Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Orok-orok Merah dari Cipadung

Seorang bidan Dinas Kesehatan Bandung menjual bayi dari pasien yang bersalin di kliniknya. Pembelinya, antara lain, dosen dan penyanyi dangdut.

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH megah dua lantai di pinggir jalan Desa Cipadung, Cibiru, Bandung, itu tak memiliki lagi papan nama. Papan dengan tulisan "Bidan Tiur Manli" dicopot dari halaman sejak Kepolisian Daerah Jawa Barat menggerebek rumah tersebut pertengahan September lalu.

Polisi masih menahan Tiur, 54 tahun, dengan tuduhan terlibat perdagangan bayi. Dari tempat praktek Tiur, polisi menemukan catatan "penyerahan" enam bayi pada kurun 2011-2013. "Kami menggerebek setelah menyamar sebagai pembeli," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat Komisaris Besar Martinus Sitompul, Rabu pekan lalu.

Tiur membuka klinik bersalin di bagian kanan rumahnya yang bercat krem. Klinik berukuran sekitar 24 meter persegi itu dibangun di atas tanah seluas 210 meter persegi.

Ruang praktek dibagi menjadi tiga bagian yang disekat tripleks. Bagian pertama, paling depan, merupakan tempat menerima pasien berobat jalan. Bagian kedua, ruang perawatan bagi pasien yang perlu istirahat. Di ruangan ini tersedia dua buah kasur pegas dan sebuah ranjang besi.

Bagian terakhir, di ujung, merupakan ruang bersalin. Ukurannya paling luas dibanding ruangan lain. Hingga pekan lalu, di ruangan itu masih terlihat sebuah inkubator.

n n n

SELASA, 13 September 2013. Sekitar pukul 13.00, sepasang lelaki dan perempuan mengunjungi praktek bidan Tiur. Di ruang praktek, Tiur menunjukkan seorang bayi laki-laki yang masih merah. Bayi itu terlihat normal. Beratnya 3,2 kilogram dan panjang 49 sentimeter. Kepada tamunya, Tiur menyebutkan angka Rp 7 juta bila tertarik membawa sang bayi.

Pasangan itu berusaha menawar Rp 5 juta, tapi Tiur berkukuh tak mau melepaskan dengan harga di bawah Rp 7 juta. "Harga bayi laki-laki tak bisa ditawar lagi," katanya. Pasangan itu pun akhirnya setuju dan membayar tunai. Sang bayi lalu dibawa pergi.

Sepuluh menit kemudian, empat polisi dari unit Perlindungan Perempuan dan Anak Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat menggerebek tempat praktek Tiur. Bidan itu digelandang ke kantor polisi. Rupanya, pasangan yang membeli bayi dari Tiur itu polisi yang menyamar. Setelah dibawa dari Tiur, bayi langsung dilarikan ke Rumah Sakit Sartika Asih karena kondisinya kurang sehat.

Polisi menggerebek klinik Tiur setelah seminggu sebelumnya mendapat informasi praktek jual-beli bayi. Beberapa hari sebelum penggerebekan, polisi berpura-pura mencari bayi ke klinik itu. Pagi hari sebelum penggerebekan, polisi mendapat pesan pendek dari sang bidan. "Dia minta didatangi karena sedang memiliki bayi laki-laki," ucap Komisaris Besar Martinus.

Tiur, yang berstatus pegawai negeri di Dinas Kesehatan Bandung, ditetapkan sebagai tersangka. Dia terancam dijerat dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.

Polisi masih menelisik sejak kapan Tiur menjalankan bisnis jualan bayi. Dia mendapatkan izin praktek bidan sejak 1998. Adapun klinik bersalin yang ia buka di Jalan Cipadung mulai beroperasi pada 2007.

Sebelum buka praktek di Cipadung, Tiur tinggal di kompleks perumahan Vijaya Kusuma, Bandung, sejak 1989. Sebagai bidan berstatus pegawai negeri, kekayaan Tiur menonjol bila dibandingkan dengan tetangganya. Di sekitar kompleks itu, Tiur memiliki enam rumah kontrakan.

Tiur pindah dari kompleks itu ketika dia mendengar jadi bahan gunjingan tetangga. Semula tetangga kompleks curiga sang bidan melakukan praktek aborsi. Maklum, pasien yang datang ke rumah Tiur rata-rata perempuan muda.

Menurut polisi, untuk mendapatkan bayi, Tiur bekerja sendiri. Dia tak melibatkan perawat. Tiur juga tak mau menerima dari perantara atau penadah bayi. "Dia mendapatkan bayi hanya dari pasien-pasiennya," kata Martinus.

Lain halnya ketika Tiur hendak menyalurkan bayinya. Dia tak bekerja sendirian. Tiur menggandeng dukun beranak atau tukang pijat. Lewat mereka, ia biasanya mendapatkan informasi suami-istri yang ingin punya momongan tapi tak kunjung dikaruniai anak. Dukun beranak itu kemudian merekomendasikan untuk menghubungi bidan Tiur.

Soal surat-menyurat bayi, Tiur rupanya tak mau ribet. Dia biasanya menjual bayi tanpa persyaratan untuk mengurus akta kelahiran. Padahal, sebagai bidan, Tiur bisa saja mengeluarkan surat keterangan lahir yang asli, tapi datanya dipalsukan. Berbekal surat "aspal" itu, pembeli anak bisa membuat akta hingga paspor si bayi.

Dalam dokumen yang disita polisi di rumah Tiur, tercatat antara lain nama Agus Salim Mansyur dan Citra Ria sebagai pembeli bayi. Agus ternyata menjabat Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Bandung. Adapun Citra adalah penyanyi dangdut yang pernah ikut program audisi di sebuah stasiun televisi.

Agus, 48 tahun, mengenal Tiur melalui perantara seorang dukun anak yang merangkap tukang pijat. Suatu waktu, ketika memijat istri Agus, dukun anak itu menawarkan bayi yang baru lahir dan ditinggalkan orang tuanya. Mendengar kabar dari sang dukun, istri Agus lalu bertemu dengan bidan Tiur pada Agustus 2011.

Menurut Agus, saat bertemu dengan sang bayi, istrinya langsung terpukau. Dia berniat membawa pulang bayi ke rumahnya. "Seperti dihipnotis.," ujar Agus. Bidan Tiur, kata dia, tak mematok harga yang harus ditebus. "Dia bilang sekadarnya, sebagai pengganti biaya persalinan," ucap Agus, yang menolak menyebutkan jumlah uang yang dia berikan kepada Tiur.

Sekarang bayi perempuan itu berumur 2,5 tahun. Selain mengadopsi bayi dari Tiur, Agus mengaku mengurus 15 anak yatim dari keluarga tak mampu. Lulusan program doktoral dari Universitas Pendidikan Indonesia ini mengaku mengambil bayi dari bidan Tiur dengan alasan kemanusiaan. "Semoga mereka memberi umur kepada saya. Mudah-mudahan umur anak itu bisa panjang," kata Agus, yang memiliki empat anak kandung.

Adapun penyanyi Citra Ria mengaku kaget ketika tahu namanya ada dalam dokumen yang dimiliki Tiur. "Saya tak tahu apa-apa, itu urusan Mama," kata Citra saat ditemui Tempo di rumahnya, Kamis pekan lalu.

Menurut Citra, ibunya hanya meminta uang untuk menebus sang bayi sebesar Rp 5 juta. "Bidan Tiur tak menawarkan harga. Itu hanya untuk mengganti biaya persalinan," ujar Citra. Bayi perempuan itu baru berumur dua hari ketika keluarga ­Citra mendapatkannya dari Tiur pada 26 Juli 2010. Bayi itu dilahirkan dari seorang ibu berumur 18 tahun yang hamil di luar pernikahan.

Ibu kandung Citra, Euis Rosita, mengaku mengenal bidan Tiur karena rumahnya hanya berjarak sekitar 300 meter. Dia sering melihat Tiur membantu persalinan keluarga tak mampu. "Saya tak menyangka dia menjadi tersangka penjualan bayi," kata Euis.

Seorang tetangga lama Tiur mengungkapkan hal berbeda. Pasien yang berkunjung ke klinik Tiur umumnya tak tampak seperti orang kekurangan duit. "Dari penampilannya saja bisa kelihatan, kok," ujar tetangga yang tak mau disebut namanya itu.

Yuliawati, M. Sidik Permana, Persiana Galih, Iqbal T. Lazuardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus