Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema Sukma dan Ayu

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Victor Menayang
  • Ketua Komisi Penyiaran Indonesia

    PALING kurang ada dua definisi infotainment yang biasa digunakan. Pertama adalah penyampaian information dalam bentuk entertainment. Jadi, semacam pencampuran antara cara kerja jurnalistik dan hiburan, agar berita dapat lebih enak dicerna dan tidak membosankan. Satu lagi adalah information mengenai industri entertainment, atau yang biasa juga dikenal sebagai "celebrity gossips". Dalam kelompok kedua ini, informasi seakan identik dengan berita-berita tentang selebriti yang cerai, selingkuh, bertengkar, atau meninggal.

    Saya sedang berada di ruang tunggu perawatan intensif sebuah rumah sakit ketika beberapa orang sekonyong bergegas mencari saluran televisi tertentu. "Sukma Ayu meninggal!" seru satu di antara mereka. Saya sendiri sebetulnya tidak terlalu terkejut. Dari pagi saya memang sudah menerima beberapa SMS tentang kisah duka artis berbakat itu. Sebagian menulis dengan rasa marah karena merasa tayangan itu tidak sensitif. Malah ada SMS yang berbunyi: "?Gila, masak tayangan kepulangan artis yang koma dari rumah sakit itu seperti disponsori oleh sebuah stasiun TV, hanya demi hak eksklusifnya!"

    Di luar tuduhan "sponsor" itu, saya juga sempat melihat betapa kru infotainment berbulan-bulan seperti menjadikan rumah sakit tempat aktris muda ini dirawat semacam beat, tempat wartawan ngepos menunggu berita. Dalam dunia ilmu komunikasi, akibat laporan semacam itu memang bisa bermacam-macam. Artis cantik yang terbaring tak berdaya itu serta-merta menjadi bagian dari kehidupan banyak keluarga di Indonesia. Karenanya, sama seperti pada kedukaan lain yang diekspos media, bermacam bentuk dukungan diberikan oleh masyarakat kepada keluarga yang dirundung malang ini. Bisa jadi, dalam konteks begitu, keluarga berterima kasih juga atas ekspos media yang telah mengurangi beban yang harus ditanggung.

    Tapi, pada saat yang sama orang bisa merasa bahwa media juga melakukan intrusi terhadap masalah pribadi. Keluarga yang sedang dirundung malang tidak kuasa menghalau pekerja infotainment yang punya seribu satu cara untuk mendapatkan informasi dan gambar yang dibutuhkannya. Ini memang karakteristik pekerjaan paparazzi, yang akan terus merangsek maju demi rekaman yang dapat dijual. Padahal, dalam kasus berita dukacita, masyarakat mana pun umumnya memperlakukan mereka yang wafat dengan hati-hati demi menjaga dignity mendiang dan keluarga.

    Pada puncaknya, kejadian tayangan langsung dari saat-saat terakhir kepergian Sukma Ayu jelas sepenuhnya tanggung jawab stasiun yang bersangkutan. Ini bukan lagi masalah bagaimana sebuah stasiun memberlakukan filter untuk memilih program yang dipasok dari rumah produksi, melainkan persoalan antara privacy dan decency, sekaligus persoalan antara si public figure dan publik yang lebih luas.

    Bagi seorang selebriti pun ada hal-hal dalam kehidupannya yang hanya akan dibagikannya kepada keluarga, teman dekat, dan orang-orang yang dikenal. Bagi masyarakat luas, kejadian tertentu bisa dianggap tidak layak diberitakan oleh media walaupun, misalnya, yang bersangkutan sendiri tidak terganggu. Jadi, tidak selamanya seluruh pemunculan wajah ayu tokoh populer diterima begitu saja, baik oleh mereka sendiri maupun oleh masyarakat. Si figur publik maupun masyarakat juga memiliki "sukma", suatu perasaan yang muncul dari dalam, yang menerobos keluar untuk memberikan batas-batas antara privacy dan decency tersebut.

    Dengan demikian, begitu sebuah kasus yang menyangkut selebriti muncul di media, khususnya di televisi yang harusnya melayani keseluruhan publik, maka relasi yang ada bukan hanya antara kru media dan sumbernya. Masalahnya tidak sekadar mendapatkan izin dari keluarga yang tertimpa kemalangan, tetapi juga menyangkut penimbangan rasa-rasa kelayakan dan kepantasan yang hidup di masyarakat. Singkatnya, seberapa jauh masyarakat masih memiliki "sukma" atau menilik kepantasan tayangan, seperti seorang artis dijemput maut.

    Pertarungan antara suara "sukma" dan sekadar mengekspos semua yang ayu (apa pun keadaannya, menyenangkan atau mengenaskan) sebenarnya sekadar mengingatkan bahwa sudah menjadi hukum di mana pun, televisi tidak bisa melihat fungsinya semata untuk mencari keuntungan atau mengembalikan investasi besar yang sudah ditanamkan. Media ini harus terlibat dalam usaha mengembalikan dignity pada bangsa yang saya khawatir sudah tercengkeram letargi, yakni perasaan pasif dan menerima apa saja yang diberikan TV. Selain makin tidak sensitif secara sosial, lama-lama bangsa yang demikian juga seperti kehilangan sukmanya.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus