Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen ilmu hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Broto Wardoyo merespons soal rencana memindah warga Palestina dari Jalur Gaza sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan didukung Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Broto menuturkan bahwa secara hukum AS bisa saja mengambil alih Jalur Gaza apabila mendapatkan mandat dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lewat peacekeeping operation (PKO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau legal, maka harus ada mandat dari DK PBB. Pakainya peacekeeping operation (PKO). Bisa diberikan mandat peace keeper atau peace enforcement," kata Broto dalam pesan tertulisnya kepada Tempo lewat aplikasi WhatsApp pada Selasa, 11 Februari 2025.
Meski begitu, Broto mengingatkan bahwa AS kerap melakukan intervensi terhadap konflik di suatu negara meski tidak mengantongi mandat dari PBB. Misalnya, Operasi Dessert Fox di Irak pada 1998 atau operasi militer di Kosovo pada 1999.
Lebih lanjut, Broto turut mengungkit bahwa Trump pernah mengusulkan peace for prosperity atau rencana perdamaian tahun 2019 yang mengabaikan kepentingan Palestina dengan argumen akan ada perbaikan ekonomi.
"Jadi sebenarnya apa yang dilakukan Trump, mengingat perangainya di masa lalu, tidak aneh," ujar dia.
Tak sampai di situ, Broto menyatakan kesepakatan atas sikap Kementerian Luar Negeri RI yang ingin melibatkan Palestina untuk menyelesaikan konflik di Gaza dan tidak ada relokasi paksa terhadap warga setempat.
Broto juga menilai masyarakat internasional perlu bersikap realistis atas kondisi di lapangan. Dia juga mengingatkan bahwa berdasarkan data Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB atau UNOCHA, rekontruksi Gaza dari kerusakan yang masif membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Sejak 25 Januari, Donald Trump berulang kali mengusulkan agar warga Palestina di Jalur Gaza ditampung di negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania. Trump mengumumkan proposalnya di tengah gencatan senjata yang menghentikan 15 bulan perang genosida Israel di Gaza. Gagasan itu ditolak oleh negara-negara Arab dan para pemimpin Palestina, bahkan seluruh dunia.
Baru-baru ini, Donald Trump menegaskan bahwa warga Palestina yang meninggalkan Jalur Gaza dalam rencana kontroversialnya tidak akan diizinkan kembali.
"Kami akan membangun komunitas yang aman, sedikit jauh dari tempat mereka sekarang, dari semua bahaya ini. Sementara itu, saya akan memiliki ini. Anggap saja sebagai proyek pengembangan real estat untuk masa depan, ini akan menjadi lahan yang indah," kata Trump dalam wawancara dengan Fox News yang ditayangkan pada Senin seperti dikutip Anadolu.
Ketika pewawancara menanyakan secara langsung apakah warga Palestina akan "memiliki hak untuk kembali," Trump dengan tegas menjawab, "Tidak, mereka tidak akan, karena mereka akan mendapatkan perumahan yang jauh lebih baik."
"Dengan kata lain, saya berbicara tentang membangun tempat tinggal permanen bagi mereka, karena jika mereka harus kembali sekarang, butuh bertahun-tahun sebelum bisa dihuni kembali," ujar Trump.
"Saya berbicara tentang memulai pembangunan, dan saya pikir saya bisa membuat kesepakatan dengan Yordania, saya pikir saya bisa membuat kesepakatan dengan Mesir, Anda tahu, kami memberi mereka miliaran dolar setiap tahun," tuturnya menambahkan.
Sita Planasari ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.