Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Babak Baru, Bancakan Lawas

Jaksa mengusut lagi kasus lama bancakan anggaran DPRD Gorontalo. Fadel Muhammad pun kembali menjadi tersangka.

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waktu magrib baru saja berlalu. Lampu lobi dan sebagian besar ruangan gedung berlantai sembilan itu sudah dipadamkan. Tinggal lantai teratas yang terang-benderang. Di situlah, di puncak gedung Graha Anugrah, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, bekas Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad sibuk menerima tamu-tamunya.

Termasuk yang menunggu adalah tim penasihat hukum Fadel. Mereka diminta menjelaskan kasus hukum yang kembali menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu. "Ini seperti sambaran petir di siang bolong," kata Fadel kepada Tempo, di sela-sela pertemuan. "Saya benar-benar kaget."

Fadel pun meminta salah seorang penasihat hukumnya, Salahuddin Pakaya, menjawab semua pertanyaan seputar perkembangan kasus dugaan korupsi dana sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2001. Dia sendiri segera meninggalkan ruang tamu menuju ruang rapat di lantai yang sama.

Di tengah kesibukan menata ulang bisnisnya di Jakarta, Fadel sepertinya akan kembali bolak-balik ke Gorontalo. Soalnya, sejak 16 Mei lalu, Kejaksaan Tinggi Gorontalo kembali menetapkan bekas Presiden Direktur Bukaka Group itu sebagai tersangka.

Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Gorontalo Muhammad Sunarto mengatakan, jaksa telah memeriksa 16 saksi dalam kasus bagi-bagi sisa APBD Gorontalo pada 2001. Sepuluh saksi di antaranya mantan anggota dewan perwakilan rakyat daerah yang turut menerima bagian dari "dana mobilisasi" Rp 5,4 miliar itu. Sunarto pun memastikan bahwa Fadel akan dipanggil dalam waktu dekat.

l l l

Kasus bancakan anggaran itu terjadi tak lama setelah Fadel terpilih menjadi gubernur pertama Gorontalo pada 2001. Anggota DPRD yang mengantarkan Fadel ke kursi gubernur rupanya tak tahan lama-lama menjadi pejabat negara minus fasilitas. Mereka pun meminta bantuan dana mobilisasi, masing-masing Rp 120 juta.

Mewakili 44 koleganya, pada 15 Februari 2002, Ketua DPRD Gorontalo Amir Piola Isa melayangkan surat kepada Gubernur Fadel. Dia meminta pemerintah Gorontalo menyediakan dana Rp 5,4 miliar untuk membantu anggota Dewan. Yang dia incar adalah dana sisa lebih perhitungan anggaran 2001, yang totalnya sekitar Rp 12 miliar.

Fadel tak begitu saja mengabulkan permintaan itu. Semula dia meminta Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Gorontalo membalas surat Ketua DPRD itu. Isinya menjelaskan bahwa jenis kegiatan yang diinginkan DPRD tak tercantum dalam APBD 2002. Karena itu, Biro Keuangan menolak permintaan DPRD.

Penolakan Biro Keuangan tak menyurutkan langkah Amir dan kawan-kawan. Mereka terus melobi Fadel sampai luluh. Pada 8 Maret 2002, Gubernur akhirnya sepakat membuat surat keputusan bersama dengan Ketua DPRD. Keputusan itu intinya menyetujui pencairan bantuan dana tanpa pajak sebesar Rp 5,4 miliar.

Tapi Fadel tak mau tergelincir dengan mudah. Untuk berjaga-jaga, dia menyelipkan kalimat khusus dalam poin keempat keputusan itu. Bunyinya, "Hal-hal yang timbul akibat keputusan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab DPRD Provinsi Gorontalo." Karena sudah kebelet untuk menerima jatah, pimpinan dan anggota DPRD setuju saja. Dana Rp 5,4 miliar pun cair pada 27 Maret 2002.

Meski ditutup rapat-rapat, bancakan uang itu akhirnya terungkap juga. Pengurus Gorontalo Corruption Watch termasuk yang paling getol mempersoalkan kasus itu. Tak lama kemudian, Kejaksaan Tinggi Gorontalo pun mulai mengusut kasus bagi-bagi duit itu.

Di tengah penyelidikan, pimpinan DPRD dan utusan pemerintah Gorontalo berkonsultasi ke Menteri Dalam Negeri. Hasilnya, anggota DPRD diminta mengembalikan uang itu ke kas daerah. Pengembalian dana disepakati bertahap selama satu tahun, dengan jaminan cek giro pribadi atas nama Amir Piola.

Meski anggota DPRD sepakat mengembalikan dana, jaksa melanjutkan pengusutan perkara. Pada 24 Februari 2003, Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo mengeluarkan surat perintah penyidikan atas penyalahgunaan wewenang oleh 45 anggota DPRD.

Sewaktu posisi DPRD terus terpojok, pada 21 Maret 2003, Amir Piola membuat slip setoran dana Rp 5,4 miliar ke rekening kas daerah Gorontalo di Bank Sulut. Bukti setoran dana itu menjadi dasar Kejaksaan Tinggi Gorontalo mengusulkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan ke Kejaksaan Agung.

Atas persetujuan Jaksa Agung, pada 30 April 2003, Kejaksaan Tinggi Gorontalo menghentikan penyidikan. Alasan jaksa, 45 anggota DPRD telah menunjukkan iktikad baik, dengan mengembalikan dana ke kas daerah. Dengan pengembalian uang itu, kerugian negara urung terjadi. Padahal, hukum pidana mengatur bahwa pengembalian kerugian negara tak menghalangi pengusutan perkara.

Karena itu, Gorontalo Corruption Watch menggugat penghentian penyidikan kasus itu ke Pengadilan Negeri Gorontalo. "Tapi gugatan praperadilan kami tak diterima," kata Koordinator Gorontalo Corruption Watch, Deswerd Zougira.

Bau amis korupsi kembali meruyak ketika aktivis Gorontalo Corruption Watch memperoleh bocoran hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan perwakilan Makassar atas laporan keuangan Provinsi Gorontalo tahun 2002 dan 2003.

Menurut bocoran itu, BPK tak menemukan catatan pengembalian dana Rp 5,4 miliar melalui Amir Piola ke rekening kas daerah Gorontalo. Tim BPK justru menemukan transaksi antar-rekening pemerintah Gorontalo di Bank BRI dan Bank Sulut. Total transaksi pada 21 Maret 2003 itu adalah Rp 5,4 miliar dan Rp 600 juta. Muncullah dugaan bahwa klaim pengembalian dana oleh anggota DPRD ke kas daerah itu fiktif.

Punya peluru baru, Kejaksaan Tinggi Gorontalo kembali membuka penyidikan kasus dana mobilisasi pada 10 Desember 2004. Jaksa pun mengajukan surat izin pemeriksaan Amir dan Fadel kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, waktu itu, Presiden hanya menerbitkan surat pemeriksaan untuk Amir.

Sewaktu penyidikan berjalan, pada 2 Juni 2005, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Baharuddin Aritonang, mengirim surat ke Gubernur Fadel. Surat itu menyebutkan bahwa dana Rp 5,4 miliar telah dikembalikan ke kas daerah dan dicatat sebagai penerimaan piutang dari pihak ketiga.

Tapi surat BPK pusat itu tak membuat jaksa langsung mundur. Jaksa tetap melimpahkan perkara Amir Piola ke pengadilan. Pada 1 Agustus 2006, Pengadilan Negeri Gorontalo memvonis Amir bersalah melakukan korupsi bersama-sama. Hakim pun menghukum Amir satu setengah tahun penjara dan denda Rp 50 juta.

Upaya banding dan kasasi yang ditempuh Amir terus berjalan. Pada Maret 2009, Mahkamah Agung menguatkan putusan dua pengadilan di bawahnya dan kembali menghukum Amir.

Sewaktu kasus Amir masih di Mahkamah Agung, Presiden Yudhoyono rupanya menerbitkan surat izin pemeriksaan atas Fadel. Pada Maret 2009, Kejaksaan Tinggi Gorontalo pun memeriksa politikus Partai Golkar itu sebagai tersangka.

Tak lama setelah Pemilihan Umum 2009 kelar, angin berubah arah. Pada 21 Agustus 2009, Kejaksaan Tinggi menerbitkan surat perintah pemberhentian penyidikan atas tersangka Fadel. Tiga bulan kemudian, Fadel dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Surat penghentian penyidikan atas kasus Fadel kembali jadi sasaran gugatan Gorontalo Corruption Watch. Kali ini hakim berpihak pada Deswerd dan kawan-kawan. Pada 28 November 2011, Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan praperadilan.

Putusan yang keluar sebulan setelah Fadel terdepak dari Kabinet Indonesia Bersatu II itu memerintahkan kejaksaan melanjutkan penyidikan perkara Fadel. Pada 16 Januari 2012, Pengadilan Tinggi Gorontalo pun memperkuat perintah itu.

Menurut Fadel, penetapan dirinya sebagai tersangka tak terlepas dari pertarungan politik lokal dan nasional menjelang Pemilihan Umum 2014. Sebelum jaksa membuka kembali kasusnya, ada politikus Jakarta yang wira-wiri di Kejaksaan Tinggi. "Mereka yang mendesak kasus ini kembali dibuka. Kami punya bukti," kata Fadel.

Namun jaksa Sunarto membantah tuduhan Fadel. Menurut dia, jaksa hanya melihat kasus Fadel dari sisi hukum. Di samping putusan praperadilan, vonis Mahkamah Agung yang menghukum Amir Piola menjadi dasar utama pembukaan kembali kasus Fadel. "Politik bukan urusan kami," kata Sunarto.

Jajang Jamaludin (Jakarta), Budhy Nurgianto (Gorontalo)


Proyek Hotel Kerabat Gubernur

Hotel Quality Gorontalo kelihatan mencolok ketimbang gedung-gedung lain di sampingnya. Di sepanjang jalan protokol Nani Wartabone, bangunan berlantai tiga itu ramai pengunjung. Pemandangan ini berbeda dengan hotel kelas melati, yang hanya sepelemparan batu dari Quality.

Lebih dari enam tahun Quality menjadi idola tetamu penting yang berkunjung ke Gorontalo, provinsi ke-32 di Indonesia. "Dulu susah mencari penginapan yang layak untuk tamu penting. Quality adalah terobosan selama pemerintahan saya," kata Fadel Muhammad, yang menjabat gubernur sejak 2001 hingga Oktober 2009.

Quality seperti warisan keberhasilan Fadel semasa menjabat orang nomor satu di Gorontalo. Namun setumpuk masalah terselip di balik kemegahan hotel berbintang empat dengan 60 kamar ini. Oktober tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kejanggalan dalam pembangunan hotel yang dimulai pada 2003 itu.

Auditor BPK menemukan bukti bahwa pembangunan Quality tidak digelar lewat lelang terbuka, tapi melalui penunjuk­an langsung. Tidak ada mekanisme penentuan harga perkiraan sendiri sebagai acuan untuk nilai yang ditawarkan para kontraktor.

Walhasil, menurut laporan yang dirilis pada 4 Oktober 2011 itu, negara kehilangan peluang mendapatkan harga termurah dalam pembiayaan proyek. Secara materi, setidaknya pemerintah daerah menanggung kelebihan bayar sedikitnya Rp 2 miliar dalam proyek pembangunan.

Bonnie M. Ointu, Asisten Pemberdayaan Masyarakat Sekretariat Daerah Provinsi Gorontalo, mengatakan pembangunan Quality memang ide Fadel. Ia ingin mengembangkan pariwisata di provinsi yang baru memekarkan diri dari Sulawesi Utara pada 22 Desember 2000 itu. "Gorontalo penghasil jagung, tapi belum cukup," ujar Bonnie.

Hotel tersebut dibangun atas kerja sama Pemerintah Kota Gorontalo, pemerintah provinsi, dan investor swasta. Pemerintah kota menyediakan tanah, pemerintah provinsi menyiapkan dana sekitar Rp 15 miliar, ada tambahan duit dari investor swasta, dan pinjaman dari Bank Mandiri. "Jumlahnya saya tidak ingat," ujarnya.

Pemerintah provinsi, kata Bonnie, sebatas penyertaan modal. Sedangkan operator lapangan dipegang PT Gorontalo Wisata Mandiri (GWM), perusahaan daerah yang khusus dibentuk menangani pembangunan Quality. "Untuk rekanan dan tender ditangani PT GWM. Komisarisnya saat itu Hamdan Datunsolang," ujarnya.

Menurut penelusuran, investor swasta tersebut diketahui bernama Ali Shahab, kakak Hana Hasanah Shahab, istri Fadel saat ini. "Hanya dia pihak swasta yang mau berinvestasi kala itu. Gorontalo kan daerah kecil, mana ada investor yang mau buang-buang uang di sini?" Bonnie menambahkan.

Sesuai dengan akta pendiriannya, PT GWM berdiri pada 19 Juni 2003 dengan modal dasar Rp 25 miliar atau 2.500 lembar saham. Ali Shahab memiliki saham 348 lembar senilai Rp 3,48 miliar. Sisanya dimiliki pemerintah provinsi sebanyak 612 lembar senilai Rp 6,12 miliar dan pemerintah kota 240 lembar saham senilai Rp 2,4 miliar.

Belakangan BPK menemukan masalah lain di PT GWM. Saat pendirian perusahaan pada 19 Juni 2003, tidak ada fulus yang mengucur ke kocek PT GWM. Modal baru disetorkan Ali pada 22 Agustus 2003, yang disusul pemilik saham lain. Bahkan, hingga pengesahan akta pendirian, modal-disetor kurang Rp 12 miliar.

Hamdan menjelaskan, sebenarnya mekanisme tender sudah disiapkan. Namun, atas kesepakatan para pemegang saham, tender urung digelar. "Kalau ditanya, ya, memang tak ada tender," kata Hamdan, yang saat itu menjabat Asisten III Administrasi Umum Pemerintah Provinsi Gorontalo.

Menurut Hamdan, alasan meniadakan tender adalah pembangunan hotel sungguh mendesak. Selain itu, tidak gampang mencari sumber daya manusia di Gorontalo yang paham bisnis hotel. "Kami menunjuk Ali Shahab karena expert di bidang perhotelan. Apalagi latar belakangnya pengusaha hotel di Jakarta," katanya.

Hamdan, yang kini menjadi Bupati Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, beralasan penunjukan langsung sudah taat aturan. Dia berpegang pada Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Ali Shahab menjelaskan, ia memang salah satu pemilik saham sekaligus konsultan pembangunan Quality. "Konsultan independen, tak ada kontrak resmi," katanya Kamis malam pekan lalu. Konsultan sebenarnya disandang PT Qualita Indah, pemilik jaringan Hotel Quality di Indonesia.

Ia pernah diminta Fadel bertandang ke Gorontalo mengenai kemungkinan pembangunan hotel. Ali menyatakan ada potensi membangun hotel berbintang di Gorontalo. Syaratnya, mesti ada studi kelayakan. "Keputusan jadi-tidaknya pembangunan bukan di tangan saya," katanya. Pertengahan Mei lalu, Ali sempat diperiksa Kejaksaan Agung gara-gara urusan hotel ini.

Audit pemeriksaan BPK menyebutkan Fadel meneken kerja sama dengan Qualita pada 12 November 2002. Perjanjian itu memberi Qualita hak mengelola hotel hingga siap dibuka, termasuk promosi, persiapan manajerial hotel, sistem waralaba dalam tahapan operasi, dan monitoring selama tiga bulan setelah pembukaan hotel.

Kendati konsultan independen, Ali didaulat Fadel sebagai Direktur PT GWM selama pembangunan hotel, mulai Juli 2003 hingga Desember 2005. Jabatan itu terus ia pegang hingga 2007, sebelum akhirnya bergeser menjadi komisaris ketika pemerintah daerah merombak struktur kepemilikan di PT GWM.

Pada 4 Juli 2003, PT GWM menunjuk PT Pratama Daya Cipta Mandiri tanpa tender untuk mengawasi pekerjaan kontraktor sampai pembangunan selesai. Pratama Daya juga ikut melaksanakan tender sesuai dengan paket pekerjaan. Sayangnya, Pratama Daya tidak menggelar tender untuk kontraktor.

Untuk pekerjaan fondasi, umpamanya, Pratama Daya menunjuk langsung PT Adhi Karya, perusahaan konstruksi pelat merah. Pratama Daya juga melibatkan sejumlah kontraktor, antara lain PT Arga Prasetya, PT Holuntalo Fajar Timur, CV Dwi Mega, dan CV Aquabor.

Berdasarkan pemeriksaan BPK, ada 27 surat perintah kerja senilai Rp 35,65 miliar dan dua surat perintah kerja senilai US$ 112.500 atau lebih dari Rp 1 miliar yang pernah dikeluarkan PT GWM kepada 16 rekanannya. Hampir seratus persen pekerjaan itu didominasi oleh tiga perusahaan.

PT Holuntalo Fajar Timur untuk pekerjaan arsitek dan interior senilai Rp 11,98 miliar. PT Pratama Arga Prasetya Karya Mandiri menyediakan lift dan perlengkapan listrik senilai Rp 11,2 miliar. Adapun Adhi Karya bertanggung jawab mengerjakan struktur gedung dengan nilai Rp 12,2 miliar.

BPK mengungkapkan, akibat main tunjuk itu, pemerintah daerah menanggung kelebihan bayar kepada PT Holuntalo senilai Rp 1,08 miliar, PT Agra Prasetya senilai Rp 534 juta, dan PT Adhi Karya senilai Rp 435 juta. Total jenderal kelebihan bayar sedikitnya Rp 2 miliar.

BPK menilai, dalam proses penunjuk­an rekanan, Pratama Daya alpa menyelidiki reputasi rekanan. Ambil contoh PT Holuntalo. Perusahaan ini bergulat di bisnis pertanian, bukan konstruksi. Lagi pula Holuntalo belum sah menjadi perusahaan terbatas karena belum mendapat stempel dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menariknya, Farid Ali, Direktur Utama PT Holuntalo, juga menjabat Bendahara Pengeluaran PT GWM selama 2003-2004. Ia pun masih memiliki kekerabatan dengan Ali Shahab. Fakta ini muncul ketika auditor BPK memeriksa manajer administrasi dan keuangan perusahaan tersebut.

Para kontraktor enggan menjelaskan duduk persoalan. Meski dipanggil empat kali oleh BPK, PT Holuntalo dan PT Agra Prasetya tak hadir dalam pemeriksaan. Tempo pun tak berhasil menemukan kantor kedua perusahaan, yang masing-masing beralamat di Pos Pengumben, Jakarta Barat, dan bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, itu.

Hamdan mengaku tak tahu rekam jejak semua rekanan. "Nama yang pernah saya dengar hanya Adhi Karya, yang lain sama sekali tidak," katanya. Ia tahu Adhi Karya terlibat dalam proyek karena sempat menegur pekerja Adhi Karya. "Waktu itu saya tegur karena pekerjaan sangat lambat dan tidak sesuai dengan keinginan kami."

Fadel tampak tenang menanggapi audit tersebut. Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan itu menyatakan heran terhadap alasan BPK mengungkit kembali proyek pembangunan Quality. "Saya setengah mati membangunnya. Kenapa sekarang dipersoalkan? Saya sebetulnya tahu dalang di balik ini."

Bobby Chandra, Isa Anshar Jusuf (Manado), Budhy Nurgianto (Ternate), Ismanto Lihawa (Gorontalo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus