Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemelut di Papua Nugini

Perdana Menteri Peter O’Neill mengundurkan diri.

27 Mei 2019 | 00.00 WIB

Peter O'Neill.      REUTERS/Tim Wimborne/File Photo
Perbesar
Peter O'Neill. REUTERS/Tim Wimborne/File Photo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PORT MORESBY - Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill mengundurkan diri setelah tujuh tahun berkuasa, kemarin. Ia mundur setelah sejumlah pejabat tinggi partainya membelot. "Adalah penting untuk menjaga stabilitas. Kami telah mendengar seruan itu dan telah menyetujui perubahan pemerintahan," kata O’Neill kepada wartawan, menurut EMTV.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

O’Neill, yang menyerahkan tampuk kekuasaan kepada mantan Perdana Menteri Sir Julius Chan, mengatakan perubahan kepemimpinan akan memungkinkan negara untuk "melanjutkan agenda reformasi yang telah kami sampaikan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Chan mengatakan transisi itu bertujuan memastikan stabilitas di negara Pasifik. "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Perdana Menteri Peter O’Neill atas semua yang telah dilakukannya untuk negara ini," ujarnya.

O’Neill, 54 tahun, selamat dari mosi tidak percaya awal bulan ini. Namun ia berada di bawah tekanan setelah penandatanganan kesepakatan multi-miliar dolar untuk proyek gas alam cair (LNG) dengan perusahaan minyak Prancis, Total; dan perusahaan Amerika Serikat, ExxonMobil, pada awal tahun ini.

Sebuah laporan Komisi Ombudsman Papua Nugini tentang kesepakatan 2014 dijadwalkan akan diajukan ke parlemen minggu depan. Kesepakatan ini memungkinkan negara Pasifik Selatan tersebut meminjam dari UBS untuk membeli 10 persen saham di perusahaan energi yang terdaftar di Bursa Efek Australia, Oil Search.

Oil Search kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli ladang gas Elk Antelope yang tengah dikembangkan oleh perusahaan Total. Negara ini diperkirakan rugi 1 miliar kina atau US$ 287,00 juta karena kesepakatan tersebut, setelah dipaksa untuk menjual saham ketika harga jatuh pada 2017.

Seorang anggota parlemen oposisi dan salah seorang pengkritik O’Neill, Bryan Kramer, mengatakan pengumuman itu merupakan sebuah taktik sang Perdana Menteri. O’Neill dianggap mencoba memenangkan kembali para anggota parlemen yang membelot dari kubu pemerintah.

"Dia mengumumkan telah mengundurkan diri, tapi kami belum melihat surat pengunduran dirinya," tutur Kramer, dilansir dari Guardian.

Dia mengatakan pengunduran diri tidak berlaku secara hukum sampai surat disampaikan dan diterima oleh jaksa agung. Rival O’Neill ini menambahkan, pada Jumat lalu, kelompok oposisi mengumpulkan dukungan yang cukup di parlemen untuk menggulingkannya atas berbagai keluhan.

Ketidakstabilan politik merupakan sesuatu yang bergejolak di negara Pasifik Selatan yang kaya sumber daya tapi dilanda kemiskinan itu. O’Neill, yang telah menjadi pemimpin sejak 2011, mengetahui bahwa kepemimpinannya akan jatuh.

Kegagalan dari koalisi yang berkuasa telah berlangsung selama berminggu-minggu. Hingga Jumat lalu, setidaknya sembilan anggota beralih pihak. Adapun lawan O’Neill perlu menggalang 62 anggota parlemen dari 111 kursi PNG untuk memilihnya. GUARDIAN | REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus