Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah Remaja Putri Afghanistan: Bebas di Pengungsian atau Terkurung di Kampung

Remaja putri Afghanistan yang mengungsi di Korea bisa menghirup kebebasan, sementara rekannya tidak bisa sekolah di negeri sendiri.

15 Oktober 2021 | 09.30 WIB

Arsip: Siswi menghadiri kelas psikoterapi setelah sebuah bom besar meledak di luar sekolah mereka, yang menewaskan sedikitnya 80 siswa di Kabul, Afghanistan 26 Mei 2021. Gambar diambil 26 Mei 2021. REUTERS/Stringer
Perbesar
Arsip: Siswi menghadiri kelas psikoterapi setelah sebuah bom besar meledak di luar sekolah mereka, yang menewaskan sedikitnya 80 siswa di Kabul, Afghanistan 26 Mei 2021. Gambar diambil 26 Mei 2021. REUTERS/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Untuk seorang remaja putri Afghanistan, rumah barunya di Korea Selatan telah memberinya kebebasan, yang barangkali hanya bisa diimpikan teman sebayanya di kampung halaman. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Di Afghanistan, Anda tidak bisa melakukan aktivitas sebebas laki-laki, dan sungguh memuaskan bisa berlatih taekwondo tanpa jilbab," kata gadis itu kepada wartawan setelah kelas taekwondo pada hari Rabu, 13 Oktober 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dia adalah salah satu dari hampir 400 pengungsi Afghanistan yang tiba di Seoul pada Agustus lalu, di bawah program khusus yang bertujuan untuk memberikan tempat tinggal jangka panjang kepada warga Afghanistan dan keluarga mereka di Korea Selatan.

Bersama dengan pengungsi lain yang berbicara kepada wartawan, gadis itu tidak diidentifikasi usia atau namanya berdasarkan kesepakatan dengan pejabat pemerintah Korea Selatan.

Kementerian Kehakiman memberikan kelas bahasa Korea kepada para pengungsi sebagai bagian dari "Program Integrasi Sosial," dan semuanya telah menerima kartu pendaftaran orang asing.

Mereka saat ini tinggal di fasilitas pemrosesan, kata para pejabat.

"Sebagian besar pengalaman saya tinggal di Afghanistan sejauh ini adalah perang, dan ketika saya mendengarkan sejarah yang saya dengar dari orang tua saya, saya hanya mendengar tentang perang," kata seorang anak laki-laki di kelas taekwondo seperti dilaporkan Reuters. "Sekarang, kehidupan di Korea stabil dan saya menikmati hidup."

Pengungsi Afghanistan di taman bermain Institut Pengembangan Sumber Daya Manusia Nasional di Jincheon, dekat Seoul, Korea Selatan, 13 Oktober , 2021. Jeon Heon-Kyun/Pool via Reuters

Beda Nasib 

Nasib warga Kabul, Rahela Nussrat, 17 tahun, berbalik 180 derajat. Siswa kelas 12 sekolah menengah itu sampai saat ini belum bisa bersekolah,

Taliban yang kini menjadi penguasa baru Afghanistan melarang gadis remaja dari sekolah untuk saat ini. Bulan lalu, mereka mengumumkan sekolah akan dibuka, tetapi hanya anak laki-laki dari segala usia.

Anak perempuan sekolah menengah belum bisa sekolah. Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan kelompok tersebut tentang pendidikan perempuan.

Taliban menyatakan "lingkungan belajar yang aman" diperlukan sebelum anak perempuan dapat kembali ke sekolah menengah. Mereka berjanji sekolah akan dibuka kembali "sesegera mungkin", tanpa memberikan jangka waktu.

"Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar, tetapi hari ini, hak dasar itu telah diambil dari saya dan jutaan gadis Afghanistan lainnya," kata Nussrat kepada Al Jazeera.

Afghanistan telah berjuang untuk mendapatkan anak perempuan kembali ke sekolah selama pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat. Menurut survei 2015 yang disiapkan untuk UNESCO oleh Forum Pendidikan Dunia, hampir 50 persen sekolah Afghanistan tidak memiliki bangunan yang dapat digunakan.

Lebih dari 2,2 juta anak perempuan Afghanistan tidak dapat bersekolah tahun lalu, 60 persen dari total anak putus sekolah di negara itu.

Ketidakjelasan Taliban tentang pembukaan kembali sekolah menengah telah memperparah masalah dan merupakan pukulan bagi jutaan anak perempuan, terutama mereka yang keluarganya mengira akhir perang dapat kembali ke kehidupan normal.

“Ketika pemerintah Afghanistan jatuh, saya kehilangan hak atas pendidikan, ini pertama kalinya saya menangis khusus karena jenis kelamin saya,” kata Nussrat, yang kini memperdalam Bahasa Inggris karena ingin melanjutkan studi di laur negeri.

Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengatakan “sangat mengecewakan melihat beberapa langkah mundur” Taliban, yang pada 1990-an adalah satu-satunya yang pernah melarang perempuan dan anak perempuan. dari pendidikan dan pekerjaan dalam sejarah Afghanistan.

Sheikh Mohammed mengatakan Qatar, yang menjadi tuan rumah kantor politik Taliban, bisa dipakai sebagai model bagaimana masyarakat Muslim dapat dijalankan.

"Sistem kami adalah sistem Islam [tetapi] kami memiliki jumlah perempuan melebihi laki-laki dalam angkatan kerja, pemerintahan dan pendidikan tinggi."

Afifa Rizkia Amani

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus