Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada peluru, tasbih pun berguna. Inilah terobosan terbaru pemerintah Thailand untuk meredakan konflik di Provinsi Narathiwat, Pattani, dan Yala di wilayah selatan. Dua pekan lalu, pemerintah Thailand mengangkat Sonthi Boonyaratglin, 59 tahun, seorang jenderal muslim, untuk mengisi pos Panglima Angkatan Darat. Kendati baru akan resmi bertugas pada 1 Oktober, sang jenderal sudah bergerak. Pekan lalu, dia membuka acara pelatihan 700 toh imam (para ustad dan ulama) untuk menjadi mediator perdamaian. ”Para ulama dapat membantu mengembalikan perdamaian di negeri kita,” ujarnya dalam upacara pembukaan.
Itulah langkah pertama Jenderal Boonyaratglin setelah ditunjuk menggantikan Jenderal Prawit Wongsuwan. Mutasi di pucuk pimpinan Angkatan Darat Thailand ini diumumkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra melalui Radio Nasional Thailand pada Kamis dua pekan lalu.
Raja Thailand Bhumibol Adulyadej menyambut baik penunjukan Boonyaratglin. Sambutan lebih hangat datang dari para pemimpin muslim Thailand. Sonthi Boonyaratglin adalah jenderal muslim pertama yang berhasil menduduki pucuk pimpinan angkatan darat di negeri itu. Latar belakang dan agama yang dianut sang jenderal diharapkan dapat memuluskan jalan menuju perdamaian antara Bangkok dan wilayah selatan.
Beberapa pengamat militer menilai penunjukan alumnus Akademi Militer Chulachomklao ini bukan hanya karena dia muslim. Kemampuan dan pengalamannya di berbagai medan pertempuran, termasuk Perang Vietnam, menjadi acuan utama. Dia pernah memimpin Korps Infanteri Angkatan Darat serta menjadi Komandan Jenderal Pasukan Elite Komando Pasukan Khusus Thailand.
Boonyaratglin bertekad merangkul saudara-saudara seiman agar tak lagi angkat senjata. ”Saya akan menyelesaikan masalah selatan dengan damai,” ujarnya. Para ulama peserta pelatihan serta pemimpin Komite Islam Pattani, Waeduramae Mamingji, menyambut hangat niat sang jenderal.
Pengalaman tempur dan kemampuan diplomasi jenderal yang kenyang operasi itu amatlah diperlukan untuk menyelesaikan konflik Thailand Selatan. Aksi gerilyawan masih marak di tiga provinsi itu hingga pekan lalu. Konflik yang kian menjadi-jadi sejak 20 bulan lalu itu dipicu oleh ketidakpuasan warga muslim yang merasa dianaktirikan. Tragedi besar meletus di Tak Bai pada Oktober 2004, menewaskan 85 aktivis Islam. Hingga pekan lalu, pemerintah mencatat 1.306 orang telah tewas akibat konflik di selatan.
Itu sebabnya, pemerintah kian kerap berkampanye damai di selatan. Pekan lalu, Wakil Menteri Perhubungan Phumtham Vejjayachai berkunjung ke Pasar Jumat yang diorganisasi pemerintah daerah Distrik Than To, Krong Pinang dan Muang, Provinsi Yala. Di wilayah itu, para pedagang mematuhi anjuran para gerilyawan untuk tidak berdagang selama enam Jumat berturut-turut.
Toh kekerasan tak kunjung pudar. Pekan lalu, Sitinor Jeharong, relawan kesehatan di Sungai Padi, Narathiwat, tewas ditembak. Di Distrik Rangae, seseorang melemparkan bom molotov ke mobil sedan milik Nameena Kaseng, guru sekolah Ban Lupohkayoah. Bom itu merusak sebagian gedung sekolah.
Konflik yang berlarut-larut membuat banyak warga Thailand menyandarkan harapan kepada Boonyaratglin. ”Pemahamannya tentang Islam akan amat membantu Angkatan Darat memenangkan hati kaum muslimin di selatan,” kata Panitan Wattanayagorn, dosen di Universitas Chulalongkorn.
Eduardus Karel Dewanto (Bangkok Post/Reuters/AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo