Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penundaan pemberian suntikan booster vaksin Covid-19 yang dilakukan Pemerintah Jepang dikhawatirkan meningkatkan kasus harian dan kematian akibat penyebaran varian Omicron.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah ini bisa menjadi politis bagi Perdana Menteri Fumio Kishida karena hampir 30 persen populasi berusia 65 tahun ke atas, sehingga berisiko lebih besar terkena virus corona tanpa perlindungan vaksin booster.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendahulu Kishida mengundurkan diri setelah kritik luas atas penanganannya terhadap pandemi dan partai penguasa perdana menteri menghadapi ujian penting dengan digelarnya pemilihan majelis tinggi tahun ini.
Pada Selasa, 15 Februari 2022, ada 236 kematian di Jepang dan merupakan angka Covid terburuk di negeri itu.
Jepang relatif lambat meluncurkan kampanye vaksinasi namun kemudian mempercepatnya sehingga pada November 2021 memiliki tingkat vaksinasi tertinggi di negara-negara kaya Kelompok Tujuh.
Kementerian Kesehatan Jepang tetap pada protokol untuk menunggu delapan bulan antara vaksinasi pertama dan booster, meskipun banyak negara memotong waktu tunggu dan pemerintah daerah, termasuk Tokyo, mendesak peluncuran yang lebih cepat.
Penantian minimum akhirnya dipersingkat menjadi enam bulan - masih lebih lama dari tiga bulan di Korea Selatan dan lima bulan di Singapura. Hanya 10 persen dari populasi Jepang yang mendapat suntikan ketiga, dibandingkan dengan lebih dari 50 persen di Korea Selatan dan Singapura.
Hidekiyo Tachiya, walikota Kota Soma di Jepang utara dan ketua asosiasi nasional pemimpin kota, bertemu Kishida pada bulan Oktober untuk mendesak dimulainya lebih awal pemberian booster.
Tapi tidak ada yang diberikan sampai Desember, kecuali hanya dokter dan petugas kesehatan. "Jika mereka memberi tahu kami pada November, bahwa enam bulan sudah cukup, maka di Soma kami bisa mendapatkan suntikan mulai Desember, dan untuk itu saya merasa kesal," kata Tachiya, yang adalah seorang dokter, kepada Reuters.
"Jika lebih cepat, tidak akan ada begitu banyak penderitaan dan begitu banyak orang tidak akan mati."
Pihak berwenang di Tokyo juga mendorong booster yang lebih cepat tetapi tidak berhasil.
"Kami meminta suntikan booster secepat mungkin tetapi pemerintah tidak setuju," kata Gubernur Tokyo Yuriko Koike kepada wartawan baru-baru ini.
Juru bicara kementerian kesehatan mengatakan jeda delapan bulan antar-suntikan diputuskan oleh dewan ilmu kesehatan dan sistem itu dimodifikasi pada bulan Desember dan Januari untuk menanggapi ancaman Omicron.
Dengan tanda-tanda gelombang Omicron memuncak, program booster, yang telah dijanjikan Kishida, akhirnya dilaksanakan. Kementerian kesehatan mengatakan minggu ini akan membeli dan mengimpor 10 juta dosis Pfizer lagi pada bulan Maret.
Sementara infeksi baru cenderung turun, kematian adalah indikator yang tertinggal, dan masih meningkat. Hampir 2.000 orang telah meninggal karena virus corona di Jepang pada bulan Februari.