Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIBARAN bendera hitam-putih-hijau dengan segitiga merah memenuhi udara di wilayah pengungsi Jabaliyah, Jalur Gaza bagian utara. Teriakan ”Allahu Akbar” beradu keras dengan bunyi klakson mobil yang berparade lambat-lambat. Senyum tersungging di hampir semua wajah, yang pada hari-hari biasa sulit ditemukan. Bangsa Palestina seperti memproklamasikan lagi kemerdekaan negerinya.
Keajaiban, kalau tak bisa dibilang mukjizat, memang baru tertoreh di tanah yang selalu bersimbah darah itu: Hamas menang dalam pemilu parlemen. Penghitungan suara yang mencapai 95 persen pada Jumat malam pekan silam menunjukkan bahwa kelompok bentukan Syeikh Ahmad Yassin ini meraup 76 dari 132 kursi yang diperebutkan atau 57,5 persen. Mereka menang di hampir semua distrik pemilihan di Jalur Gaza dan Tepi Barat. ”Saya kira Hamas bisa mendapatkan 80 kursi,” ujar Richard Howitt, pengamat pemilu dari Uni Eropa. Kedigdayaan Hamas yang tak terduga membuat Perdana Menteri Ahmad Qorei dan anggota kabinetnya yang berasal dari Fatah langsung mengundurkan diri. Qorei juga mengisyaratkan Fatah menolak bergabung dalam pemerintahan baru yang akan disusun Hamas.
Sampai Rabu pekan lalu—sehari menjelang penghitungan suara—jajak pendapat masih menunjukkan, Fatah yang mewakili Palestina sejak era 1960-an akan muncul sebagai pemenang. Jajak pendapat yang dilakukan Universitas Bir Zeit di Ramallah mencatat, Fatah mendapatkan 63 kursi (46,6 persen), dibanding Hamas yang meraih 58 kursi (39,5 persen). Sebagian pendukung Fatah, yang keliru mengira jajak pendapat itu hasil resmi penghitungan suara, langsung berpesta di jalanan Kota Gaza.
Majalnya prediksi pemenang pemilu juga dialami analis militer Israel yang menggambarkan Hamas hanya akan meraih 30 persen suara. ”Saya pikir Hamas tak akan menang,” ungkap Kepala Staf Israel, Dan Halutz, dengan nada yakin pada awal pekan lalu. Editorial ynetnews.com mengulas betapa semua petinggi militer Israel gagal memprediksi kemenangan Hamas. Mereka merasa kecolongan betul dengan hasil ini. ”Israel tak akan melakukan negosiasi dalam bentuk apa pun dengan pemerintah Palestina jika mengikutsertakan kelompok bersenjata yang selalu mengancam kepentingan Israel,” ujar pejabat Perdana Menteri Ehud Olmert. Pernyataan itu dia keluarkan setelah pertemuan maraton tiga jam di Tel Aviv, menyusul pengakuan Fatah atas kemenangan Hamas.
Tak semua pihak di Israel gagal menangkap tanda-tanda kejayaan Hamas. Perkiraan yang jitu muncul dari Profesor Shaul Mishal di Universitas Tel Aviv. Ketika masa kampanye baru dimulai, Mishal dengan yakin menyatakan Hamas menang. ”Hanya dalam beberapa tahun, mereka menempati posisi sentral dalam politik Palestina. Tidak lama lagi mereka akan memperoleh pengakuan dunia”. Mishal mencontohkan Hamas sebagai kelompok garis keras Islam yang muncul dari sebuah proses yang demokratis.Hasil yang diramalkan Mishal terbukti—dan membikin repot banyak pihak. Juru runding Palestina, Saeb Erakat, yang berasal dari Fatah menyalahkan Israel atas kegagalan kelompoknya memenangkan pemilu parlemen untuk kedua kalinya setelah 1996. ”Israel tak pernah memperlakukan kami sebagai mitra dalam mewujudkan perdamaian di kawasan ini,” ujar politisi kawakan itu. ”Tel Aviv bahkan tak pernah bersedia berbicara dengan Presiden terpilih (Mahmud Abbas—Red.),” katanya kepada Radio Militer Israel.
Yang tak disebutkan Erakat adalah citra korup dan nepotisme yang kian mengganduli Fatah. Citra ini juga amat mempengaruhi pemilih yang melihat nasib mereka tak akan pernah berubah jika Fatah terus berkuasa.
Reaksi tak bersahabat atas kemenangan Hamas muncul dari Gedung Putih. ”Amerika Serikat tak akan bekerja sama dengan pihak mana pun yang memusuhi Israel,” tutur Presiden George Bush tanpa menyebut nama Hamas. Komentar Bush senada dengan Menteri Luar Negeri Israel Tsipi Livni yang menyerukan kepada Uni Eropa, donor terbesar Palestina selama ini, agar tak mendukung ”sebuah pemerintahan terorisme”.
Tuduhan Livni dengan cepat ditampik Ketua Hamas Mahmud al-Zahar. Dalam wawancaranya dengan televisi BBC, Al-Zahar menyatakan, ”Kami tak memainkan peran sebagai teroris.” Dia juga mengingatkan, Palestina berada dalam situasi pendudukan. Dan Israel melancarkan agresi demi agresi untuk memusnahkan Palestina. ”Kami hanya mencoba bertahan dan membalas dengan semua yang kami punya,” dia melanjutkan.
Terhadap imbauan Israel, pihak Uni Eropa memilih menahan diri dan melihat perkembangan. ”Kami akan bekerja sama dengan siapa pun dalam pemerintahan Palestina sepanjang menggunakan cara-cara damai,” ujar Komisaris Hubungan Luar Negeri Eropa Benita Ferrero-Waldner.
Reaksi yang lebih sejuk datang dari Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. ”Hasil pemilu ini merupakan langkah penting bagi tercapainya Negara Palestina yang berdaulat,” katanya dari Markas Besar PBB di Kota New York.
Kemenangan Hamas sejatinya menjadi batu ujian apakah mereka mampu ”naik kelas” dari perjuangan di jalur militan selama 19 tahun ke meja politik konstitusional.
Akmal Nasery Basral (BBC, Aljazeera, Ynetnews.com)
TIMELINE
1967–1976 Cikal-bakal Hamas dimulai dari ”cabang” Ikhwanul Muslimin Mesir, beroperasi dari Jalur Gaza.
1976–1981 Berkembang ke seluruh Palestina, dengan menekankan sisi diplomasi dalam menghadapi Israel. Amat aktif di bidang sosial, seperti membangun sekolah, jembatan, dan berbagai fasilitas umum.
1981–1987 Perkembangan politik yang kian panas membuat Hamas bersiap membentuk kelompok-kelompok bersenjata.
1987 Syeikh Ahmad Yassin membawa nama Hamas menjadi pembicaraan dunia seiring dengan munculnya intifadah 1. Sejak itu Hamas memiliki ”citra” baru sebagai kelompok antinegosiasi dan memilih perjuangan bersenjata melawan Israel.
26 Januari 2004 Wakil Yassin, Abdel Aziz al-Rantissi, menawarkan kepada Israel gencatan senjata selama 10 tahun, yang disebut Hudna. Paket ini adalah tawaran penarikan mundur Israel dari semua wilayah yang mereka caplok pada Perang Enam Hari, ditambah pendirian Negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
22 Maret 2004 Syeikh Yassin dibunuh rudal Israel. Rantissi diangkat sebagai Ketua Hamas yang baru.
28 Maret 2004 Rantissi berpidato di Universitas Islam di Gaza, ”Amerika menyatakan perang melawan Tuhan. Israel menyatakan perang melawan Tuhan, maka Tuhan menyatakan perang terhadap Amerika, Bush, dan Sharon.”
17 April 2004 Rantissi akhirnya juga menemui ajal setelah diroket tentara Israel.
18 April 2004 Tak seperti biasanya, nama Ketua Hamas yang baru tak lagi diumumkan. Pemimpin Hamas di Suriah, Khaled Mashaal, menyatakan, jika nama ketua baru diumumkan, orang itu akan menjadi sasaran empuk rudal-rudal Israel. Namun, Tel Aviv meyakini bahwa Hamas kini dipimpin oleh Mahmud al-Zahar, dengan wakil-wakil Ismail Haniya dan Said A. Siyam.
26 Januari 2006 Hamas menang pemilihan umum parlemen dengan meraih 76 dari 132 kursi. Perdana Menteri Ahmad Qorei dari Fatah, diikuti seluruh anggota kabinet, menyatakan pengunduran diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo