Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dering telepon tiba-tiba menghentikan jamuan makan yang digelar Nigel Scullion untuk para anggota stafnya di rumahnya di Canberra, Australia, Senin malam dua pekan lalu. Scullion, Menteri Urusan Warga Pribumi, diam seribu basa tatkala suara marah Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull bergetar di ujung telepon.
Semua berawal dari sebuah program investigatif Four Corners yang ditayangkan stasiun televisi nasional Australian Broadcasting Corporation. Jutaan orang di Benua Kanguru menyaksikan demonstrasi perlakuan brutal sipir terhadap sejumlah narapidana anak keturunan Aborigin di Penjara Don Dale, dekat Darwin, Negara Bagian Northern Territory. Anak-anak Aborigin, berusia 10-18 tahun, disiksa, ditelanjangi, didudukkan di atas kursi berpengikat dan seluruh kepalanya ditutup kantong hitam. Persis seperti di Penjara Guantanamo.
Seseorang telah memberikan rekaman kamera pengawas Penjara Don Dale sepanjang 2010-2015 kepada Australian Broadcasting Corporation.
Seperti api tersiram bensin, kemarahan publik cepat berkobar. Hanya dalam hitungan menit, lebih dari 3.000 warga Australia telah meneken petisi online yang mendesak pemerintah membentuk Komisi Kerajaan, komite penyelidik publik tertinggi di negara itu. Ribuan orang berunjuk rasa di kota-kota besar Australia pada akhir dua pekan lalu, menuntut penyelidikan lebih mendalam. Sebelumnya, delapan narapidana dewasa di penjara Alice Springs memprotes dengan memanjat atap gedung penjara setelah tayangan berakhir.
"Sebagai bangsa, Australia memiliki kewajiban melindungi anak-anak," kata Turnbull dalam jumpa pers di Canberra pada Kamis dua pekan lalu. "Setiap anak dalam sistem hukum berhak diperlakukan secara manusiawi dan terhormat, kapan pun." Dalam kesempatan yang sama, ia mengumumkan penunjukan Brian Martin, bekas Ketua Mahkamah Agung Northern Territory, sebagai Ketua Komisi Kerajaan. Komisi ini akan bekerja selama enam bulan untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah pada awal tahun depan.
Namun amarah publik tak cepat padam. Apalagi, menurut Priscilla Collins, Ketua Badan Bantuan Hukum Aborigin Australia Utara (NAAJA), "Tayangan ini sejatinya tidak baru." Komisi Anak Northern Territory pada 2015 melaporkan pengaduan ibunda Dylan Voller, salah satu tahanan anak dalam rekaman yang diperlakukan secara biadab—Voller diikat di kursi khusus dan kepalanya ditutup kain selama dua jam. Pemerintah negara bagian telah menerima laporan ini tanpa menindaklanjuti. "Jadi, jika Menteri Utama dan Jaksa Agung mengatakan terkejut, seharusnya tidak."
Pemerintah Turnbull tersudut. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Pelapor Khusus Urusan Penyiksaan, Juan Mendez, mengingatkan Australia bahwa kasus ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional, Konvensi Perlindungan Anak dan Konvensi Antipenyiksaan. Australia tercatat menjadi anggota kedua konvensi tersebut. "Ini adalah kasus yang mencakup penyiksaan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan," ucap Mendez kepada Radio Australia pada Kamis dua pekan lalu.
Penyidikan tak berjalan mulus. Martin, ketua komisi yang baru, mengundurkan diri tak lama setelah Pemimpin oposisi Australia Bill Shorten dan partai oposisi menganggap ia memiliki konflik kepentingan. Sebagai bekas hakim agung Northern Territory, Martin pernah membuat dua putusan kontroversial atas korban dan terdakwa warga Aborigin. Selain itu, anak Martin, Joanna, pernah menjadi penasihat jaksa agung Northern Territory, Delia Lawrie, pada 2009-Maret 2011—ketika Voller disiksa dan itu semua terekam di kamera pengawas penjara.
Margaret White dan Mick Gooda kemudian menggantikan Martin sebagai ketua bersama. White bekas hakim agung Mahkamah Queensland, Sedangkan Gooda, warga keturunan Aborigin, kini menjabat Komisioner Keadilan Sosial Aborigin dan Pulau Selat Torres di Komisi Hak Asasi Manusia Australia. Masuknya nama Gooda karena desakan tetua Aborigin yang menolak bekerja sama dengan komisi bila tidak memiliki perwakilan di dalamnya.
Aktivis Aborigin mengecam Turnbull yang tidak berkonsultasi dengan warga asli Australia itu menyusul terungkapnya skandal. "Kegagalan berkonsultasi dan melibatkan warga Aborigin dalam kesempatan pertama merupakan kesalahan pemerintah," ujar Shorten di Canberra.
Namun desakan kelompok oposisi dan pegiat hak sipil belum berhasil mengubah keputusan Turnbull untuk memperluas cakupan penyelidikan Komisi Kerajaan. Komisi ini hanya diberi wewenang menyelidiki kasus kekerasan terhadap tahanan anak di Northern Territory saja. Padahal organisasi Aborigin dan Penghuni Pulau Selat Torres menekankan kesewenang-wenangan dan diskriminasi terhadap warga pribumi ini terjadi di seluruh negeri.
Penelitian yang dilakukan University of Technology Sydney selama 2015-2016 menunjukkan warga pribumi Australia mendapat putusan tidak adil di pengadilan karena pandangan rasis dan prasangka buruk sistem yudisial. Penelitian yang dilansir Guardian pada awal Juli lalu didasarkan pada wawancara terhadap 18 anggota staf yudisial dan pengacara di New South Wales dan Victoria. Salah satu bekas hakim mengakui bahwa di wilayah terpencil, majelis hakim yakin "warga Aborigin adalah orang-orang tak berguna". Staf pengadilan berkulit putih pun lebih bersimpati kepada sesamanya ketimbang pada warga pribumi.
Hal ini diakui oleh Ketua Mahkamah Agung Western Australia Wayne Martin. "Dalam setiap tahapan proses peradilan, warga Aborigin diperlakukan lebih buruk daripada warga non-pribumi," katanya di depan parlemen. Ia mencontohkan kasus Gene Gibson, warga Aborigin yang dituduh membunuh. Polisi tidak menyediakan penerjemah untuk warga Pintupi yang tak bisa berbahasa Inggris ini. Pengadilan kemudian menurunkan dakwaan menjadi pembunuhan tidak berencana.
Martin mengatakan warga Aborigin lebih banyak ditangkap, diinterogasi, ditolak jaminannya, dan diputus bersalah. Mereka lebih sedikit diberi pembebasan bersyarat. "Saya pikir ada diskriminasi sistemik sehingga sistem peradilan memberatkan warga Aborigin," tutur Martin kepada The Guardian Australia pada Rabu pekan lalu.
Berdasarkan data Pusat Castan untuk Hak Asasi Universitas Monash, sekitar seperempat tahanan penjara di Australia adalah warga Aborigin, meski mereka hanya tiga persen dari total penduduk Benua Kanguru. Adapun 97 persen tahanan anak di penjara Northern Territory adalah warga Aborigin.
Peter Collins, Direktur Legal Lembaga Layanan Hukum Aborigin Western Australia atau ALSWA, punya banyak kisah tentang kasus remeh yang berujung pada penahanan warga Aborigin. Pada 2009, seorang anak Aborigin berusia 12 tahun didakwa karena mencuri cokelat. Seorang remaja 16 tahun di Onslow berada di balik jeruji besi selama 12 hari karena akan mencuri es krim. Seorang bocah lain yang akan melakukan bunuh diri justru didakwa merusak mobil saat tertabrak di Kalgoorlie.
Tak aneh jika Dennis Eggington, Direktur ALSWA, menyebut kaumnya masih terjajah. Pria asal Noongar ini berkata bahwa mereka memang tak dijajah tentara. "Kini penjajah adalah polisi. Bahkan rakyat Australia berpikir mereka lebih aman jika para pemuda kulit hitam diambil dari jalanan dan dipenjara." SITA L. PLANASARI (THE GUARDIAN, ABC NEWS, SYDNEY MORNING HERALD, NEWS.COM.AU)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo