Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Deepa P. Mohanan harus mogok makan sampai 11 hari untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa program doktor di sebuah universitas di India. Ia menjadi korban perisakan, yang nyaris membuatnya gagal menyelesaikan kuliah, hanya karena berasal dari kasta rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia dirisak oleh staf akademik, dilarang memasuki laboratorium universitas dan bahkan ditolak menduduki kursi. Deepa P. Mohanan pun putus asa untuk dapat menyelesaikan PhD-nya sebagai wanita kasta Dalit, kasta paling rendah di India. Tapi kemudian dia memutuskan untuk melawan.
Mohanan, yang meneliti pengobatan nano, menjadi inspirasi puluhan ribu sesama mahasiswa ketika dia melakukan mogok makan untuk memprotes diskriminasi dan berhasil memaksa otoritas universitas memberikan janji reformasi..
"Saya sangat ingin menyelesaikan PhD saya dan menyadari bahwa itu tidak akan mungkin sampai saya secara terbuka menyerukan penghapusan diskriminasi kampus yang saya hadapi selama bertahun-tahun," kata Mohanan, 36, dalam sebuah wawancara telepon dari rumahnya di Kottayam di India selatan, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa, 30 November 2021.
Mohanan mengakhiri mogok makan 11 harinya awal bulan ini setelah kepala Pusat Nanosains dan Nanoteknologi Universitas Internasional dan Antar Universitas Mahatma Gandhi diberhentikan menyusul keluhannya.
Universitas itu juga telah membentuk sebuah komite di bawah wakil rektor untuk menyelidiki tuduhannya, yang menurut para aktivis hak asasi mencerminkan diskriminasi terhadap mahasiswa kasta rendah di kampus-kampus di seluruh negara berpenduduk 1,3 miliar orang itu.
Sebanyak 200 juta orang dari kasta Dalit atau Parya, yang berada di anak tangga terbawah dari hierarki kasta kuno, masih berjuang untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan enam dekade setelah India melarang diskriminasi berbasis kasta dan memperkenalkan kuota minimum untuk meningkatkan perwakilan mereka.
"Diskriminasi kasta sangat lazim di kampus ... ruang kelas telah menjadi ruang yang mengerikan," kata Jenny Rowena, seorang profesor bahasa Inggris di Universitas Delhi.
Rowena, yang mendokumentasikan pengalaman kasta Dalit dan komunitas terpinggirkan lainnya, mengatakan banyak siswa Dalit bolos kelas untuk menghindari dipermalukan atau putus sekolah sama sekali, sehingga makin memperburuk keterwakilan mereka.
Data pendidikan tinggi pemerintah menunjukkan pendaftaran siswa dari komunitas yang terpinggirkan atau kasta rendah pada 2019-20 adalah 14,7 persen dari semua siswa berusia 18-23, yang tak memenuhi kuota yang diamanatkan sebesar 15 persen di banyak bidang studi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikutnya: Malapetaka bagi warga berkasta rendah
Mohanan, yang meneliti terbentuknya jaringan penyembuhan luka menggunakan nanopartikel, adalah satu-satunya siswa Dalit di angkatan 100 ketika ia bergabung dengan program pascasarjananya.
Orang tua tunggal ini adalah orang pertama di keluarganya yang pergi ke universitas dan mengupayakan penelitian pascasarjana.
"Sungguh, saya tidak mengharapkan begitu banyak diskriminasi," kata Mohanan, yang sebelum mogok makan telah mengajukan banyak keluhan ke universitas termasuk tuntutan hukum.
"Akhirnya dalam percakapan itu terungkap bahwa jika seorang mahasiswa Dalit disukai maka akan mempengaruhi kedisiplinan institusi. Saya awalnya merasa kalah tapi kemudian bertekad untuk melawan," ujarnya.
Bagi banyak mahasiswa Dalit, kehidupan kampus adalah perjuangan sehari-hari, kata Anuraji PR, wakil presiden nasional badan mahasiswa Bhim Army, yang mendukung protes Mohanan.
Banyak yang gagal dalam penilaian internal dan pengawas sering menolak untuk menjadi pemandu mereka untuk studi pascadoktoral atau mempertanyakan kemampuan mereka, kata seorang mahasiswa pascasarjana, yang meminta identitasnya dirahasiakan karena dia akan mengikuti ujian.
Kuota penerimaan untuk siswa dari kelompok yang kurang terwakili, termasuk orang India kasta rendah, telah memicu diskriminasi, kata C. Lakshmanan, seorang profesor ilmu politik yang juga penyelenggara nasional Dalit Intellectual Collective.
"Siswa yang datang melalui reservasi dipandang tidak layak oleh rekan-rekan dan guru kelas atas perkotaan, yang sebagian besar berasal dari ruang elite yang sama. Sangat disayangkan bahwa mogok makan diperlukan untuk memenuhi tujuan akademis."
Komisi Hibah Universitas, yang mengawasi pendidikan tinggi di India, menulis surat kepada institusi pada September mendesak mereka untuk secara ketat mencegah diskriminasi kasta di kampus.
Ia meminta universitas untuk memastikan daftar pengaduan dan situs web tersedia untuk siswa dan mengatakan sebuah komite harus dibentuk untuk memeriksanya.
Ketua dan sekretaris Komisi tidak menjawab saat dimintai komentar.
berikutnya Manipulasi psikis
Abeda Salim Tadvi, yang memiliki putri bernama Payal yang berusia 26 tahun meninggal karena bunuh diri di kamar asrama kampusnya pada Mei 2019, menyalahkan diskriminasi kasta dan intimidasi atas kematian itu.
Sebagai dokter yang menempuh pendidikan spesialis di sebuah rumah sakit Mumbai, Payal sedang menjalani program master dalam kebidanan dan ginekologi, tetapi menghadapi pelecehan setiap hari - dari pemanggilan nama dan diminta untuk tidur di lantai oleh teman sekamar hingga dilarang menghadiri operasi penting.
"Kesedihan masih ada di hati saya ... saya tidak bisa melepaskannya," kata Tadvi, mengingat banyak percakapan dengan putrinya tentang bagaimana dia dilecehkan oleh mahasiswa yang lebih senior dalam program dokter spesialis.
"Kami mencoba mengabaikannya, mengeluh tentang hal itu tetapi pada akhirnya dia tidak bisa menghadapinya. Tidak ada mekanisme di kampus yang meyakinkan atau mendukungnya."
Tadvi, bersama dengan Radhika Vemula - yang putranya Rohith, seorang PhD di Universitas Hyderabad, bunuh diri pada 2016 dan menyinggung diskriminasi kasta dalam catatan bunuh diri - telah mengajukan petisi di pengadilan tinggi India menuntut tindakan.
Dalam petisi mereka dalam kasus yang sedang berlangsung, kedua wanita itu mengatakan semua universitas dan institusi pendidikan tinggi harus membentuk unit kesetaraan untuk memastikan keluhan tentang diskriminasi kasta ditangani.
Saat ini, jarang ada konsekuensi bagi pejabat perguruan tinggi jika kasus diskriminasi ras kasta dilaporkan di kampus mereka, kata pengacara Disha Wadekar. "Tanggapan paling umum terhadap keluhan adalah manipulasi psikis, di mana para siswa diberi tahu bahwa keluhan itu 'semua ada di kepala Anda'," katanya.