pada tahun 2003 dan 2004 penandatanganan blok baru meningkat, ternyata hingga saat ini tidak ada satu pun yang merealisasi kegiatan eksplorasinya. Penyebabnya, dengan Pasal 31 Undang-Undang Migas, para investor wajib membayar berbagai macam pajak/pungutan semasa eksplorasi, sementara mereka belum punya kepastian untuk menemukan crude oil atau gas. Padahal, selama lebih dari 30 tahun, investor baru membayar pajak/pungutan setelah mereka memproduksi migas yang mereka temukan, sebagaimana juga praktek yang jamak di negara lain.

    Dampak penurunan produksi crude oil tidak hanya mempengaruhi pendapatan negara dari sektor migas yang terus menurun, tapi kini juga telah mengubah status Indonesia, yang tadinya selama lebih dari 30 tahun merupakan negara pengekspor minyak neto, menjadi negara pengimpor minyak neto. Sebab, minyak mentah yang diimpor lebih banyak dari minyak yang diekspor. Betapa tidak, dengan produksi crude oil yang hanya sekitar 1,0 jbph, Indonesia membutuhkan BBM setara dengan crude oil sekitar 1,3 jbph. Selain itu, tidak semua kebutuhan BBM nasional dapat dipenuhi kilang dalam negeri, sehingga sekitar 25 persen dari kebutuhan BBM masih harus diimpor karena kapasitas kilang dalam negeri terbatas.

    Tragisnya, jumlah impor minyak mentah dan BBM terus meningkat justru terjadi pada saat harga minyak dunia terus naik?kini berada di sekitar US$ 40 per barel?guna memenuhi kebutuhan BBM yang terus naik. Peningkatan konsumsi BBM terjadi karena dua faktor sekaligus, yakni karena adanya pertumbuhan ekonomi dan adanya penurunan harga jual (riil) BBM yang sebelumnya memang sudah relatif murah. Penurunan harga BBM secara riil terjadi karena adanya inflasi, mengingat sejak Januari 2003 harga nominal BBM untuk masyarakat tidak berubah.

    Akibatnya, subsidi BBM akan membengkak menjadi sekitar Rp 60 triliun atau lebih dari US$ 6 miliar pada awal pemerintahan SBY-MJK, suatu jumlah yang sangat besar yang sebenarnya bisa dipakai menciptakan lapangan kerja dengan membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, dan jalan raya. Selain itu, harga BBM yang dijual di bawah biaya telah menyebabkan timpangnya struktur konsumsi energi nasional yang sangat bergantung pada minyak. Padahal, cadangan minyak di perut bumi Indonesia relatif sedikit bila dibandingkan dengan cadangan gas dan batu bara.

    Belum lagi kalau dilihat siapa penerima subsidi BBM, yang terasa kurang fair karena penerima subsidi BBM sebagian besar merupakan kelompok masyarakat menengah atas. Masyarakat yang menjadi sasaran subsidi hanya menerima sebagian kecil dari subsidi karena mereka secara relatif menggunakan BBM dalam jumlah yang sangat kecil.

    Untuk itu, diperlukan format dan strategi kebijakan harga BBM yang tepat sebagai bagian dari kebijakan energi nasional dengan mempertimbangkan struktur pasar BBM dalam negeri, daya beli masyarakat, dan kebijakan ekonomi makro (tingkat inflasi, suku bunga, kesempatan kerja).

    Meskipun sasaran kebijakan harga BBM pada akhirnya adalah menerapkan harga yang mengacu pada harga pasar BBM di pasar internasional, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, kenaikan harga BBM tidaklah otomatis langsung menuju "harga pasar", melainkan diperlukan penahapan kenaikan harga yang tidak memberatkan masyarakat.

    Karena saat ini struktur pasar merupakan pasar natural monopoly dengan satu pemain (Pertamina), pada tahap pertama kebijakan harga seyogianya menggunakan prinsip average cost pricing, yakni harga jual sama dengan rata-rata biaya pokok. Pada tahap ini, secara teori, subsidi BBM sudah sama dengan nol. Namun, yang perlu dikoreksi di sini adalah asumsi harga minyak mentah yang dipakai Pertamina dalam menghitung biaya pokok ini seyogianya dengan tingkat harga yang realistis.

    Tidak seperti RAPBN, yang sangat tidak realistis karena mematok harga crude oil pada harga US$ 24 barel. Atau, janganlah seperti rumus harga jual LNG Tangguh ke Cina, yang membatasi harga crude oil pada angka US$ 25 per barel. Padahal realisasi harga minyak mentah Indonesia pada tahun 2004 ini saja akan berkisar US$ 37 per barel. Harga crude oil untuk 10 atau 20 tahun ke depan sudah pasti tidak akan berada di bawah US$ 25 seperti patokan harga jual LNG Tangguh.

    Pada tingkat harga minyak mentah sekitar US$ 37 per barel dan nilai tukar satu dolar sama dengan Rp 9.000, biaya pokok BBM Pertamina sekitar Rp 2.500 per liter. Sehingga, untuk mencapai tingkat harga ini pun perlu dilakukan beberapa kali tahapan. Pada akhir tahap pertama, kalau disepakati, pemain baru sudah mulai bisa masuk ke pasar BBM dalam negeri.

    Tahap kedua menggunakan prinsip marginal cost pricing, tempat harga jual mengacu pada harga BBM di pasar internasional (Singapura), dan struktur pasar BBM dalam negeri sudah mulai berubah, di mana pemain baru mulai masuk. Berapa tepatnya harga jual di SPBU dengan menggunakan prinsip marginal cost pricing ini, kiranya perlu memperhitungkan semua biaya dan margin yang wajar bagi pelaku usaha.

    Yang pasti, tingkat harga pasar bagi bensin yang dijual di SPBU bukanlah sebesar MOPS +5 persen seperti yang selama ini digembar-gemborkan. Sebab, MOPS +5 persen masih belum memperhitungkan biaya dan margin bagi pelaku usaha yang bergerak antara kilang minyak dan SPBU, yang terdiri dari usaha angkutan tanker, angkutan distribusi darat, dan usaha penyimpanan (storage) BBM. Saat ini saja margin para pelaku usaha SPBU adalah 4-5 persen. Sebagai gambaran, pada saat harga minyak mentah sekitar US$ 37 per barel dan satu dolar sama dengan Rp 9.000, rata-rata harga bensin unleaded dengan oktan 97 di SPBU seluruh dunia (tanpa pajak bensin) adalah sekitar Rp 4.200 per liter.

    Kalau ekonomi masyarakat sudah mapan, mungkin setelah 6-10 tahun lagi, barulah pemerintah mulai menerapkan pajak bensin sebagai alat untuk mengendalikan tingkat konsumsi dan alokasi sumber daya, di mana penerimaan dari pajak bensin tersebut dapat dipakai untuk membangun jalan raya, biaya penelitian energi terbarukan, dan biaya penanggulangan kerusakan lingkungan sebagai akibat penggunaan BBM.

    Selain format kebijakan harga BBM yang tepat, juga diperlukan kebijakan ikutan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif setiap kenaikan harga BBM, khususnya menyangkut kenaikan harga, yakni dengan memperlancar distribusi arus barang dari produsen ke pasar/konsumen maupun distribusi antarpulau, misalnya dengan mengambil tindakan tegas bagi segala bentuk pungli di jalan raya/jembatan timbang. Sehingga, dengan demikian, meskipun harga BBM dinaikkan, kenaikan harga barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dapat diminimalkan.

    Sudah saatnya sektor energi dan sumber daya mineral ini bangun kembali guna menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, sehingga tidak mustahil apabila dalam waktu lima tahun ke depan Indonesia akan mengikuti jejak dua negara besar Asia yang sudah lebih dahulu berlari kencang, yakni Cina dan India. Semoga!

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus