BILA di Indonesia ada istilah "jurnalisme alkohol", di Singapura ada "jurnalisme James Bond". Wakil PM Singapura S. Rajaratnam pekan lalu memakai istilah itu kala berbicara di suatu jamuan makan yang diselenggarakan Perkumpulan Koresponden Asing Asia Tenggara di Singapura. Jurnalisme James Bond (JBJ), kata Rajaratnam, adalah semacam bentuk Jurnalisme Barat yang sekarang gentayangan di Asia. Para pendukungnya percaya, mereka punya lisensi 007 untuk menghancurkan nama baik pemimpin dan pemerintahan di Asia Tenggara tanpa mendapat hukuman. Rajaratnam menyebut sebuah contoh JBJ: tulisan David Jenkins di Sydney Morning Herald yang menimbulkan tanggapan keras Indonesia. Buntut tulisan itu, kata Raja telah berhasil meyakinkan masyarakat Australia (menurut sebuah poll) bahwa Indonesia dan bukannya Uni Soviet yang kini menjadi musuh utama Australia. "Pers bebas Australia, hanya dengan sekali sentakan karate penanya, telah berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan Dubes Soviet dan KGB selama 70 tahun bahwa Uni Soviet bukan lagi ancaman," kata Raja. Lalu ia menyindir, "Berkat diplomasi pers Sydney Morning Herald, Australia telah kehilangan satu musuh lama yang jauh, dan memperoleh satu musuh Asia yang baru dan dekat - mungkin yang pertama dari sebarisan musuh baru dari Asia yang berderet di depan pintu Australia". Rajaratnam juga mengecam berbagai praktek yang lain. Pidatonya di depan pers asing itu juga menjelaskan kebijaksanaan pemerintahnya terhadap mereka. Ia, khususnya, menjelaskan soal RUU Tentang Surat Kabar dan Barang Cetakan yang kini dibahas di parlemen. Sejak diajukan 5 Mei silam, penyempurnaan RUU 1974 itu telah menimbulkan gelombang komentar dan kecaman. Para wartawan asing di Singapura khawatir, UU baru ini akan lebih membatasi kemerdekaan mereka. Ketentuan RUU yang baru ini memang sangat ketat. Misalnya, mereka yang tanpa persetujuan pemerintah mengimpor, menjual, mengedarkan atau mereproduksi untuk dijual atau didistribusikan, penerbitan apa pun yang telah dinyatakan sebagai "surat kabar asing", diancam hukuman maksimal 2 tahun penjara atau denda S$ 10 ribu. Bahkan mereka yang berlangganan penerbitan asing itu tanpa lewat penyalur resmi, yang disetujui Menteri Penerangan dan Komunikasi, bisa didenda S$ 2 ribu atau 6 bulan penjara. Siapa pun yang masuk Singapura, nantinya harus menyatakan apakah ia membawa surat kabar asing, dan wajib memperlihatkannya jika diminta. Menolak berarti kena denda sampai S$ 2 ribu atau 6 bulan penjara. Koran yang dicetak di Singapura, seperti Asian Wall Street Journal, International Herald Tribune dan USA Today, juga dianggap asing. Kebijaksanaan isinya ditentukan di luar Singapura, sedang penjualan dan distribusinya tidak terutama ditujukan pada warga Singapura. Yang mengkhawatirkan pers asing adalah pasal yang mengancam mereka "yang melibatkan diri dalam politik dalam negeri" Singapura. Rajaratnam menegaskan, yang dianggap campur tangan pers asing dalam masalah dalam negeri adalah penerbitan mana pun yang melakukan atau menerbitkan sesuatu yang bisa menimbulkan pengaruh pada masyarakat setempat. "Kami yang menentukan kapan itu terjadi," katanya. Pers asing wajib memenuhi peraturan yang ada. Yang menolak boleh keluar. Buat Singapura kemerdekaan pers adalah sarana untuk mencapai tujuan: persatuan dan kemerdekaan negara, keamanan, kemakmuran serta hapusnya apa saja yang bisa menumbuhkan konflik sosial, rasial, dan agama. "Wartawan asing yang tak mengerti batasan ini, cepat atau lambat, akan susah. Begitu juga kami," katanya. Kata Raja, "Wartawan asing yang datang ke sini untuk melakukan tugas profesional yang wajar di bldang informasi, komentar, dan ulasan, dan bisa mengatasi dorongan keinginannya untuk 'menyelamatkan' kita semua, kecuali tentu saja kalau dia memang berwatak kecut - saya yakin ia akan sebahagia warga Singapura lainnya - mungkin malah lebih bahagia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini