AKSI protes itu kecil -- paling banyak ~melibat 30 orang -- tapi benar-benar ~mempermalukan Kremlin. Dilancarkan di depan gedung Kementerian Pertahanan, Moskow, Sabtu pekan lalu, aksi itu menuntut penarikan mundur tentara Soviet dari Afghanistan. Aksi yang sama secara rutin terjadi tiap tahun di banyak bagian dunia lainnya -- New Delhi, Paris, Washington -- tapi baru sekali ini teriadi di Moskow. Dan lebih mengejutkan lagi, itu justru dilakukan oleh warga Soviet sendiri. Mereka meneriakkan yel-yel dan membawa plakat bertuliskan "Tarik pasukan kita dari Afghanistan" dan ''Kembalikan anak kami hidup-hidup~ dari Afghanistan". Tapi polisi bertindak cepat. Alexander Shoikhet dan Yevgeni Matusov ditahan dan dihukum penjara 15 hari, lima lainnya ditahan sebelum sempat bergabung dalam barisan demo. Semua ini mengingatkan pada demo di WashiDgton dulu kala, ketika rakyat Amerika menentang Perang Vietnam. Anehnya, unjuk rasa tak hanya terjadi di Moskow Leningrad juga dilanda aksi yang sama. Salah satu po*er yang dikibarkan di kota itu malahan secara sinis menampilkan ucapan Lenin seperti "Revolusi tak akan bisa dijalankan hanya dengan bayonet". Akibatnya, 14 orang diciduk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa invasi militer Soviet atas Afghanistan -- dilancarkan 27 Desember 8 tahun silam -- dan perlawanan bersenjata yang dilancarkan pejuang Mujahidin telah membuat frustrasi tentara Soviet. Mereka kebanyakan pemuda belasan tahun yang terkena wajib militer. Hidup yang keras dan setiap hari dihantui oleh maut telah menyebabkan mereka kecewa. Tak sedikit yang menuliskan penderitaannya ke kampung halaman, dan itu bergaung di kalangan sanak saudara mereka. Di luar Soviet, demo paling besar terjadi di New Delhi dan Islamabad. Aksi dilakukan oleh banyak pengungsi Afghanistan, tanpa kecuali tiap tahun, tepat pada 27 Desember. Bagaikan tradisi: menuntut penarikan 115 ribu pasukan Soviet dari Afghanistan. Tahun ini demonstrasi yang paling gencar terjadi di Pakistan. Di Kota Peshawar, sekitar 25 ribu pengungsi Afghanistan meneriakkan "Allahu Akbar", diselingi seruan "Ganyang orang Rusia" dan "Bunuh Gorbachev". Dalam rapat akbar tersebut, seorang utusan Mujahidin mengusulkan agar diadakan pembicaraan langsung antara pemerintah Moskow dengan para peluang. Pemerintah Soviet sebegitu jauh selalu menolak ajakan berunding. Moskow selalu menganjurkan agar Mujahidin berunding langsung dengan pemerintahan Najibullah. Namun, tawaran semacam itu selalu ditolak lantaran re~im Najibullah dianggap tak lebih dari "boneka Moskow". Di Islamabad, ibu kota Pakistan, demonstrasi anti-Soviet itu cukup dramatis. Sekitar 150 wanita Afghanistan dengan berapi-api meneriakkan slogan pembebasan negeri mereka. Tiba-tiba saja salah satu wanita membasahi badannya dengan bensin. Untunglah, ia cepat diselamatkan polisi, sebelum sempat menyulutkan korek api ke tubuhnya sendiri. Gelombang antipenjajahan Rusia itu bersamaan waktunya dengan kesulitan yang sedang dihadapi tentara Soviet di Afghanistan. Dalam beberapa minggu ini, sebuah satuan tentara Afghanistan yang terdiri dari 8.000 orang, disertai ratusan "penasihat militer" Soviet, sedang terkepung di Kota Khost, tak jauh dari perbatasan Pakistan. Pihak gerilya mengatakan, kota itu hampir seluruhnya berada di tangan para pejuang kemerdekaan. Tapi sumber pemerintah mengatakan, pasukannya telah berhasil mematahkan kepungan dan membunuh tak kurang dari 1.500 gerilyawan. Hubungan antara Paktia di Pakistan dengan Khost, kata pemerintah, telah terbuka kembali. Ini tentu saja dibantah pihak Mujahidin. Apa pun yang sedang terjadi di Khost dan bagaimana perkembangan secara umum di Afghanistan semua jelas memojokkan Uni Soviet. Dan kini warga Soviet sudah pula menentang Kremlin. Maukah ia menerima kenyataan itu dan mundur dari petualangan di Afghanistan tanpa kehilangan muka? Jawabnya barangkali ada dalam pikiran kamrad Gorbachev. A. Dahana, laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini