SRI LANKA menutup 1982 dengan suatu kemenangan bagi Presiden
Junius Richard Jayawardene. Kemenangan itu diperolehnya dalam
referendum bertujuan memperpanjang masa kerja parlemen dengan 6
tahun mulai Agustus mendatang. Dia meraih 54,7% dari jumlah
suara dalam referendum itu -- suatu perbaikan popularitas
dibanding dengan 52,9% yang dicapainya dalam pemilihan presiden
Oktober lalu.
Dengan kemenangan itu pula, Presiden Jayawardene melanjutkan
pembersihan di dalam Partai Persatuan Nasionalnya (UNP), seperti
pernah dijanjikannya dalam Oktober: "Anda tidak memilih seorang
anggota parlemen tertentu tapi seorang presiden. Sebagai
pemimpin tim saya mengetahui siapa yang main curang dan siapa
tidak. Saya akan menyelesaikan mereka setelah kemenangan."
Sekitar 40 anggota parlemen dari UNP akan atau sudah kehilangan
kursi sejak Jayawardene memenangkan jabatan itu.
Apa yang ingin dicapai Jayawardene dengan referendum itu adalah
kestabilan politik untuk melancarkan program liberalisasi
ekonomi yang dimulainya sejak 1977. Dia merombak sistem sosialis
yang dijalankan bekas Perdana Menteri Ny. Sirimavo Bandaranaike
(66 tahun), dan membuka pintu Sri Lanka bagi modal asing.
JR, demikian presiden itu dikenal di negerinya, menjadikan
Singapura sebagai model pembangunan negaranya dan Dana Moneter
Internasional (IMF) pembimbingnya. Rupee (mata uang) Sri Lanka
didevaluasikan dengan separuhnya dan dibiarkan mengambang
terhadap dollar. Wilayah Promosi Penanaman Modal didirikan untuk
menarik modal asing dan teknologi. Program pembangunan
dilancarkan secara besar-besaran.
Pembangunan proyek itu sebagian besar dibiayai oleh Bank Dunia,
dan negara Barat. Modal Inggris, Skandinavia, Amerika, Kanada,
Jepang, Jerman Barat Korea Selatan dan Norwegia membuka lapangan
kerja bagi sekitar setengah juta penduduk. Dan hasil tata
ekonomi baru ini kelihatan empat tahun kemudian dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi Sri Lanka mencapai 8% pada 1981.
Produksi Nasional Kotor (GNP) pernah menurun pada 1980 menjadi
5,5% dan inflasi melonjak antara 40% dan 60%. Pengalaman
bertahun-tahun di bawah rezim Ny. Bandaranaike dengan bahan
kebutuhan hidup yang langka, menjadikan rakyat Sri Lanka
terbiasa pada harga barang yang tinggi. Di bawah pemerintahan
Jayawardene harga barang kebutuhan hidup memang relatif masih
tinggi tersedia setiap saat.
Keputusan mereka (3.141.223 suara lawan 2.605.983) dalam
referendum untuk memperpanjang masa kerja parlemen dengan enam
tahun itu menunjukkan kematangan politik mereka. Rakyat Sri
Lanka terbukti lebih menyukai kestabilan politik dan ekonomi,
yang ditawarkan Presiden Jayawardene (76 tahun), daripada
sosialisme yang disodorkan Hector Kobbekaduwa, orang yang
dicalonkan Partai Kemerdekaan (golongan Ny. Bandaranaike) dalam
pemilihan presiden Oktober lalu. (Ny. Bandaranaike kehilangan
hak pilih/dipilih berdasarkan keputusan pengadilan setelah dia
jatuh dalam Pemilu 1977).
Salah satu alasan kenapa JR berani mengadakan referendum adalah
kemenangan besar yang diperolehnya dalam Oktober dan keadaan
berantakannya partai oposisi sekarang ini. Partai Kemerdekaan
Sri Lanka (SLFP) terpecah dua, dengan putra Ny. Bandaranaike,
Anura (33 tahun) di satu pihak, bertolak beiakang dengan
iparnya, Vijaya Kumaratunga, pendukung utama Kobbekaduwa di lain
pihak.
Satu partai kecil (beraliran Trotsky) yang pro-Moskow sudah
terbukti kehilangan pendukung dalam pemilihan Oktober. Sedangkan
Front Persatuan Pembebasan Tamil (TULF), yang menghendaki
kemerdekaan bagi Tamil di Utara, menganjurkan pengikutnya supaya
menjauhi tempat pemberian suara dalam referendum itu. Mereka
menuduh "orang Sinhale (yang mayoritas 72% dari seluruh 15 juta
penduduk Sri Lanka), memilih orang Sinhale untuk pemerintahan
Sinhale sendiri."
Akibatnya, Presiden Jayawardene yang lebih populer daripada
partainya sendiri, berhasil memperoleh 17 dari 24 daerah
pemilihan. Maka dia bukan saja mempunyai cukup waktu untuk
mengukuhkan lagi kestabilan politik yang sudah dicapainya, tapi
juga akan punya peluang meneruskan program stabilisasi ekonomi
yang sedang dijalankannya. Kedua program ini akan mendorong
perubahan dalam susunan kabinetnya dalam tahun baru ini,
sekalipun, seperti dikatakannya, "bukan karena referendum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini