Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN percaya diri, Rodrigo Roa Duterte mengklaim kemenangan pemilihan Presiden Filipina. Perbedaan perolehan suara di antara empat kandidat cukup mencolok. Meski selisih waktu dengan saat pencoblosan tak sampai 24 jam, pria 71 tahun ini menyatakan siap mengemban tugas sebagai kepala negara. "Dengan kerendahan hati, saya menerima amanat dari rakyat," kata Duterte di Kota Davao, Selasa pagi pekan lalu.
Tak berselang lama, satu per satu lawan Duterte mengaku kalah. "Saya berharap Anda sukses, Wali Kota Duterte," ujar Manuel "Mar" Roxas, 58 tahun, kandidat dari Partai Liberal, yang berkuasa. Mereka bertengger di peringkat kedua. "Saya menghormati hasil pemilihan umum," ucap Grace Poe, senator perempuan berusia 48 tahun yang melaju dari jalur independen.
Hitung cepat hingga dua hari kemudian semakin memperkuat klaim Duterte. Situs berita Filipina, inquirer.net, melaporkan bahwa Duterte meraih 15,91 juta suara. Jumlah itu setara dengan 38,5 persen dari 54,36 juta pemilih yang terdaftar. Angka yang tak jauh berbeda dilansir GMA Network, yang juga menyiarkan hasil hitung cepat dari Komisi Pemilihan Umum (Comelec).
Bagi rakyat Filipina, kemenangan Duterte terbilang fenomenal. Perolehan suara Wali Kota Davao ini melampaui Presiden Benigno Aquino III dalam pemilu 2010. "Saat itu Aquino meraih 15,2 juta suara," demikian menurut Inquirer, mengutip data Comelec. Adapun Joseph Estrada, dalam pemilu 1998, menyabet kursi presiden dengan 10,72 juta suara.
Ketua Comelec Andres Bautista mengatakan pesta demokrasi kali ini termasuk yang paling meriah. Rakyat Filipina sangat antusias, terbukti dengan tingginya tingkat partisipasi pemilih. Comelec mencatat lebih dari 95 persen pemilih menggunakan hak suara. "Merupakan rekor di negara ini," ujar Bautista, seperti dikutip Al Jazeera.
REPUTASI Rodrigo Duterte melegenda di Davao jauh sebelum ia terjun ke kancah politik nasional. Selama 22 tahun, Duterte banyak mengubah wajah Davao, kota pesisir di Pulau Mindanao di Filipina selatan. "Dia sangat populer di sini. Salah satunya karena tindakan tegasnya memerangi kejahatan," kata reporter Al Jazeera, Wayne Hay, melaporkan dari Kota Davao.
Warga Filipina melihat Duterte sebagai pemimpin yang berani bertindak. Davao menjadi buktinya. Sebelum dipimpin Duterte pada 1988, kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini dikenal sangat kumuh dan rawan kejahatan. Kini semua berubah drastis. "Sebuah jajak pendapat menempatkan Davao di posisi keempat untuk kota teraman di dunia," begitu tulis Time.
Selama kampanye, isu kriminalitas menjadi jualan utama Duterte. "Bila menjadi presiden, saya akan memerintahkan militer dan polisi untuk menangkap gembong narkotik dan membunuh mereka," katanya dalam salah satu kampanye. Di Davao, Duterte mengadopsi konsep 911-sistem telepon darurat di Amerika Serikat. Dengan sistem itu, warga dengan mudah mengakses bantuan dari polisi, pemadam kebakaran, atau ambulans.
Popularitas Duterte makin meroket berkat gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Beberapa media Barat menjulukinya "Trump dari Timur"-mengacu pada calon Presiden Amerika dari Partai Republik, Donald Trump. Duterte acap berkoar bakal menghabisi ribuan bandit dan membuang mayat mereka di Teluk Manila. Di lain waktu, pengacara yang pernah menjadi jaksa ini berkelakar tentang pemerkosaan. Pernah juga Duterte mengancam akan membunuh anak-anaknya bila terlibat narkotik.
Gaya blakblakan Duterte tak jarang menuai kecaman. Empat kandidat lain, yaitu Mar Roxas, Grace Poe, Wakil Presiden Jejomar Binay, dan Senator Miriam Defensor-Santiago, kompak mengkritik Duterte karena pernyataannya yang dianggap mengancam supremasi hukum dan demokrasi. Bahkan Presiden Aquino khawatir Duterte bakal menjadi diktator. "Ingat bagaimana Hitler (Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman) berkuasa," ujar lelaki 56 tahun ini.
Bagi Duterte, mengumbar isu kriminalitas terbukti tepat. Menurut survei Bank Dunia pada 2013, tingkat pembunuhan di Filipina tertinggi di Asia dan nomor 11 di dunia. Sangat mudah mendapatkan senjata api ilegal di negara itu. "Ada lebih dari setengah juta senjata tanpa izin beredar di seluruh Filipina," begitu menurut Time, mengutip data Bank Dunia.
Kejahatan di Filipina seakan-akan tak mengenal waktu. Sebelum pencoblosan, sedikitnya 15 orang tewas dibunuh dalam serangkaian kasus kekerasan pemilu. "Lebih dari 4.000 orang ditangkap karena melanggar larangan kepemilikan senjata api," demikian menurut kepolisian. Tingginya peredaran narkotik semakin melengkapi kriminalitas di negara itu.
Berangkat dari situasi itu pula Duterte, yang dituding "memelihara" pasukan algojo untuk menggasak bandit dari jalanan Kota Davao, berani mengumbar ancaman. "Jika menjadi presiden, saya akan melakukan apa yang saya lakukan sebagai wali kota," katanya. "Kamu semua yang berurusan dengan obat terlarang, saya akan benar-benar membunuhmu."
PEROLEHAN suara Rodrigo Duterte menggambarkan tingginya harapan rakyat Filipina. Ia unggul atas pesaing terdekatnya, Mar Roxas, cucu presiden kelima Filipina, Manuel Acuña Roxas, dan kandidat yang didukung Presiden Aquino, dengan selisih 6,23 juta suara. "Rakyat frustrasi dengan kejahatan, korupsi, dan ketidakadilan. Sedangkan orang kaya semakin kaya," ucap Teresa S. Encarnacion Tadem, profesor ilmu politik di Universitas Filipina.
Selama kampanye, Duterte mendapat banyak dukungan dari warga kelas menengah. Dengan janji memerangi korupsi dan kejahatan, ia meraup sokongan yang lebih besar dari rakyat miskin. Peta dukungan ini terbukti selepas pencoblosan. Duterte mendulang mayoritas suara dari kawasan Filipina selatan, khususnya dari Pulau Mindanao.
Di Filipina, 11 dari 20 provinsi termiskin ada di Mindanao. Pulau ini juga menjadi kantong terbesar bagi populasi warga minoritas muslim negara itu, yang selama ini diperlakukan diskriminatif. "Saya berharap dia (Duterte) memberantas korupsi dan memperhatikan warga miskin di Mindanao," ujar Ilmira, penduduk muslim dari daerah Maharlika.
Sebenarnya banyak warga Filipina khawatir Duterte bakal membawa negara itu kembali ke era kediktatoran Ferdinand Marcos. Tiga dasawarsa silam, rakyat Filipina harus menggulingkan Marcos lewat revolusi "People Power". "Tapi saat ini mereka ingin seorang pemimpin yang tangguh dan berani mengubah keadaan," ucap Ernest Bower, peneliti senior bidang Asia Tenggara dari Center for Strategic and International Studies.
Rakyat juga kecewa terhadap Aquino. Selama enam tahun, putra mantan presiden perempuan pertama Filipina, Corazon Aquino, ini sukses menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka rata-rata 6,2 persen-salah satu yang tertinggi di Asia. "Tapi kemakmuran tidak menetes ke bawah (rakyat kecil) cukup cepat. Aquino dan pemerintahannya dikritik karena terlalu elitis, lembek, dan tidak merakyat," begitu menurut sejumlah media lokal.
Lalaine Pangan, pemilih pemula dan manajer restoran, menyatakan ia memilih Duterte karena frustrasi dengan politik dinasti yang mengakar di Filipina. Ia juga mengaku tak kecipratan ledakan ekonomi negara itu. "Pemerintah saat ini terlalu banyak berjanji tapi tidak pernah ditepati," kata Pangan di sebuah restoran di pusat Ibu Kota Manila.
Komentar senada terlontar dari seorang pelayan sebuah toko di Manila, Clara Mimenez. "Kami ingin Duterte melakukan apa yang telah dilakukannya di Davao untuk Filipina," ujar perempuan 26 tahun ini. "Dia berbicara kasar dan keras, tapi itu tidak apa-apa asalkan dia menyelesaikan tugasnya. Kami sudah kenyang melihat kejahatan, narkotik, dan korupsi."
Di era Aquino, yang mewarisi utang menahun dari rezim korup Marcos, seperempat dari 100 juta penduduk Filipina masih berkubang dalam kemiskinan. Ia juga dinilai gagal mengatasi pemberontakan muslim dan komunis selama puluhan tahun di Filipina selatan. Nah, Duterte, dengan sepak terjangnya, memberi asa baru. "Rakyat menyukai kepribadiannya yang autentik. Dengan dia, apa yang Anda lihat, itu yang Anda dapatkan," ujar Tadem.
RODRIGO Duterte, yang resmi bertugas pada 30 Juni, bakal menghadapi tugas berat. Ia tidak hanya harus membereskan urusan kemiskinan dan kejahatan. Dunia internasional juga menyoroti langkah Duterte, antara lain dalam mengatasi ulah kelompok militan Islam Abu Sayyaf, yang kerap menculik dan menyandera warga asing.
Terlebih, menurut Abigail Binay, wali kota yang baru terpilih dari distrik keuangan Makati di Manila, kawasan bisnis yang vital di Filipina, iklim politik di negara itu saat ini dalam kondisi rapuh. "Dia (Duterte) adalah presiden minoritas. Dia mewarisi sebuah negara yang terbelah dan perlu untuk menyatukan semua faksi," kata putri Jejomar Binay ini.
Bila tidak ada aral merintang, Duterte bakal didampingi oleh Maria Leonor "Leni" Robredo sebagai wakil presiden. Politikus perempuan dari Partai Liberal yang didukung Aquino ini sementara unggul tipis atas Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr., putra sang diktator Marcos. "Saya akan mendukung dia (Duterte) seratus persen," ujar Robredo.
Mahardika Satria Hadi (Time, Inquirer, Strait Times, Philstar, VOA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo