Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohaidah tampak lesu. Perempuan 35 tahun ini hanya bisa memandang jauh laut yang beriak tipis di pelabuhan World Trade Center, pintu masuk ke Singapura dari Batam. "Saya tak pernah ditolak. Kok, hari ini tidak diizinkan masuk," katanya, heran. Ia hendak menemui seorang famili di sana. Yang bikin tambah kesal, paspornya kena stempel huruf S. Artinya, sejak saat itu hingga tiga bulan ke depan ia tak bakal boleh masuk negara kecil itu.
Nasib serupa juga menimpa Eliyan, 25 tahun. Ia berniat sekadar cuci mata di pusat belanja di kawasan Orchard Road yang sangat terkenal itu. Semula, ia enteng saja memberikan paspor barunya kepada petugas imigrasi di sana. Tapi reaksi petugas di luar dugaannya. Bukan izin yang didapat, tapi warna negara Indonesia?disingkat WNI?itu malah diinterogasi habis-habisan oleh petugas imigrasi dan polisi.
Belakangan ini para pemegang paspor baru?terutama asal Batam?ketat diperiksa, apa pun alasan kunjungan. Para pendatang itu diteliti betul. Yang membawa tas besar penuh berisi pakaian biasanya diusut habis karena dianggap cuma mau menumpang cari kerja. Pria-pria berjenggot tebal, apalagi dengan nama berbau Arab, juga bakal diperiksa ketat. Jika mencurigakan, mereka dipastikan disuruh pulang dengan kapal berikutnya ke Batam. Tak peduli meski bisa memperlihatkan bekal sekitar 300 dolar Singapura dan tiket pulang-balik.
Tindakan ketat ini jelas merupakan buntut terungkapnya jejaring kelompok Jamaah Islamiyah?yang dituding berencana meledakkan bom di beberapa simpul penting kota. Mesin pemindai X-ray, yang dulunya tak terpasang, kini dioperasikan di ruang tunggu pelabuhan Kota Singa itu. Menurut Kantor Imigrasi Batam, selama Januari lalu lebih dari 300 orang pemegang paspor RI ditolak masuk ke Singapura dan Malaysia?biasanya yang ditolak cuma sekitar 100 orang dalam sebulan. "Mereka khawatir WNI bakal menganggu keamanan dan tak punya tujuan jelas," ujar Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Batam, Wachdiyat, kepada Antara.
Surutnya perekonomian Batam, juga Indonesia, menjadikan para pekerja mulai melirik negara kota yang kaya itu. Mereka datang bergelombang, mengisi pelbagai sektor informal. Ada yang cuma jual VCD di stasiun, atau jual jasa menunggui orang sakit. Hasil kerja tak resmi ini memang terbilang lumayan. "Kalau dikumpulkan, sebulan bisa dapat Rp 1,5 juta," kata seorang pejabat imigrasi. Tapi, dengan gencarnya pemerintah Singapura memerangi terorisme dengan caranya sendiri itu, peluang meraup rezeki ala kaki lima ini jadi terancam. Tapi, lain halnya dengan di pusat kota. "Di dalam kota masih wajar, enggak ada apa-apa," kata Kepala Bidang Penerangan Kedutaan Besar Singapura, Nining Rochadiat. Ini pun diakui para mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di NUS (National University of Singapore) dan NTU (Nanyang Technological University) ketika dikumpulkan di KBRI. "Kami tanya, apa ada keluhan akibat pernyataan Lee Kuan Yew. Mereka bilang tidak ada," tutur Nining. Menteri Senior Lee Kuan Yew menuding Indonesia sarang teror, sehingga sempat bikin geger Jakarta, dua pekan lalu.
Para diplomat dan pejabat imigrasi menilai sikap curiga itu masih wajar. "Itu memang hak mereka, dan bisa disesuaikan dengan perkembangan situasi," kata Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Departemen Kehakiman dan HAM, Muhammad Indra. Walhasil, yang ditempuh cuma untuk memenuhi prosedur imigrasi. Jika syarat lengkap, dan diyakini tak bakal membuat masalah, atau?ini yang penting?tak dicurigai, dijamin pasti lolos.
Arif A.K., Gita Widya Laksmini, Rumbadi Dalle
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo