Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH itu terjadi lewat pembicaraan telepon. Presiden Iran Hassan Rohani dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama bercakap-cakap meski hanya 15 menit, Jumat dua pekan lalu. Namun komunikasi ini merupakan kontak langsung pertama antara pemimpin Iran dan Amerika dalam 35 tahun terakhir. Hubungan diplomatik Iran dan Amerika resmi terputus menyusul aksi penyanderaan mahasiswa Iran di Kedutaan Amerika di Teheran saat Revolusi Islam pada 1979. Sejak saat itu, bersama negara Barat lainnya, Amerika menerapkan sanksi ketat terhadap Iran sehubungan dengan kecurigaan negara itu bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir.
Sinyal kemesraan ini sudah dilontarkan keduanya saat secara terpisah berpidato di sidang tahunan ke-68 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Selasa dua pekan lalu. Dua pemimpin negara itu sama-sama menunjukkan tanda keinginan mengakhiri permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun. Dalam pidatonya, Obama mengungkapkan bahwa mungkin akan terwujud kesepakatan jika Iran mengakhiri program nuklirnya. Rohani meminta Obama mengabaikan kelompok penekan perang untuk mencapai kesepakatan.Sanksi dan embargo, kata Rohani, hanya menyengsarakan rakyatnya.
Ketegangan itu mencair lewat telepon. "Kami sedang menuju bandara ketika saya diberi tahu bahwa Gedung Putih menelepon Duta Besar Iran di PBB (Mohammad Khazaei)," ujar Rohani. "Saya diberi tahu Presiden Obama ingin berbincang dengan saya selama beberapa menit." Meski versi Gedung Putih menyebutkan Rohanilah yang berinisiatif menelepon.
Sejumlah media Iran memuji kontak langsung pertama oleh kedua pemimpin negara itu dalam tiga dekade terakhir. "Ini akhir dari 35 tahun tabu," tulis harian Arman. "Dunia terperanjat. Media internasional kaget mengetahui panggilan telepon itu." Adapun surat kabar Etemad memajang montase foto Rohani dan Obama dengan judul, "Telepon bersejarah dalam perjalanan pulang."
Toh, tak semua pihak senang dengan kemesraan baru Iran-Amerika ini. Di dalam negeri, Rohani harus menenangkan kelompok garis keras yang mengutuk pembicaraan teleponnya dengan pemimpin negara yang selama ini dijuluki "Si Setan Besar" itu.
Sekutu dekat Amerika, Israel, juga gerah. Tel Aviv curiga, gelagat Rohani yang mengumbar senyum dengan menunjukkan sikap moderat itu sebagai tipu muslihat untuk menutupi program nuklir Teheran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang bertemu dengan Obama di Gedung Putih, Senin pekan lalu, atau tiga hari setelah percakapan Rohani-Obama, menyebut Iran sebagai serigala berbulu domba. "Saya akan berbicara jujur. Fakta harus diungkap di depan senyum manis dan basa-basi," sindir Bibi—sapaan Netanyahu.
Teheran, 27 Mei 1986. Hotel Hilton, saat itu, di ibu kota Iran, kedatangan tamu penting: tim negosiasi utusan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. Tim yang terdiri atas staf Dewan Keamanan Nasional (NSC), termasuk Letnan Kolonel Marinir Oliver North, dikirim untuk meminta bantuan Iran membebaskan warga Amerika yang disandera kelompok Hizbullah di Libanon. Iran mengutus diplomat muda Hassan Rohani. Rohani, yang kala itu berusia 37 tahun, menjabat penasihat senior hubungan luar negeri Iran. Tahu Amerika butuh bantuan, Rohani dengan piawai mengajukan proposal bahwa Iran akan membantu pembebasan asalkan Washington menjual senjata. Iran kala itu memang sedang membutuhkan senjata karena tengah terlibat perang dengan Irak. "Dengan memecahkan masalah (sandera) ini, kami memperkuat Anda di Gedung Putih," kata Rohani kepada North dan rekan-rekannya. "Seperti yang kami janjikan, kami akan melakukan segala upaya."
Lobi Rohani moncer. Reagan setuju menjual senjata lewat Israel. Tercatat sembilan kali pengiriman lebih dari 5.000 rudal antitank, rudal antipesawat Hawk, dan suku cadangnya. Total bernilai US$ 10-30 juta. Mantan penasihat keamanan nasional Robert McFarlane, yang ikut dalam pertemuan itu, menggarisbawahi kepiawaian Rohani. "Pada dasarnya mereka benar-benar pedagang karpet," kata McFarlane, seperti dikutip transkrip pertemuan yang ditulis anggota staf NSC, Howard Teicher. "Orang ini (Rohani) ternyata tokoh penting dalam urusan itu."
Perjanjian "tawanan untuk tawanan" ini sukses. Lawrence Martin Jenco, Frank Reed, Joseph Cicippo, Edward Tracy, dan David Jacobson dibebaskan Hizbullah. Namun belakangan pertemuan rahasia ini terbongkar. Majalah Libanon, Ash-Shiraa, menulis cerita tentang perjanjian ini dalam terbitan mereka pada 3 November 1986. Kongres Amerika menyelidiki penjualan senjata ilegal yang kemudian dikenal dengan Iran-Contra itu. Pasalnya, uang hasil penjualan senjata yang bernilai US$ 30 juta tersebut disalurkan untuk menyokong kelompok pemberontak Contra, yang tengah berperang melawan pemerintah Sandinista di Nikaragua.
Sebenarnya Rohani bukan satu-satunya pemain kunci. Banyak analis mengatakan masih ada Ali Khamenei, presiden saat itu. Nah, kini duet ini pulalah yang berhadapan dengan Amerika. Rohani sebagai presiden dan Khamenei sebagai pemimpin spiritual Iran dengan gelar ayatullah: dua wajah yang ramah bagi Washington. Juru bicara komisi luar negeri Iran, Hussein Naqavi Hossini, mengakui percakapan telepon Rohani dan Obama pekan lalu bisa terjadi setelah mendapat restu Khamenei.
Hubungan Iran-Amerika resmi putus sejak 1979. Tapi negara dengan nama resmi Jomhuri-ye Eslami-ye Iran itu tak sepenuhnya tanah terlarang bagi Amerika. "Hubungan gelap" tetap bisa terjadi. Situs Foreign Policy, Kamis pekan lalu, mengungkapkan pemerintah Amerika memanfaatkan jalur darat Iran untuk menyuplai logistik markas-markas militernya di Afganistan. Departemen Pertahanan Amerika menyewa Anham FZCO, perusahaan Uni Emirat Arab, untuk menyuplai makanan dan air untuk pasukan Amerika di Afganistan, mengapalkan barang-barang lewat vendor untuk membangun gudang di Pangkalan Udara Bagram, Parvan, dekat Kabul. Pembangunan gudang, menurut laporan tersebut, bernilai kontrak US$ 8,1 miliar.
Vendor ini membawa barang lewat Pelabuhan Bandar Abbas di Teluk Persia, awal tahun lalu. Setelah itu, barang dibawa dengan truk melintasi Iran menuju Bagram, Kabul. Perjalanan ini melintasi jarak tak kurang dari 2.000 kilometer. Pengiriman barang melewati Iran ini sebenarnya bertentangan dengan sanksi yang diterapkan terhadap Iran. Apalagi diketahui bahwa Pelabuhan Bandar Abbas sebagian dikelola perusahaan Tidewater Middle East Co, yang menurut Departemen Keuangan Amerika dimiliki Korps Garda Revolusi Islam Iran, yang masuk daftar kelompok teroris.
Pengiriman dilakukan delapan kali. Iran menjadi pilihan karena wilayah Pakistan masih rawan serangan kelompok Al-Qaidah, sedangkan jalur dari Turkmenistan terlalu jauh dan mahal. Anham bukan perusahaan sembarangan. Korporasi yang bermarkas di Dubai itu dalam situs resmi menyebutkan Anham dibentuk perusahaan raksasa, seperti Arab Supply and Trading Company (Astra) dari Arab Saudi; GMS Holdings dari Amman, Yordania; dan HII-Finance Corporation yang berkantor di Vienna, Virginia, Amerika.
Tak ada komentar dari Washington tentang hal ini. Namun Pentagon mengakui Badan Logistik Departemen Pertahanan Amerika (DLA) sudah memberi tahu Departemen Keuangan dan Departemen Perdagangan perihal pengapalan barang-barang Anham. "Kami juga meminta informasi tambahan bahwa semua kontrak di bawah DLA tetap berada di bawah payung hukum," kata juru bicara DLA, Michelle McCaskill.
"Rohani memiliki akal sehat dibanding pendahulunya, Mahmud Ahmadinejad," kata Dennis Ross dari Washington Institute for Near East Policy. Ross, yang juga mantan direktur senior di National Security Council (2009-2011), mengatakan hubungan Iran-Amerika seperti "musuh tapi dibutuhkan".
Raju Febrian (Reuters, BBC, CNN, Telegraph, Foreign Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo